Pendudukan Napoleon dan
Pembaharuan di Mesir
PENDAHULUAN
Sebelum menelisik pembaharuan yang dilakukan oleh
Napoleon di Mesir, perlu kiranya penulis memapaparkan sedikit biografi dari
Napoleon, mengingat perang Napoleon yang sangat besar bagi perubahan negara
Mesir. Agar lebih jelas siapa sebenarnya Napoleon itu, dan bagaimana ia
melakukan hal-hal yang sangat brilliant?
Jenderal dan Kaisar Perancis yang tenar, Napoleon I,
keluar dari rahim ibunya di Ajaccio, Corsica, pada 15 Agustus 1769 dan
meninggal pada 5 Mei 1821. Nama aslinya Napoleon Bonaparte. Ayahnya, Nobile Carlo Bounaparte, seorang pengacara, pernah menjadi
perwakilan Corsika saat Louis XVI berkuasa di tahun 1777. Ibunya bernama Maria
Letizia Ramolino. Ia memiliki seorang kakak, Joseph; dan 5 adik, yaitu Lucien,
Elisa, Louis, Pauline, Caroline, dan Jérôme. Napoleon di baptis sebagai katolik
beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kedua, tepatnya tanggal 21 Juli 1771
di Katerdal Ajaccio. Napoleon besar di Corsica
yang masuk wilayah kekuasaan Perancis 15 bulan sebelum Napoleon lahir, dan pada
saat-saat remajanya Napoleon merupakan seorang nasionalis Corsica yang
mengaggap Perancis itu penindas. Tapi, Napoleon dikirim masuk akademi militer
di Perancis dan tatkala dia tamat pada 1785 di umur 15 tahun, dia jadi tentara
Perancis berpangkat letnan.[1]
Revolusi Perancis meledak pada 1789 dan dalam
beberapa tahun pemerintah baru Perancis terlibat perang dengan beberapa negara
asing. Dari sinilah Napoleon mulai menunjukkan kebolehannya pada 1793, yaitu
dalam pertempuran di Toulon (Perancis merebut kembali kota itu dari tangan
Inggris), tempat Napoleon bertugas di kesatuan artileri. Sukses yang
diperolehnya di Toulon membuat pangkatnya naik jadi brigjen dan pada 1796 dia
diberi tanggungjawab untuk menjadi komando tentara Perancis di Itali. Dan di
Itali, Napoleon juga sukses membawa kemenangan besar untuk Perancis.
Pada
1789 Napoleon diberi tanggungjawab untuk memimpin penyerbuan Perancis ke Mesir.
Dari ekspedisi yang dilakukan Napoleon di Mesir, membuat nama Napoleon semakin
naik daun.
Mesir
adalah sebuah negara yang masyarakatnya memiliki nilai religius tinggi. Mereka
memandang agama di atas segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya,
adat istiadat, dan masyarakat itu sendiri. Kelompok-kelompok Islam selalu
bersikukuh untuk tidak terpengaruh dengan Barat. Karena menurut mereka Islam
sebenarnya lebih unggul dibanding orang-orang Barat. Mereka mengidealisasikan
periode awal Islam dan menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan
inilah Mesir modern bisa sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih
bahwa pengaruh Barat yang dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala
kebobrokan, mereka mendukung tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi
mereka dengan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya
menyeru untuk membaca Al-Qur’an secara tekstual, sembari menolak semua
penafsiran, filsafat, dan teks-teks yang menyertai.
Seperti keterangan sebelumnya,
masyarakat Mesir sangat anti dengan yang namanya orang-orang Barat. Karena
menurut mereka orang-orang Barat hanya akan merusak akidah dan ajaran-ajaran
Islam. Dengan ditambah pandangan mereka bahwa Mesir sudah cukup kuat dan modern
dibanding negara-negara sekitarnya. Mereka belum begitu sadar bahwa orang-orang
Barat lebih maju dan modern dari pada masyarakat Mesir.
Kedatangan
Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam.
Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim
akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi,
tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di
antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan
kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum
muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar
Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi
umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar,
pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya
digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan
intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan
pembaharu.[2]
Meskipun
kedatangan Napoleon menjadi pemicu timbulnya respon dikalangan terpelajar
muslim, namun kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan
munculnya gerakan pembaharuan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh
doktrin-doktrin Islam pembaharuan merupakan sesuatu yang intern, kondisi
objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya
semangat keilmuan, kebekuan di bidang intelektual, dan berkembang pesatnya
tradisi-tradisi yang mendekati kepada syirik, merupakan faktor yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan
kaum muslim, bukan hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran
empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai
digugat.
Sejarah
membuktikan bahwa kelengahan umat Islam dalam memahami pergeseran “agama yang
benar” kepada “ortodoksi ideologi”, akibatnya ketika agama telah berubah
menjadi dogma-dogma fiqih teologi Asy’ari, umat Islam kehilangan kesempatan
menatap sisi-sisi negatif dikotomi itu. Ditambah lagi kehadiran berbagai mazhab
yang berseteru, partai yang bersaing, kelompok-kelompok muslim yang berselisih
dan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi
dominasi fiqih yang menggerus akar kekuatan umat.
Ketika umat
Islam – pada masa itu – harus berhadapan dengan modernisasi negara-negara
industri, daerah ‘’yang tak terpikirkan” itu semakin melebar. Hegemoni dunia
Barat yang terus berlanjut tidak memperoleh respon antisipasif dari umat Islam.
Karenanya, upaya kongkrit menghentikan kesenjangan itu merupakan solusi terbaik
bagi mereka jika Islam sebagai agama yang membumi. Pemahaman, penghayatan dan
pengalaman yang utuh terhadap semua dimensi ajaran Islam adalah resep terbaik
bagi kebangkitan agama mereka .
Dalam konteks
sejarah, unsur positif posmodernisme barangkali dapat ditemukan pada tradisi
dan kehidupan Nabi yang mengedepankan masa dalam ajaran zaman. Negara Madinah,
seperti terungkap di muka, adalah cermin teladan bagi kehidupan manusia lain,
termasuk umat Islam pasca-nabi. Masa itu ditandai dengan kehidupan sosial,
politik dan ekonomi yang relatif makmur dan adil. Bahkan, kehidupan umat
beragama memperoleh porsi memadai dalam situasi kondusif bagi pengembangan
masing-masing agama.
Hal ini
kemudian menyebabkan banyak pemikir Islam dan hingga kini berusaha keras untuk
membuktikan bahwa Islam pun sejalan dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin
menunjukkan bahwa Islam tidak ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan
isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah kaum
muslimin. Sayangnya, niat baik dan upaya keras ini seringkali justru
berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid yang mereka lakukan justru
adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan nilai-nilai barat”.
Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam yang bersifat prinsipil dinafikan, dan
dianggap “mengganggu” kemajuan peradaban modern yang harus dibuang.
Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak
belakangan ini menurut hemat penulis tidak lebih merupakan bukti dampak
turunan atas hal itu.
Dari sini penulis akan membahas
Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir, yang dimulai dari penyerangan
Napoleon di kota Iskandariyah sampai pada akhirnya bisa menguasai Mesir.
Pendudukan Napoleon di Mesir memberikan dampak yang sangat besar bagi
perkembangan dan kemajuan di Mesir. Oleh karena itu, penulis akan mencoba
menjelaskan mulai dari mengapa Napoleon ingin menguasai Mesir, apa saja
pembaharuan yang dilakukan Napoleon dan apa dampak yang dilakukan Napoleon bagi
masyarakat Mesir?
PEMBAHASAN
A. Tujuan Invasi Napoleon
di Mesir
Selesainya Revolusi Perancis 1789
menjadikan negara tersebut menjadi negara besar yang mendapatkan saingan dan
tantangan dari Inggris. Inggris pada waktu itu menjalin hubungan yang erat
dengan India yang menjadikan Inggris semakin maju dan meningkat
kepentingan-kepentingannya. Maka dari itu, Napoleon ingin memutuskan hubungan
antara Inggris di Barat dan India di
Timur dengan cara meletakkan kekuasaannya di negara Mesir.
Di samping itu Perancis juga perlu
pasaran baru untuk meningkatkan perindustriannya, karena Mesir merupakan tempat
yang strategis untuk meningkatkan perekonomian dan untuk menguasai kerajaan
besar seperti yang dicita-citakannya, tepatnya adalah Kairo. Napoleon sendiri
sebenarnya tidak serta merta hanya ingin memutuskan hubungan antara Inggris dan
India, tetapi Napoleon nampaknya ingin menjadikan dirinya sebagai penguasa
Eropa yang mengikuti idolanya yaitu Alexander Macedonia yang pernah menguasai
Eropa dan Asia sampai ke India. Oleh karena itu Napoleon sangat menggebu-gebu
untuk segera menguasai Mesir dan meningkatkan industri dan pasaran ekonominya.
Waktu Napoleon melakukan penyerangan Mesir
berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, walaupun sudah ditaklukkan oleh Sultan
Salim pada tahun 1517, tetapi hakikatnya daerah ini masih bagian dari Kerajaan
Usmani. tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan, Mesir mulai
melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan menjadi daerah otonom.
Setelah jatuhnya prestise sultan-sultan
Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan menolak pengiriman
hasil pajak yang mereka pungut dengan cara kekerasan dari rakyat Mesir ke
Istambul. Syeikh al-Balad adalah
sebutan kepala mereka yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu itu.
Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak
pandai bahasa Arab, maka hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.
Maka dari itu, Napoleon langsung melakukan serangan ke Mesir karena tahu bahwa
antara Mesir dengan kerajaan Usmani sedang mengalamai komunikasi yang kurang
begitu baik bahkan bisa dibilang buruk. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Napolen
dan pasukannya agar segera menduduki Mesir.
Pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum
Mamluk yang lemah pada waktu itu, dapat digambarkan dari perjalanan perang di
Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan
harinya kota Pelabuhan yang penting ini
jatuh. Sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak di sebalah
Timur Alexandria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di
daerah Piramid di dekat Kairo. Pertempuran terjadi di tempat itu dan Kaum
Mamluk yang tak mampu membendung kekuatan Napoleon, lari ke Kairo. Tetapi di
sini mereka tidak mendapatkan sokongan dari rakyat Mesir, akhirnya mereka lari
lagi ke Mesir sebelah selatan. Dalam jangka waktu tidak sampai tiga minggu,
tepatnya tanggal 22 Juli, Napoleon telah dapat menguasai Mesir. Begitu mudahnya
pasukan Napoleon menguasai Mesir yang melukiskan betapa kuatnya pasukan yang
dibawa Napoleon dan juga ditambah kekuatan Mesir yang tidak begitu maju jika
dibandingkan Perancis.
Sebenarnya, sebelum Napoleon melakukan
invasi ke Mesir, Perancis sendiri sedang mengalami konflik dengan negara-negara
sekitarnya. Bahkan pada tahun 1793 Belanda mengumumkan pernyataan perangnya
pada Perancis. Perang itu muncul karena Revolusi Perancis yang diawali pada
1789 berhasil meruntuhkan monarki serta lembaga-lembaga kefeodalan lainnya,
sehingga di satu pihak menimbulkan kecemasan negara-negara Eropa lainnya yang
takut terkena imbas revolusi. Sementara di lain pihak Perancis harus
mempertahankan hasil revolusi dari ancaman pihak luar yang tak menyukainya.
Akibatnya, timbul semacam “perang ideologis” secara total. Perancis pun dipaksa
bersikap ofensif, terutama setelah Austria dan Prusia mencoba menginvasi
Perancis pada 1792. Serangan itu berhasil dipukul dan Perancis berbalik menjadi
agresif, menaklukkan Belanda dan mendirikan pemerintahan boneka dalam bentuk Bataafsche
Republiek (Republik Bataaf) pada 1795-1806. Selama menjadi protektorat
Perancis itu Belanda harus tunduk kepada Paris, termasuk wilayah jajahannya di
Indonesia. Sehingga tidaklah heran pada tahun-tahun tersebut Perancis tiba-tiba
ikut berkuasa di Indonesia.[3]
Napoleon bersikeras memperluas dan
menguasai daerah-daerah di sekitar Mesir, tetapi ia tidak berhasil. Pada 1798
Napoleon memimpin penyerbuan Perancis ke Mesir. Langkah ini ternyata merupakan
malapetaka. Di darat, umumnya pasukan Napoleon berhasil, tapi Angkatan Laut
Inggris di bawah pimpinan Lord Nelson mengobrak-abrik armada Perancis. Sementara
itu, perkembangan politik di Perancis menghendaki kehadirannya. Pada akhirnya
ia kembali ke Perancis dan menyerahkan ekspedisi tersebut kepada Jendral
Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1801 dengan armada Inggris,
kekuatan Perancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon
itu meninggalkan mesir pada tanggal 31 Agustus1801.
Menurut sumber lain mengatakan bahwa Pada tanggal
2 Juni 1798 M, ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria
(Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk sehingga berhasil menguasai Kairo.
Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika
bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan
Salim III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari
Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian
menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.[4]
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di
Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum kaum Mamluk yang
dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak
baik, tidak seperti dirinya dan orang Perancis untuk mengembalikan kekuasaan
Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris
dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia
memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran armada
Perancis di Teluk Aboukir (1 Agustus 1798), tertahannya ekspedisi di Akka
(1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah (21 Maret 1801) menggagalkan
ambisi Napoleon di Timur.[5]
Sedikit flashback bahwa Mesir menjadi
wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M,
Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan
gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa
Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra.
Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai
dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah (sampai tahun 567
H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan
perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922
H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[6]
B.
Pembaharuan
yang Dilakukan Napoleon
Napoleon datang ke Mesir bukan hanya
membawa tentara, tetapi terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Diantara kaum
sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ekspedisi
itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan
ilmiah. Untuk hal ilmiah tersebut dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institute d’Egypte, yang mempunyai
empat bagian: Bagian ilmu pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik, dan
Bagian Sastra-Seni.
Institute d’Egypte boleh dikunjungi
orang Mesir, terutama para Ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Perancis
yang bekerja dilembaga-lembaga itu, yang akan menambah pengetahuan mereka
tentang Mesir, adat-istiadatnya, bahasa dan agamanya. Di sinilah orang-orang
Mesir dan umat Islam untuk pertama kalinya mempunyai kontak langsung dengan
peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang Ulama
dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga itu di tahun
1799. Yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang didalamnya bukan
hanya berisi buku dari bahasa Eropa saja, tetapi juga banyak buku agama dalam
bahasa Arab, Persia dan Turki. Sebagian dari tentara yang dibawa Napoleon
memang terdapat kaum orientalis yang akan menerjemahkan perintah dan
maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab.
Alat-alat ilmiah seperti teleskop,
mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen
yang dilakukan dilembaga itu, kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran
mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi
al-Jabarti. Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“Saya lihat disana benda-benda dan
opercobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.”[7]
Demikianlah kesan seorang cendekiawan
Islam waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya
umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi terbalik180 derajat. Kalau di periode
Klasik orang Barat yang kagum melihat kebudayaan dan Peradaban Islam, di
periode Modern Kaum Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan Barat.
Di masa tahun-tahun kekuasaanya,
Napoleon melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem administrasi
pemerintahan yang ada di Perancis serta daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Misalnya, dia merombak struktur keuangan dan kehakiman, dia mendirikan Bank
Perancis dan Universitas Perancis, serta menyentralisir administrasi.
Meskipun perubahan ini mempunyai makna
penting, tetapi perubahan ini tidak serta merta diterima oleh semua kalangan
terlebih untuk negara yang awalnya berbentuk kerajaan. Jadi perombakan yang
dilakukan Napoleon butuh jangka panjang untuk bisa diterima oleh semua
golongan. Tetapi ada salah satu perombakan yang dilakukan oleh Napoleon yang
mempunyai daya pengaruh melampaui batas negeri Perancis sendiri. Yaitu,
penyusunan apa yang termasyhur dengan sebutan Code Napoleon. Dalam banyak hal,
code ini mecerminkan ide-ide Revolusi Perancis. Misalnya, di bawah code ini
tidak ada hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal-usul, semua orang
sama derajat di mata hukum. Secara umum, code itu moderat, terorganisasi rapid
an ditulis dengan ringkas, jelas, dapat diterima, serta mudah dipahami.
Akibatnya, code ini tidak hanya berlaku di Perancis (hukum perdata Perancis
yang berlaku sekarang hampir mirip dengan code Napoleon itu) tetapi juga
diterima pula di negeri-negeri lain dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan
dengan keperluan setempat.[8]
Selain kemajuan itu, Napoleon juga
membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Perancis, seperti:
1.
Sistem
pemerintahan republik yang di dalamnya kepala negara dipilih untuk waktu
tertentu, tunduk kepada udang-undang dasar dan bisa dijauthkan oleh parlemen.
Sistem ini berlainan sekali dengan sistem pemerintahan raja-raja Islam, yang
tetap menjadi raja selama ia masih hidup dan kemudian digantikan oleh anaknya,
tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena konstitusi dan parlemen
tidak ada dalam system kerajaan itu.
2.
Ide
persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat
dalam soal pemerintahan.
3.
Ide
kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis
merupakan suatu bangsa dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke
Mesir dari Kaukasus, jadi sungguhpun orang Islam tetapi berlainan bangsa dengan
orang Mesir.[9]
Inilah beberapa dari
ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, ide-ide yang pada waktu itu
belum mempunyai pengaaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam
perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19 ide-ide itu makin jelas dan
kemudian diterima dan dipraktekkan.
Jadi, bisa disimpulkan
bahwa pembaharuan yang dibawa Napoleon meliputi pembaharuan dibidang teknologi,
yang mana masyarakat Mesir pada waktu itu masih belum mengenal teknologi modern
seperti orang-orang Eropa. Serta pembaharuan di bidang Pemerintahan yang mana
Napoleon merombak habis-habisan sistem yang sudah berlaku di Mesir sebelumnya,
dari mulai sistem kerajaan yang dulunya bersifat kerajaan yang absolut dirombak
menjadi sistem republik yang moderat.
C.
Dampak
Invasi Napoleon di Mesir
Dampak yang dirasakan oleh masyarakat Mesir sangatlah besar. Yang
paling besar adalah dampak psikologis yang dirasakan masyarakat. Karena mereka
yang sebelumnya tidak pernah tahu sama sekali tentang kecanggihan teknologi
begitu Napoleon dan tentaranya masuk menguasai Mesir, masyarakat dipertontonkan
dengan segala kemajuan yang ada di Barat. Itu berdampak pada psikologis
seseorang yang mana mereka sangat kagum, bagaimana bisa orang-orang Barat
memiliki peralatan yang serba canggih sedangkan mereka (Mesir) tidak
memilikinya. Mereka mulai diperkenalkan dengan perkembangan ilmu sains dan
teknologi modern yang dibawa armada Napoleon seperti, teleskop, mikroskop,
alat-alat percobaan kimiawi dan sebagainya.
Bagaimanapun, ekspedisi
Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran
mereka.[10]
Selain itu, penguasaan Napoleon terhadap mesir juga membawa keberkahan
tersendiri, karena dengan Perancis menguasai Mesir memberikan dampak yang bisa
menimbulkan kesadaran komunal masyarakat Mesir untuk melawan hegemoni penjajah.
PENUTUP
Ekspedisi Napoleon datang ke Mesir bukan
hanya dalam kepentingan militer tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Tujuan
napoleon sebenarnya adalah melancarkan serangan hebat pada kerajaan Inggris
dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah India di Timur, sehingga
ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Dia ingin mengikuti jejak
Alexander Macedonia yang dapat menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Namun,
ambisinya gagal karena adanya intervasi Inggris Raya dan Utsmaniyyah. Setelah
adanya aliansi militer resmi pertama kali antara Utsmaniyyah dan Negara-negara
non muslim.
Selain itu, Napoleon membawa ide-ide
baru akibat dari revolusi Perancis ke Mesir, antara lain: sistem pemerintahan
republik, ide persamaan, dan ide kebangsaan. Itulah beberapa dari ide-ide yang
dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, yang pada waktu itu belum mempunyai
pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak
dengan Barat di abad Kesembilan belas, ide-ide itu makin jelas dan kemudian
diterima sekaligus dipraktekkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hitti, Philip K. History of The Arabic. (Terj. R. Cecep
Lukman). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
http//wikipedia_pembaharuan napoleon_pembaharuan Islam di Mesir/load.html
Lanza, Conrad H. 2010. Napoleon dan Strategi Perang Modern.
Terj. Gatot Triwira. Depok: Komunitas Bambu
Mubarok, Jaih. 2008. Sejarah
Perdaban Islam. Bandung: Pustaka Islamika
Nasution, Harun. 2011. Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Sihbudi, M. Riza dkk. 1993. Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah.
Bandung: PT. Eresco
[1]
Conrad H.
Lanza, Napoleon dan Strategi Perang Modern, (Terj. Gatot Triwira),
(Depok: Komunitas Bambu, 2010), Cet. I, h. xxi
[3] Ibid., h.
xxii
[4] Jaih Mubarok, Sejarah
Perdaban Islam, (Bandung: Pustaka Islamika,2008), cet. I, h. 227
[5]
Philip K.
Hitti, History of The Arabic, (Terj. R. Cecep Lukman), (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta), h. 924
[6] M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah,
(Bandung: PT. Eresco, 1993), h. 82
[7] M.Q. al-Baqli,
ed., al-Mukhtar Al-Mukhtar Tarikh
al-Jabarti (Kairo: Matabi’ al-Sya’b, 1958), h. 287
0 komentar:
Posting Komentar