Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Muhammad Nafis Banjari


Oleh Daqoiqul Misbah

v Biografi
Banyak sekali tokoh penyebar Islam di Nusantara ini, termasuk juga di Kalimantan Selatan. Ada beberapa tokoh yang cukup populer di daerah Kalimantan Selatan tersebut, diantaranya yaitu, Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Muhammad Abdul Hamid Abulung dan Muhammad Nafis al-Banjari. Namun yang lebih dikenal adalah Muhammad Nafis al-Banjari, Karena ajarannya yang dianggap kontroversial oleh sebagian ulama pada masa itu.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis Ibn Idris Ibn Husein al-Banjari. Beliau adalah seorang ulama besar dan ahli tasawuf yang terkenal. Ia dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, pada tanggal 1148 H/1735 M, dan wafat 1812 M.
Semasa kecilnya, ia menunjukkan adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad yang membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis dan Muhammad Arsyad dikirim ke Makkah untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Dan salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tarekat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn HIjazi al-Syarkawi al-Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al-Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari. Ia juga belajar kepada para ulama terkenal, baik yang menetap maupun sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah) dalam berbagai cabang Ilmu Keislaman. Seperti tafsir, fiqih, hadis, ilmu kalam dan tasawuf.

v Pokok-pokok ajaran
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, karena diketahui bahwa Muhammad Nafis adalah pengikut dari keduanya. Ia mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit (tidak terbatas).
Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya di dalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan zat Allah itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu, Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah.
Konsep Muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama) dan af’al-Nya, karenanya, hubungan masing-masing angatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’) dan perbuatan (af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya. Namun semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan.
Muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-‘ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia yang demikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata. Al-Qur’an menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan diri-Nya kepada makhluk-Nya, maka itu berarti mereduksi ke-Mahakekuasaan Allah. Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.
Nafis al-Banjari menjelaskan lagi, bahwa sebenarnya terdapat empat pasal atau makam yang akan dilalui oleh para sufi untuk dapat mencapai pada Allah, yaitu :
1.    Tauhîd af’âl: bahwa segala sesuatu yang terjadi di ala mini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Swt. (perbuatan dan pemikiran seperti Jabariyah).
2.   Tauhîd al-asmâ: cara memandang keesaan Allah dalam asmâ (nama-nama) itu adalah memandang dengan mata-kepala dan mata-hati, bahwa segala asmâ apapun juga pada hakikatnya kembali kepada sumber/asal nama tersebut, yaitu nama Allah.
3.   Tauhîd al-sifât: yang dimaksud sifat di dalam pembahasan ini tidak lain adalah asma’ itu juga. Sifat dalam pembahasan ini bukan dalam arti sesungguhnya, tetapi hanya pengertian metaforis untuk melukiskan segala atribut kesempurnaan-Nya.
4.   Tauhîd al-dzât: keesaan Allah pada dzatnya. Tauhid al-dzat adalah tingkat yang tertinggi dan tidak ada yang lebih dari ini.
Beliau juga menjelaskan mengenai martabat tujuh , yaitu, mulai dari ahadiyyah, wahdah, wahidiyyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena