Oleh Daqoiqul Misbah
Sebelumnya
kita telah mengetahui tentang form (bentuk) dalam filsafat Plato. Form
(bentuk) sama dengan idea. Idea merupakan sesuatu yang objektif. Idea-idea
tidak diciptakan oleh pemikiran, tetapi sebaliknya, pemikiran tergantung pada
idea-idea.
Tulisan ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai idea-idea
tersebut yang terdiri dari tiga sub-bab, yakni:- The Special Role of The Form of The Good (Peran Khusus ’Bentuk Kebaikan’)
- Problems About From (Masalah
’Bentuk’)
- Conclusion (Kesimpulan)
Pada dasarnya keadaan idea bertingkat-tingkat. Tingkat
idea yang tertinggi adalah idea kebaikan (form of the good), di bawahnya
idea jiwa dunia; yang menggerakkan dunia. Berikutnya adalah idea keindahan;
yang menimbulkan seni, ilmu, pendidikan dan politik.[1]
The Special Role of The Form of The Good
(Peran Khusus ’Bentuk Kebaikan’)
Filsafat Plato mengenai idea-idea digambarakan melalui
tamsil tentang goa. Mitos ini dapat dimengerti sebagai berikut, bahwa goa
adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kemudian narapidana dalam
goa tersebut adalah orang-orang yang menerima pengalaman spontan begitu saja.
Sedangkan orang yang lolos dari goa adalah orang yang memperkirakan bahwa
realitas inderawi tidak lain daripada bayang-bayang saja, mereka itulah
filosof. Mula-mula orang-orang yang lolos (filosof) itu merasa heran sekali,
tetapi berangsur-angsur mereka menemui idea kebaikan, yang dalam
mitos tentang goa ini dinisbatkan kepada matahari yang menyinari segalanya.
Untuk mencapai kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan
suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari panca indera yang menyesatkan.[2]
Berdasarkan pada sebuah
kutipan, makna dari Form of the good (bentuk kebaikan):
”Yang menanamkan kebenaran pada sesuatu yang diketahui,
serta kemampuan mengetahui pada orang yang mengetahui, adalah apa yang saya
katakan kepada Anda sebagai idea kebaikan, dan ini bisa Anda
anggap sebagai sumber ilmu pengetahuan.”[3]
Posisi kebaikan (the good) dalam filsafat Plato
sangat istimewa. Ilmu pengetahuan dan kebenaran, ujarnya, adalah seperti
kebaikan, namun kebaikan lebih tinggi kedudukannya. ”Kebaikan bukanlah esensi,
namun jauh melebihi esensi dalam hal derajat dan dayanya.” Dialektika
menghantarkan ke ujung terakhir dunia intelektual dan baru sesudah itu,
kebaikan absolut dapat ditangkap. Dengan sarana kebaikanlah dialektika bisa
melepaskan diri dari hipotesis-hipotesis para matematisi. Asumsi dasarnya
adalah bahwa realitas, yang berbeda dengan penampakan, adalah sepenuhnya dan
seutuhnya baik; jika dapat menangkap kebaikan, berarti dapat pula
menangkap realitas.
Idea yang tertinggi adalah idea kebaikan. Plato
menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan tidak saja
sebab timbulnya tujuan pengetahuan dalam dunia yang lahir, tapi juga sebab
tumbuh dan berkembang segala-galanya. Idea kebaikan adalah pokok. Karena sinar
yang memancar dari idea kebaikan, semuanya tertarik padanya dan karena itu, ia
menjadi sebab tujuan dari segala-galanya.[4]
Di bawah cahaya ’idea kebaikan’, orang harus mencapai
terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup.
Siapa yang hidup dalam dunia idea, tidak dapat berbuat jahat.
Problems About Form
(Masalah ’Bentuk’)
Tentang hubungan benda-benda dengan idea. Plato
adakalanya menyebut ’hadirnya’ idea itu pada benda-benda. Pengertian ini dalam
logikanya bertentangan dengan penerimaan dua dunia yang terpisah sama sekali.
Dengan cara sofistik dan metode Zeno orang dapat menyerang dan meruntuhkan
keutuhan filosofi Plato. Tetapi dengan niat yang baik, maksudnya dapat
ditangkap. Kesulitan yang sebenarnya terletak pada kekurangan bahasa untuk
meggambarkan pengertian hubungan dengan setepat-tepatnya.[5]
Plato tak punya pemahaman tentang sintaksis filsafat.
Sokrates adalah manusia dan Plato adalah manusia. Dalam semua pernyaaan itu,
bisa diandaikan bahwa kata ”manusia” mengandung makna yang sepenuhnya sama.
Tetapi kata itu memiliki arti yang tak sepenuhnya sama dengan Sokrates, Plato,
dan individu lainnya. Manusia disitu adalah kata sifat, tak ada artinya jika
mengatakan manusia adalah manusia. Plato membuat analogi yang salah dengan
mengatakan manusia adalah manusia. Ia berpendapat bahwa keindahan adalah indah;
ia mengira bahwa manusia universal adalah nama dari suatu manusia-teladan yang
dicipta oleh Tuhan, yang jika dibandingkan dengannya manusia-manusia aktual ini
tidak sempurna dan hanyalah tiruan semu.
Masalah tentang bentuk (form=idea) tidak hanya terjadi
pada diri Plato, tetapi juga dialami oleh para filosof pada umumnya. Seperti
masalah yang diungkapkan oleh Sokrates mengenai keberadaan idea rambut, lumpur,
kotoran, dll. Lain halnya dengan Parmenides yang mengungkapkan masalah bahwa
ide-ide kalaupun memang ada tentunya tidak dapat diketahui, sebab pengetahuan
kita tidak absolut.
Conclusion
(Kesimpulan)
Semua penghargaan atau kepercayaan ini melihat lebih
dekat pada ontology Plato tentang ‘bentuk’: dalam sebuah pertanyaan apakah
Plato mempunyai teori ‘bentuk’ atau sejenisnya yang merupakan perbaikan dan
peningkatan dari para pendahulunya; dalam persaingan, sumbangannya kadang berbahasa
metaforis[6] mengenai ‘bentuk’ secara harfiah dan tepat; dan
persaingan konsepsi ‘bentuk’ diwujudkan dalam perlakuan Plato terhadap mereka
dalam konteks yang berbeda sebagai paradigma yang sempurna, di mana particular
hanyalah sebuah bayangan yang tidak sempurna dan merupakan wujud abstrak yang
dengan jelas secara keseluruhan bahwa particular hanyalah mengambil bagian. Masih
terlalu dini pada tahap ini untuk menghargai kritikan yang dipertimbangkan Plato
kepada Parmenides. Walaupun dengan beberapa bukti, hal ini tetap dalam keadaan
genting untuk menguasai argumen-argumen eksistensi Plato sebagai sebuah
keyakinan. Diharapkan di sini, malahan hanya pengantar ini untuk Plato telah
menyediakan beberapa intense untuk mengejar hal-hal (matter) pada signifikasi
filosofis yang lebih besar kedalaman dan kedetilannya. Filsafat Plato
memberikan saham yang besar bagi siapa saja yang mendekatinya dengan tuntutan
upaya keintelektualan yang serius.[7]
DAFTAR
PUSTAKA
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani.
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2006)
Bertrand
Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar)
Prof. Dr. K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Filsafat
Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
[1] Drs. Atang Abdul Hakim,
M.A dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Filsafat Umum dari Mitologi sampai
Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hal. 193
[2] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Hal. 135
[3] Bertrand Russel, Sejarah
Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar) Hal. 170
[4] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A ----,Op.Cit
, Hal. 206
[5] Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006),
hal.105
[6] Metaforis: sesuatu yang
berbau metafora; pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
[7] Christopher Shields, Classical Philosophy a Contemporary
Indroduction, (Great Britain: Taylor & Francis Books Ltd.), Hal.98
0 komentar:
Posting Komentar