Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Jumat, 13 April 2012

KONSEP TASYBÎH DAN TANZÎH MENURUT IBN ‘ARABÎ

Oleh: Daqoiqul Misbah


Nama Ibn ‘Arabî di dunia falsafah tampaknya sudah tak asing lagi. Pasalnya, Ibn ‘Arabî adalah orang yang dianggap paling kontroversial dan sering membuat orang kesulitan untuk bisa memahami pemikirannya. Pemikiran beliau yang masih menarik untuk dibahas sampai sekarang adalah mengenai wahdah al-wujûd (kesatuan wujud), yang mana mampu menghipnotis dan membius para failasuf terkemudian (baik dalam pengertian luas dan sempit) untuk bisa memahami pemikiran beliau sebenarnya.

Pembahasan mengenai Wahdah al-wujûd yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan konsep tasybîh dan tanzîh, karena konsep ini berkaitan erat dengan konsep tasybîh (keserupaan) dan tanzîh (ketakserupaan). Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas konsep tasybîh dan tanzîh menurut Ibn ‘Arabî.

Pembahasan
            Penjelasan mengenai dualitas yaitu haqq dan khalq dalam pandangan Ibn ‘Arabî bukanlah dualitas riel dari wujud-wujud. Disebut haqq, yakni bila dipandang sebagai esensi dari semua fenomena; dan disebut khalq, yakni bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu. Haqq dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak tidak lain hanyalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakikat, yakni Tuhan. Kedua aspek ini mucul hanyalah dari tanggapan akal semata, sedangkan pada hakikatnya segalanya itu hanyalah satu.[1]
Mengenai dualitas di atas (haqq dan khalq) menurut Ibn ‘Arabî bisa dinamakan dengan pembedaan atribut-atribut. Pembedaan atribut-atribut ini diidentifikasikan di dalam falsafahnya yang kemudian dinamakan transendensi dan imanensi. Dua istilah Arab (tasybîh dan tanzîh) telah lama digunakan oleh teologian-teologian Muslim untuk mengartikan keduanya sebagai penyamaan (komparabilitas) dan pembedaan (inkomparabilitas) Tuhan terhadap wujud-wujud ciptaan dalam kaitannya dengan doktrin-doktrin anthropomorfisme dan korporealisme, dan perkara ini nampaknya telah mengalami modifikasi besar di tangan Ibn ‘Arabî, yang menggunakan keduanya dalam pengertian yang lebih falsafi.[2]
Polemik mengenai konsep tasybîh dan tanzîh memang sangat menarik untuk dibahas. Konsep ini bukan hanya diminati oleh para pemikir Islam saja, tetapi juga diminati oleh para pemikir Barat. Dalam bahasa teologis, Ibn ‘Arabî menggambarkan visi yang dicapai melalui kesempurnaan sebagai paduan seimbang antara penegasan ketakserupaan (tanzîh) Tuhan dan penegasan keserupaan (tasybîh)-Nya. Para mutakallim memandang tanzîh sebagai pendapat yang benar dan mengutuk tasybîh. Sedangkan Ibn ‘Arabî memegang tasybîh sepanjang dipertahankan secara seimbang dengan tanzîh. Tidak ada istilah yang dapat digunakan untuk menyebut Tuhan dalam pengertian yang eksklusif.[3]
Dalam pengertian ini seseorang bisa menjadi anthropomorfis atau korporealis tanpa harus menjadi seorang pantheis, yakni Tuhan itu diasumsikan memunyai kualitas-kualitas dan atribut-atribut yang sebanding dengan manusia dan objek-objek fisik, namun tetap berbeda dilihat dengan cara apapun tidak identik dengan manusia atau objek-objek fisik lainnya atau dengan seluruh alam.
Imanensi dan transendensi (tasybîh dan tanzîh) harus digunakan dalam pengertian yang berbeda. Pernyataan bahwa Tuhan “mendengar” atau “melihat” atau punya “tangan”, dan sebagainya, menurut anthropomorphis, sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Ibn ‘Arabî, karena pernyataan seperti itu tidak dimaksudkan sebagai Tuhan memiliki “alat pendengar” atau “alat penglihat” atau “tangan” dan sebagainya, melainkan Tuhan itu imanen dalam semua pendengaran, penglihatan, atau memunyai tangan.
Tuhan mendengar dan melihat dalam setiap wujud yang dapat dilihat dan didengar, dan itu merupakan imanensi-Nya (tasybîh). Sebaliknya, esensi-Nya tidak terbatas kepada satu wujud atau satu kelompok wujud yang mendengar dan melihat saja, tapi dimanifestasikan dalam semua wujud. Oleh karena itu, Tuhan adalah transenden karena Ia ada di atas semua limitasi dan individualisasi.
Maka dari itu, penting untuk dipahami bagaimana upaya Ibn ‘Arabî mengaitkan tasybîh dan tanzîh sebagai dua kategori yang luas akan sifat-sifat Ilahi sehingga sering dibahas para pemikir Muslim. Sifat-sifat yang dimaksud adalah Kasih Sayang (Rahmah) dan Kemurkaan (Ghadhab), atau Karunia (Fadhl) dan Adil (‘Adl), atau Keindahan (Jamâl) dan Keagungan (Jalâl), atau Kelembutan (Luthf) dan Mahakeras (Qahr). Al-Quran dan hadis mempertautkan Sifat-Sifat Indah dan karunia dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan mereka mengaitkan Sifat-Sifat keras dan agung dengan kejauhan-Nya dari makhluk-Nya.[4]
Dengan sedikit penjelasan di atas, sebenarnya bisa dianalisis bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabî dengan tegas menolak anthropomorfisme dan korporealisme, karena dalam bentuk apapun Tuhan telah menggambarkan diri-Nya sendiri di dalam al-Qur’an, di mana kedua aspek transendensi dan imanensi harus diperhatikan. Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan punya tangan, kaki, dan sebagainya, yang mana menurut Ibn ‘Arabî ini memang benar dan bukan dalam pengertian anthropomorfis bahwa ia punya tangan dan kaki yang sebanding dengan yang dipunyai manusia, tapi dalam pengertian bahwa Ia itu pada hakikatnya memunyai tangan-tangan dan kaki-kaki dari semua yang punya tangan-tangan dan kaki-kaki.[5] Manifestasi dalam bentuk-bentuk yang terbatas seperti tangan-tangan, kaki-kaki, dan sebagainya, merupakan tasybîh-Nya, sedangkan wujud-Nya di dalam diri-Nya sendiri di atas limitasi-limitasi merupakan tanzîh-Nya yang seperti itu.
Jadi, Tuhan – dari segi esensi-Nya – tetap transenden. Yang imanen hanya – dari segi – nama-nama (asma) dan sifat-sifat-Nya. Ini berbeda dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanen dalam segala sesuatu dan manunggal dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat ilahi.[6] Secara umum bahwa Tuhan dipahami dalam hubungannya dengan tanzîh sejauh Dia tidak bisa diakses, tetapi Dia dipahami hubungannya dengan tasybîh sejauh Dia “lebih dekat dengan manusia daripada urat leher” (QS. Qâf [50]: 16). Ketika al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kedua Tangan-Nya (QS. Shâd [38]: 75), Ibn ‘Arabî memahami maknanya sebagai berikut: Dia menggunakan Sifat-sifat tasybîh maupun tanzîh untuk mewujudkan citra diri-Nya. dari sini, Tuhan hadir bersama makhluk-makhluk-Nya sekaligus gaib bagi mereka.
Dengan menegaskan tanzîh, manusia mengakui ke-yang-lainan (ghairiyyah) dari setiap sesuatu; dan dengan menegaskan tasybîh, manusia mengakui “kebersamaan” Tuhan (ma’iyyah, suatu istilah yang dipinjam dari ayat “Tuhan bersama kamu di mana pun kamu berada” (QS. Al-Hadîd [57]: 4). Memusatkan diri pada tanzîh ataupun tasybîh dan menghilangkan penekanan pada perspektif lainnya berarti menyelewengkan hubungan aktual antara Tuhan dan dunia. Pengetahuan hakiki bergantung pada penglihatan segala sesuatu dengan mata imajinasi maupun mata akal. [7]
Jika dikaji dalam pengertian yang lebih luas, pandangan Ibn ‘Arabî terhadap tasybîh dan tanzîh memperlihatkan proyeknya untuk mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan tauhîd. Namun, perspektif sufi, yang umumnya menekankan tasybîh dan lebih menandaskan Rahmat Tuhan dan kedekatan-Nya ketimbang kemarahan dan kejauhan-Nya, dinilai lebih unggul dan lebih baik. Walaupun Ibn ‘Arabî juga menyatakan bahwa tiap sesuatu dan semua sesuatu adalah Tuhan (aspek imanen) namun ia berhati-hati untuk tidak menyatakan kebalikannya yakni bahwa Tuhan adalah semua benda dalam arti menjadi kesatuan eksistensi. Tuhan adalah kesatuan dibalik multiplisitas, dan realitas dibalik pemunculan (appearance) (aspek transenden).


DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabî. 1995. Ciputat: PT. Gaya Media Pratama
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî. Jakarta: Paramadina
Hirtenstein, Stephen. 2001. Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Nasr, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Noer, Kautsar Azhari. 1995.  Ibn al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina


[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, hlm. 50-51
[2] A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabî, (Ciputat: PT. Gaya Media Pratama, 1995), cet. II, hlm. 37
[3]Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), terj.William C. Chittick, cet. I, hlm. 623
[4] Ibid., hlm. 623
[5] Fut. I, hlm. 122-123. Ibn ‘Arabî menginterpretasikan semua bagian anthropomorfis dari Qur’an dengan cara seperti ini : lihat misalnya Fus. hlm. 77-78
[6] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 159
[7] Seyyed Hossein Nasr, op. cit., hlm. 624-625

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena