Nama Ibn ‘Arabî di dunia falsafah tampaknya sudah tak
asing lagi. Pasalnya, Ibn ‘Arabî adalah orang yang dianggap paling kontroversial
dan sering membuat orang kesulitan untuk bisa memahami pemikirannya. Pemikiran
beliau yang masih menarik untuk dibahas sampai sekarang adalah mengenai wahdah
al-wujûd (kesatuan wujud), yang mana mampu menghipnotis dan membius para failasuf
terkemudian (baik dalam pengertian luas dan sempit) untuk bisa memahami
pemikiran beliau sebenarnya.
Pembahasan mengenai Wahdah al-wujûd yang
dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan
konsep tasybîh dan tanzîh, karena konsep ini berkaitan erat
dengan konsep tasybîh (keserupaan) dan tanzîh (ketakserupaan).
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas konsep tasybîh
dan tanzîh menurut Ibn ‘Arabî.
Pembahasan
Penjelasan mengenai dualitas
yaitu haqq dan khalq dalam pandangan Ibn ‘Arabî bukanlah
dualitas riel dari wujud-wujud. Disebut haqq, yakni bila
dipandang sebagai esensi dari semua fenomena; dan disebut khalq, yakni
bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu. Haqq
dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak
tidak lain hanyalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakikat, yakni
Tuhan. Kedua aspek ini mucul hanyalah dari tanggapan akal semata, sedangkan
pada hakikatnya segalanya itu hanyalah satu.[1]
Mengenai dualitas di atas (haqq dan khalq)
menurut Ibn ‘Arabî bisa dinamakan dengan pembedaan atribut-atribut. Pembedaan
atribut-atribut ini diidentifikasikan di dalam falsafahnya yang kemudian dinamakan
transendensi dan imanensi. Dua istilah Arab (tasybîh dan tanzîh)
telah lama digunakan oleh teologian-teologian Muslim untuk mengartikan keduanya
sebagai penyamaan (komparabilitas) dan pembedaan (inkomparabilitas) Tuhan
terhadap wujud-wujud ciptaan dalam kaitannya dengan doktrin-doktrin
anthropomorfisme dan korporealisme, dan perkara ini nampaknya telah mengalami
modifikasi besar di tangan Ibn ‘Arabî, yang menggunakan keduanya dalam
pengertian yang lebih falsafi.[2]
Polemik mengenai konsep tasybîh dan tanzîh
memang sangat menarik untuk dibahas. Konsep ini bukan hanya diminati oleh para
pemikir Islam saja, tetapi juga diminati oleh para pemikir Barat. Dalam bahasa
teologis, Ibn ‘Arabî menggambarkan visi yang dicapai melalui kesempurnaan
sebagai paduan seimbang antara penegasan ketakserupaan (tanzîh) Tuhan
dan penegasan keserupaan (tasybîh)-Nya. Para mutakallim memandang
tanzîh sebagai pendapat yang benar dan mengutuk tasybîh. Sedangkan
Ibn ‘Arabî memegang tasybîh sepanjang dipertahankan secara seimbang
dengan tanzîh. Tidak ada istilah yang dapat digunakan untuk menyebut
Tuhan dalam pengertian yang eksklusif.[3]
Dalam pengertian ini seseorang bisa menjadi
anthropomorfis atau korporealis tanpa harus menjadi seorang pantheis, yakni
Tuhan itu diasumsikan memunyai kualitas-kualitas dan atribut-atribut yang
sebanding dengan manusia dan objek-objek fisik, namun tetap berbeda dilihat
dengan cara apapun tidak identik dengan manusia atau objek-objek fisik lainnya
atau dengan seluruh alam.
Imanensi dan transendensi (tasybîh dan tanzîh)
harus digunakan dalam pengertian yang berbeda. Pernyataan bahwa Tuhan
“mendengar” atau “melihat” atau punya “tangan”, dan sebagainya, menurut
anthropomorphis, sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Ibn ‘Arabî,
karena pernyataan seperti itu tidak dimaksudkan sebagai Tuhan memiliki “alat pendengar”
atau “alat penglihat” atau “tangan” dan sebagainya, melainkan Tuhan itu imanen
dalam semua pendengaran, penglihatan, atau memunyai tangan.
Tuhan mendengar dan melihat dalam setiap wujud yang
dapat dilihat dan didengar, dan itu merupakan imanensi-Nya (tasybîh).
Sebaliknya, esensi-Nya tidak terbatas kepada satu wujud atau satu kelompok
wujud yang mendengar dan melihat saja, tapi dimanifestasikan dalam semua wujud.
Oleh karena itu, Tuhan adalah transenden karena Ia ada di atas semua limitasi
dan individualisasi.
Maka dari itu, penting untuk dipahami bagaimana upaya
Ibn ‘Arabî mengaitkan tasybîh dan tanzîh sebagai dua kategori
yang luas akan sifat-sifat Ilahi sehingga sering dibahas para pemikir Muslim.
Sifat-sifat yang dimaksud adalah Kasih Sayang (Rahmah) dan
Kemurkaan (Ghadhab), atau Karunia (Fadhl) dan Adil (‘Adl),
atau Keindahan (Jamâl) dan Keagungan (Jalâl), atau Kelembutan (Luthf)
dan Mahakeras (Qahr). Al-Quran dan hadis mempertautkan Sifat-Sifat Indah
dan karunia dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan mereka
mengaitkan Sifat-Sifat keras dan agung dengan kejauhan-Nya dari makhluk-Nya.[4]
Dengan sedikit penjelasan di atas, sebenarnya bisa
dianalisis bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabî dengan tegas menolak anthropomorfisme dan
korporealisme, karena dalam bentuk apapun Tuhan telah menggambarkan diri-Nya
sendiri di dalam al-Qur’an, di mana kedua aspek transendensi dan imanensi harus
diperhatikan. Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan punya tangan, kaki, dan
sebagainya, yang mana menurut Ibn ‘Arabî ini memang benar dan bukan dalam
pengertian anthropomorfis bahwa ia punya tangan dan kaki yang sebanding dengan
yang dipunyai manusia, tapi dalam pengertian bahwa Ia itu pada hakikatnya
memunyai tangan-tangan dan kaki-kaki dari semua yang punya tangan-tangan dan kaki-kaki.[5]
Manifestasi dalam bentuk-bentuk yang terbatas seperti tangan-tangan, kaki-kaki,
dan sebagainya, merupakan tasybîh-Nya, sedangkan wujud-Nya di dalam
diri-Nya sendiri di atas limitasi-limitasi merupakan tanzîh-Nya yang
seperti itu.
Jadi, Tuhan – dari segi esensi-Nya – tetap transenden.
Yang imanen hanya – dari segi – nama-nama (asma) dan sifat-sifat-Nya. Ini
berbeda dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanen dalam segala sesuatu
dan manunggal dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat ilahi.[6] Secara
umum bahwa Tuhan dipahami dalam hubungannya dengan tanzîh sejauh Dia
tidak bisa diakses, tetapi Dia dipahami hubungannya dengan tasybîh
sejauh Dia “lebih dekat dengan manusia daripada urat leher” (QS. Qâf
[50]: 16). Ketika al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan
kedua Tangan-Nya (QS. Shâd [38]: 75), Ibn ‘Arabî memahami maknanya sebagai
berikut: Dia menggunakan Sifat-sifat tasybîh maupun tanzîh untuk
mewujudkan citra diri-Nya. dari sini, Tuhan hadir bersama makhluk-makhluk-Nya sekaligus
gaib bagi mereka.
Dengan menegaskan tanzîh, manusia mengakui
ke-yang-lainan (ghairiyyah) dari setiap sesuatu; dan dengan menegaskan tasybîh,
manusia mengakui “kebersamaan” Tuhan (ma’iyyah, suatu istilah yang
dipinjam dari ayat “Tuhan bersama kamu di mana pun kamu berada” (QS. Al-Hadîd
[57]: 4). Memusatkan diri pada tanzîh ataupun tasybîh dan
menghilangkan penekanan pada perspektif lainnya berarti menyelewengkan hubungan
aktual antara Tuhan dan dunia. Pengetahuan hakiki bergantung pada penglihatan segala
sesuatu dengan mata imajinasi maupun mata akal. [7]
Jika dikaji dalam pengertian yang lebih luas, pandangan
Ibn ‘Arabî terhadap tasybîh dan tanzîh memperlihatkan proyeknya
untuk mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan tauhîd.
Namun, perspektif sufi, yang umumnya menekankan tasybîh dan lebih
menandaskan Rahmat Tuhan dan kedekatan-Nya ketimbang kemarahan dan
kejauhan-Nya, dinilai lebih unggul dan lebih baik. Walaupun Ibn ‘Arabî juga
menyatakan bahwa tiap sesuatu dan semua sesuatu adalah Tuhan (aspek imanen)
namun ia berhati-hati untuk tidak menyatakan kebalikannya yakni bahwa Tuhan
adalah semua benda dalam arti menjadi kesatuan eksistensi. Tuhan adalah
kesatuan dibalik multiplisitas, dan realitas dibalik pemunculan (appearance)
(aspek transenden).
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A.E. Filsafat
Mistis Ibn ‘Arabî. 1995. Ciputat: PT. Gaya Media Pratama
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan
Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî. Jakarta: Paramadina
Hirtenstein,
Stephen. 2001. Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Nasr, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Noer, Kautsar Azhari. 1995. Ibn
al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina
[1]
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabî oleh al-Jîlî, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, hlm. 50-51
[2]
A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabî, (Ciputat: PT. Gaya Media
Pratama, 1995), cet. II, hlm. 37
[3]Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), terj.William C. Chittick, cet. I, hlm. 623
[4] Ibid.,
hlm. 623
[5] Fut.
I, hlm. 122-123. Ibn ‘Arabî menginterpretasikan semua bagian anthropomorfis
dari Qur’an dengan cara seperti ini : lihat misalnya Fus. hlm. 77-78
[6]
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam
Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 159
[7]
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., hlm. 624-625
0 komentar:
Posting Komentar