Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Plato

Oleh Daqoiqul Misbah

Sebelumnya kita telah mengetahui tentang form (bentuk) dalam filsafat Plato. Form (bentuk) sama dengan idea. Idea merupakan sesuatu yang objektif. Idea-idea tidak diciptakan oleh pemikiran, tetapi sebaliknya, pemikiran tergantung pada idea-idea.
Tulisan ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai idea-idea tersebut yang terdiri dari tiga sub-bab, yakni:
  1. The Special Role of The Form of The Good (Peran Khusus ’Bentuk Kebaikan’)
  2. Problems About From  (Masalah ’Bentuk’)
  3. Conclusion  (Kesimpulan)
Pada dasarnya keadaan idea bertingkat-tingkat. Tingkat idea yang tertinggi adalah idea kebaikan (form of the good), di bawahnya idea jiwa dunia; yang menggerakkan dunia. Berikutnya adalah idea keindahan; yang menimbulkan seni, ilmu, pendidikan dan politik.[1]
  
*      The Special Role of The Form of The Good
(Peran Khusus ’Bentuk Kebaikan’)
Filsafat Plato mengenai idea-idea digambarakan melalui tamsil tentang goa. Mitos ini dapat dimengerti sebagai berikut, bahwa goa adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kemudian narapidana dalam goa tersebut adalah orang-orang yang menerima pengalaman spontan begitu saja. Sedangkan orang yang lolos dari goa adalah orang yang memperkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain daripada bayang-bayang saja, mereka itulah filosof. Mula-mula orang-orang yang lolos (filosof) itu merasa heran sekali, tetapi berangsur-angsur mereka menemui idea kebaikan, yang dalam mitos tentang goa ini dinisbatkan kepada matahari yang menyinari segalanya. Untuk mencapai kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari panca indera yang menyesatkan.[2]
Berdasarkan pada sebuah  kutipan, makna dari Form of the good (bentuk kebaikan):
”Yang menanamkan kebenaran pada sesuatu yang diketahui, serta kemampuan mengetahui pada orang yang mengetahui, adalah apa yang saya katakan kepada Anda sebagai idea kebaikan, dan ini bisa Anda anggap sebagai sumber ilmu pengetahuan.”[3]
Posisi kebaikan (the good) dalam filsafat Plato sangat istimewa. Ilmu pengetahuan dan kebenaran, ujarnya, adalah seperti kebaikan, namun kebaikan lebih tinggi kedudukannya. ”Kebaikan bukanlah esensi, namun jauh melebihi esensi dalam hal derajat dan dayanya.” Dialektika menghantarkan ke ujung terakhir dunia intelektual dan baru sesudah itu, kebaikan absolut dapat ditangkap. Dengan sarana kebaikanlah dialektika bisa melepaskan diri dari hipotesis-hipotesis para matematisi. Asumsi dasarnya adalah bahwa realitas, yang berbeda dengan penampakan, adalah sepenuhnya dan seutuhnya baik; jika dapat menangkap kebaikan, berarti dapat pula menangkap realitas.
Idea yang tertinggi adalah idea kebaikan. Plato menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan tidak saja sebab timbulnya tujuan pengetahuan dalam dunia yang lahir, tapi juga sebab tumbuh dan berkembang segala-galanya. Idea kebaikan adalah pokok. Karena sinar yang memancar dari idea kebaikan, semuanya tertarik padanya dan karena itu, ia menjadi sebab tujuan dari segala-galanya.[4]
Di bawah cahaya ’idea kebaikan’, orang harus mencapai terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup.  Siapa yang hidup dalam dunia idea, tidak dapat berbuat jahat.

*      Problems About Form 
(Masalah ’Bentuk’)
Tentang hubungan benda-benda dengan idea. Plato adakalanya menyebut ’hadirnya’ idea itu pada benda-benda. Pengertian ini dalam logikanya bertentangan dengan penerimaan dua dunia yang terpisah sama sekali. Dengan cara sofistik dan metode Zeno orang dapat menyerang dan meruntuhkan keutuhan filosofi Plato. Tetapi dengan niat yang baik, maksudnya dapat ditangkap. Kesulitan yang sebenarnya terletak pada kekurangan bahasa untuk meggambarkan pengertian hubungan dengan setepat-tepatnya.[5]
Plato tak punya pemahaman tentang sintaksis filsafat. Sokrates adalah manusia dan Plato adalah manusia. Dalam semua pernyaaan itu, bisa diandaikan bahwa kata ”manusia” mengandung makna yang sepenuhnya sama. Tetapi kata itu memiliki arti yang tak sepenuhnya sama dengan Sokrates, Plato, dan individu lainnya. Manusia disitu adalah kata sifat, tak ada artinya jika mengatakan manusia adalah manusia. Plato membuat analogi yang salah dengan mengatakan manusia adalah manusia. Ia berpendapat bahwa keindahan adalah indah; ia mengira bahwa manusia universal adalah nama dari suatu manusia-teladan yang dicipta oleh Tuhan, yang jika dibandingkan dengannya manusia-manusia aktual ini tidak sempurna dan hanyalah tiruan semu.
Masalah tentang bentuk (form=idea) tidak hanya terjadi pada diri Plato, tetapi juga dialami oleh para filosof pada umumnya. Seperti masalah yang diungkapkan oleh Sokrates mengenai keberadaan idea rambut, lumpur, kotoran, dll. Lain halnya dengan Parmenides yang mengungkapkan masalah bahwa ide-ide kalaupun memang ada tentunya tidak dapat diketahui, sebab pengetahuan kita tidak absolut.

*    Conclusion
(Kesimpulan)
Semua penghargaan atau kepercayaan ini melihat lebih dekat pada ontology Plato tentang ‘bentuk’: dalam sebuah pertanyaan apakah Plato mempunyai teori ‘bentuk’ atau sejenisnya yang merupakan perbaikan dan peningkatan dari para pendahulunya; dalam persaingan, sumbangannya kadang berbahasa metaforis[6] mengenai ‘bentuk’ secara harfiah dan tepat; dan persaingan konsepsi ‘bentuk’ diwujudkan dalam perlakuan Plato terhadap mereka dalam konteks yang berbeda sebagai paradigma yang sempurna, di mana particular hanyalah sebuah bayangan yang tidak sempurna dan merupakan wujud abstrak yang dengan jelas secara keseluruhan bahwa particular hanyalah mengambil bagian. Masih terlalu dini pada tahap ini untuk menghargai kritikan yang dipertimbangkan Plato kepada Parmenides. Walaupun dengan beberapa bukti, hal ini tetap dalam keadaan genting untuk menguasai argumen-argumen eksistensi Plato sebagai sebuah keyakinan. Diharapkan di sini, malahan hanya pengantar ini untuk Plato telah menyediakan beberapa intense untuk mengejar hal-hal (matter) pada signifikasi filosofis yang lebih besar kedalaman dan kedetilannya. Filsafat Plato memberikan saham yang besar bagi siapa saja yang mendekatinya dengan tuntutan upaya keintelektualan yang serius.[7]



DAFTAR PUSTAKA

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006)
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar)
Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)





[1] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hal. 193

[2] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Hal. 135
[3] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar) Hal. 170
[4]  Drs. Atang Abdul Hakim, M.A ----,Op.Cit , Hal. 206
[5]  Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006), hal.105
[6] Metaforis: sesuatu yang berbau metafora; pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
[7] Christopher Shields,  Classical Philosophy a Contemporary Indroduction, (Great Britain: Taylor & Francis Books Ltd.), Hal.98

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena