Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Jumat, 04 Januari 2013

Epistemologi



I.              Seputar Epistemologi
a.              Pengertian dan Ruang Lingkup Epistemologi
Seperti pembahasan-pembahasan filsafat pada umumnya, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.[1] Istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Feriere dengan maksud untuk membedakan dua cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Jika dalam ontologi pertanyaan pokok itu menyangkut yang ada dan adanya (being), maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang saya ketahui.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata, pikiran, ilmu atau teori. Karena itu secara etimologis, epistemologi berarti ilmu atau teori tentang pengetahuan yang benar.[2]
Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Menurut Dagobert D. Runes, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.[3] Sementara itu Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.[4]
Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berakaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memeroleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang sesuatu objek. Dengan kata lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal.[5]
Sekarang beranjak pada pembahasan ruang lingkup epistemologi. M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achamd merinci menjadi enam aspek, yaitu, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saefuddin mnyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[6]

b.             Objek dan Tujuan Epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memeroleh pengetahuan.”[7] Proses untuk memeroleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Lantas, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang pertama untuk menjawab pertanyaan, adakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memeroleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yang ingin memiliki potensi untuk memeroleh pengetahuan.[8]

c.              Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau tergantung landasannya.
“Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya.” Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.[9] Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.

d.             Hakikat  Pengetahuan
Pengetahuan adalah persatuan antara subjek dan objek; denga mengetahui subjek manunggal dengan objek dan objek menjadi manunggal dengan subjek.[10] Jika pengetahuan dianalisa lebih lanjut, tampak bahwa dalam pengetahuan itu terdapat aktifitas dari pihak subjek maupun dari pihak objek dan sebaliknya, hal ini menimbulkan teori-teori tentang hakikat pengetahuan itu sendiri. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan,[11] yaitu:
1.             Realisme
Pengetahuan menurut pandangan realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[12]
2.             Idealisme
Pengetahuan menurut pandangan idealisme adalah proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Oleh karena itu, pengetahuan menurut idealisme tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.

e.              Sumber Pengetahuan
Ada tiga teori tentang jalan memeroleh pengetahuan atau sumber pengetahuan:[13]
1.             Empirisme
Menurut pandangan empirisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara panca indera. Panca indera mendapatkan kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan tersusun dari pengaturan kesan-kesan yang semacam itu. Jadi, seorang empirisme berpendirian bahwa kita dapat memeroleh pengetahuan melalui pengalaman.
2.             Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Panca indera yang memeroleh data dari alam nyata, tetapi akal yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terbentuklah pengetahuan.
3.             Iluminasionisme/Intuisionisme
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Dalam filsafat barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten. Sedangkan dalam Islam ma’rifah diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.

II.           Epistemologi Islam
Epistemologi Islam perlu dijadikan alternatif terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali epistemologi Barat. Epistemologi Islam ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini bisa membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan secara umum peradaban, mengingat bahwa epistemologi tersebut merupakan media atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan.
Epistemologi Islam ini diharapkan menjadi suatu pendekatan ilmuwan yang memiliki besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan teknologi yang berkepedulian terhadap lingkungan baik lingkungan geografis, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Dengan kata lain, epistemologi Islam menjadi media mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang “beradab”.[14]
Lantas apakah yang  dinamakan dengan epistemologi Islam itu sendiri? Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikir.[15]
Ziauddin Sardar menyebutkan bahwa ada beberapa ciri dasar epistemologi Islam yaitu:
1.    Yang didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak
2.    Dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif
3.    Dia memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
4.    Sebagian besar bersifat deduktif
5.    Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam
6.    Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif
7.    Dia berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Muslim memeroleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka[16]
Para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya, yaitu: (1) metode observasi, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif, yang masing-masing bersumber pada indera, akal, dan hati.[17]
1.             Indera
Berbeda dengan ahli neulogi modern, menurut para filosof Muslim, indera merupakan kecakapan (daya) jiwa, yang dimiliki oleh setiap hewan (termasuk manusia), dan bukan hanya sekedar merupakan kecakapan fisik seperti yang banyak dibayangkan oleh ilmuwan modern. Jadi, bersama dengan gerak (harakah), indera (sensasi) merupakan kecakapan jiwa manusia. Sebagai kecakapan jiwa, indera-indera manusia ini bekerja dengan sangat menakjubkan. Mata, misalnya, dengan sel-sel saraf yang berhubungan dengan cahaya, dapat mencerap bukan hanya bentuk benda-benda fisik yang diamatinya tapi juga warna mereka. Gelombang mata yang masuk ke retina ternyata mampu diterjemahkan oleh mata sebagai warna dan bentuk benda-benda. Dengan demikian, objek-objek fisik yang dapat ditangkapnya dengan bantuan cahaya juga bisa menimbulkan keindahan yang luar biasa bagi siapa saja yang menikmatinya.[18]
Singkat kata, panca indera ini telah memungkinkan manusia untuk bisa mencerap berbagai dimensi dari sebuah benda yang diamatinya, sehingga mereka akan menjadi alat pengamat benda-benda fisik yang sangat canggih dan berguna sebagai sumber informasi. Namun selain memiliki unsur kognitif, indera juga memiliki fungsi lain yang barangkali sesungguhnya lebih vital, yaitu sebagai instrumen kelangsungan hidup manusia.[19]
2.             Akal
Akal sebagai sumber ilmu yang kedua, memainkan peranan yang sangat esensial dalam melengkapi kekurangan indera. Menurut Nashr al-Din Thusi akal merupakan kesempurnaan manusia, yang di atasnya tergantung harkat dan esensi manusia. Kekuatan khas yang dimiliki akal adalah kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.
Akal menyelidiki benda fisik yang dicerap indera dengan mengajukan berberapa pertanyaan seperti apa, di mana, mengapa, siapa, dan lain-lain. Dengan penyelidikan akal yang seperti ini maka akal sangat potensial untuk menjadi sumber pengetahuan yang kaya dan luas jika digunakan dengan baik dan sistematis.
Selain mampu menangkap objek-objek inderawi, akal juga menangkap konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan seperti mampu memahami perasaan, mengomunikasikan pikiran, metafisik, dan sebagainya.


3.             Hati (Intuisi)
Pegenalan intuitif disebut dengan hudhuri, karena objek penelitiannya hadir dalam jiwa penelitinya, sehingga ia menjadi satu dan identik dengannya. Di sini hubungan antara subjek dan objek terjembatani sehingga tidak menimbulkan jurang yang dalam antara subjek dan objek yang mewarnai modus pengetahuan rasional. Adanya intuisi dipercaya bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang manusia miliki.

III.        Kesimpulan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan hakekat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,pengetahuan pertanggungjawaban dan skop pengetahuan. Seluruh manusia dewasa ini sesungguhnya dibentuk oleh image manusia Barat, sehingga terjadilah “imperialisme epistemologi”. Tidak terkecuali kalangan Muslim, mereka telah “dijajah” Barat melalui epistemologinya. Hal inilah yang membahayakan umat Islam.
Untuk menyelamatkan umat Islam berikut peradabannya akibat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh epistemologi Barat tersebut, pemikir Muslim, seperti Ziauddin Sardar, Ismail Raji al-Faruqi, Syed Mohammad Naquib al-Attas dan lain-lain, sepakat untuk membangun epistemologi Islam. Epistemologi Islam menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang mapan dan stabil. Maka epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban Muslim. Selanjutnya, mengingat salah satu aspek yang dibahas dalam epistemologi adalah metode, maka epistemologi Islam akan melahirkan metodologi Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Amien, Miska Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 2006.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2005.
.............., Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2011.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Pranarka, A.M.W. Epistemologi Dasar. Jakarta: CSIS, 1987.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga 2005.
Runes, Dagobert D., Dictionary of Philosophy. New Jersey: Little Field Adams & CO. 1963.
Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1993.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990.
.............. (ed.), Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gamedia, 1989.



[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 1
[2] Konrad kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 57
[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field Adams & CO, 1963), h. 49
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 144
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 37
[6] Mujamil Qomar, h. 4
[7] Jujun S. Suriasumantri, “tentang hakikat ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gamedia, 1989), h. 9
[8] Mujamil Qomar, h. 8
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 105
[10] A.M.W Pranarka, Epistemologi Dasar (Jakarta: CSIS, 1987), h. 36
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 37
[12] Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 8
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 41
[14] Mujamil Qomar, h. 169
[15] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 12
[16] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993), h. 44-45
[17] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), h. 61
[18] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 79
[19] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 81

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena