I.
Seputar Epistemologi
a.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Epistemologi
Seperti
pembahasan-pembahasan filsafat pada umumnya, epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi
dan aksiologi.[1]
Istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Feriere dengan maksud
untuk membedakan dua cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Jika
dalam ontologi pertanyaan pokok itu menyangkut yang ada dan adanya
(being), maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang saya
ketahui.
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti kata, pikiran, ilmu atau teori. Karena itu secara etimologis,
epistemologi berarti ilmu atau teori tentang pengetahuan yang benar.[2]
Ada beberapa
pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan
untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Menurut Dagobert D. Runes,
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur,
metode-metode dan validitas pengetahuan.[3]
Sementara itu Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”.[4]
Epistemologi
pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berakaitan dengan apa itu
pengetahuan dan bagaimana memeroleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada
dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah
menyusun pendapat tentang sesuatu objek. Dengan kata lain, menyusun gambaran
dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal.[5]
Sekarang
beranjak pada pembahasan ruang lingkup epistemologi. M. Arifin merinci ruang
lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor
Achamd merinci menjadi enam aspek, yaitu, hakikat, unsur, macam, tumpuan,
batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saefuddin mnyebutkan, bahwa
epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana
asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang
dapat kita ketahui, dan sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu
dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah
benarnya ilmu.[6]
b.
Objek
dan Tujuan Epistemologi
Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut
Jujun S. Suriasumantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita
untuk memeroleh pengetahuan.”[7]
Proses untuk memeroleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab
sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam
mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Lantas, apakah
yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan
epistemologi bukanlah hal yang pertama untuk menjawab pertanyaan, adakah saya
dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memeroleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yang
ingin memiliki potensi untuk memeroleh pengetahuan.[8]
c.
Landasan
Epistemologi
Landasan
epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab
ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki
landasan yang kokoh. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau
tergantung landasannya.
“Di dalam
filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya.” Sedangkan
landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.[9]
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah.
d.
Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan
adalah persatuan antara subjek dan objek; denga mengetahui subjek manunggal
dengan objek dan objek menjadi manunggal dengan subjek.[10]
Jika pengetahuan dianalisa lebih lanjut, tampak bahwa dalam pengetahuan itu
terdapat aktifitas dari pihak subjek maupun dari pihak objek dan sebaliknya,
hal ini menimbulkan teori-teori tentang hakikat pengetahuan itu sendiri. Ada
dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan,[11]
yaitu:
1.
Realisme
Pengetahuan
menurut pandangan realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa
yang ada dalam alam nyata. Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini seperti gambaran yang
terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan
adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[12]
2.
Idealisme
Pengetahuan menurut
pandangan idealisme adalah proses mental atau proses psikologis yang bersifat
subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan
gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Oleh karena
itu, pengetahuan menurut idealisme tidak menggambarkan kebenaran yang
sebenarnya. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau
penglihatan orang yang mengetahui.
e.
Sumber
Pengetahuan
Ada tiga teori tentang jalan
memeroleh pengetahuan atau sumber pengetahuan:[13]
1.
Empirisme
Menurut
pandangan empirisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara panca indera. Panca
indera mendapatkan kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan
itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan tersusun dari pengaturan
kesan-kesan yang semacam itu. Jadi, seorang empirisme berpendirian bahwa kita
dapat memeroleh pengetahuan melalui pengalaman.
2.
Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Panca indera yang
memeroleh data dari alam nyata, tetapi akal yang menghubungkan data ini satu
sama lainnya, sehingga terbentuklah pengetahuan.
3.
Iluminasionisme/Intuisionisme
Intuisi
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, intuisi adalah sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Dalam filsafat barat diperoleh lewat
usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten. Sedangkan dalam Islam ma’rifah
diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.
II.
Epistemologi Islam
Epistemologi
Islam perlu dijadikan alternatif terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan
Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di
bawah kendali epistemologi Barat. Epistemologi Islam ini memiliki fungsi yang
sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini bisa
membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan
secara umum peradaban, mengingat bahwa epistemologi tersebut merupakan media
atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan.
Epistemologi
Islam ini diharapkan menjadi suatu pendekatan ilmuwan yang memiliki besar dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan teknologi yang berkepedulian terhadap
lingkungan baik lingkungan geografis, lingkungan sosial maupun lingkungan
budaya. Dengan kata lain, epistemologi Islam menjadi media mewujudkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang “beradab”.[14]
Lantas apakah
yang dinamakan dengan epistemologi Islam
itu sendiri? Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah
masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan
secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikir.[15]
Ziauddin Sardar
menyebutkan bahwa ada beberapa ciri dasar epistemologi Islam yaitu:
1.
Yang
didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak
2.
Dalam
kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif
3.
Dia
memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
4.
Sebagian
besar bersifat deduktif
5.
Dia
memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam
6.
Dia
memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu
menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang
objektif
7.
Dia
berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan
pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Muslim memeroleh
komitmen-komitmen nilai dasar mereka[16]
Para pemikir
Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki
objek-objeknya, yaitu: (1) metode observasi, atau disebut bayani, (2)
metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif, yang
masing-masing bersumber pada indera, akal, dan hati.[17]
1.
Indera
Berbeda dengan
ahli neulogi modern, menurut para filosof Muslim, indera merupakan kecakapan
(daya) jiwa, yang dimiliki oleh setiap hewan (termasuk manusia), dan bukan
hanya sekedar merupakan kecakapan fisik seperti yang banyak dibayangkan oleh
ilmuwan modern. Jadi, bersama dengan gerak (harakah), indera (sensasi)
merupakan kecakapan jiwa manusia. Sebagai kecakapan jiwa, indera-indera manusia
ini bekerja dengan sangat menakjubkan. Mata, misalnya, dengan sel-sel saraf
yang berhubungan dengan cahaya, dapat mencerap bukan hanya bentuk benda-benda
fisik yang diamatinya tapi juga warna mereka. Gelombang mata yang masuk ke
retina ternyata mampu diterjemahkan oleh mata sebagai warna dan bentuk
benda-benda. Dengan demikian, objek-objek fisik yang dapat ditangkapnya dengan
bantuan cahaya juga bisa menimbulkan keindahan yang luar biasa bagi siapa saja
yang menikmatinya.[18]
Singkat kata,
panca indera ini telah memungkinkan manusia untuk bisa mencerap berbagai
dimensi dari sebuah benda yang diamatinya, sehingga mereka akan menjadi alat
pengamat benda-benda fisik yang sangat canggih dan berguna sebagai sumber
informasi. Namun selain memiliki unsur kognitif, indera juga memiliki fungsi
lain yang barangkali sesungguhnya lebih vital, yaitu sebagai instrumen
kelangsungan hidup manusia.[19]
2.
Akal
Akal sebagai
sumber ilmu yang kedua, memainkan peranan yang sangat esensial dalam melengkapi
kekurangan indera. Menurut Nashr al-Din Thusi akal merupakan kesempurnaan
manusia, yang di atasnya tergantung harkat dan esensi manusia. Kekuatan khas
yang dimiliki akal adalah kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep
universal yang sudah diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga mampu
berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda
fisik.
Akal
menyelidiki benda fisik yang dicerap indera dengan mengajukan berberapa
pertanyaan seperti apa, di mana, mengapa, siapa, dan lain-lain. Dengan
penyelidikan akal yang seperti ini maka akal sangat potensial untuk menjadi
sumber pengetahuan yang kaya dan luas jika digunakan dengan baik dan
sistematis.
Selain mampu
menangkap objek-objek inderawi, akal juga menangkap konsep abstrak yang tidak
berdasar pada penginderaan seperti mampu memahami perasaan, mengomunikasikan
pikiran, metafisik, dan sebagainya.
3.
Hati
(Intuisi)
Pegenalan
intuitif disebut dengan hudhuri, karena objek penelitiannya hadir dalam jiwa
penelitinya, sehingga ia menjadi satu dan identik dengannya. Di sini hubungan
antara subjek dan objek terjembatani sehingga tidak menimbulkan jurang yang
dalam antara subjek dan objek yang mewarnai modus pengetahuan rasional. Adanya
intuisi dipercaya bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai
suatu kesatuan sumber ilmu yang manusia miliki.
III.
Kesimpulan
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan hakekat, keaslian, sumber, struktur,
metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian,
kodrat,pengetahuan pertanggungjawaban dan skop pengetahuan. Seluruh manusia
dewasa ini sesungguhnya dibentuk oleh image manusia Barat, sehingga
terjadilah “imperialisme epistemologi”. Tidak terkecuali kalangan Muslim,
mereka telah “dijajah” Barat melalui epistemologinya. Hal inilah yang
membahayakan umat Islam.
Untuk
menyelamatkan umat Islam berikut peradabannya akibat dari bahaya yang
ditimbulkan oleh pengaruh epistemologi Barat tersebut, pemikir Muslim, seperti
Ziauddin Sardar, Ismail Raji al-Faruqi, Syed Mohammad Naquib al-Attas dan
lain-lain, sepakat untuk membangun epistemologi Islam. Epistemologi Islam
menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat yang lebih baik dengan
suatu peradaban Islam yang mapan dan stabil. Maka epistemologi Islam menekankan
pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang
merupakan landasan utama peradaban Muslim. Selanjutnya, mengingat salah satu
aspek yang dibahas dalam epistemologi adalah metode, maka epistemologi Islam
akan melahirkan metodologi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, Miska
Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 2006.
Azra, Azyumardi.
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu. 1999.
Bakhtiar, Amsal.
Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta:
Rajawali Pers. 2009.
Kartanegara,
Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung:
Mizan, 2005.
..............,
Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2003.
Kebung, Konrad.
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2011.
Nasution, Harun.
Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Pranarka, A.M.W.
Epistemologi Dasar. Jakarta: CSIS, 1987.
Qomar, Mujamil.
Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik.
Jakarta: Erlangga 2005.
Runes, Dagobert
D., Dictionary of Philosophy. New Jersey: Little Field Adams & CO.
1963.
Sardar,
Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 1993.
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1990.
.............. (ed.),
Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gamedia, 1989.
[1] Mujamil Qomar,
Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta:
Erlangga, 2005), h. 1
[2] Konrad kebung,
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 57
[3] Dagobert D.
Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field Adams &
CO, 1963), h. 49
[4] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 144
[5] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 37
[6] Mujamil Qomar,
h. 4
[7] Jujun S.
Suriasumantri, “tentang hakikat ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S.
Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gamedia, 1989),
h. 9
[8]
Mujamil Qomar,
h. 8
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sosial
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 105
[10] A.M.W
Pranarka, Epistemologi Dasar (Jakarta: CSIS, 1987), h. 36
[11] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 37
[12] Harun
Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 8
[13]
Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama, h. 41
[14]
Mujamil Qomar,
h. 169
[15] Miska Muhammad
Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 12
[16] Ziauddin
Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 1993), h. 44-45
[17] Mulyadhi
Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2005), h. 61
[18] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2003), h. 79
[19] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 81
0 komentar:
Posting Komentar