Oleh Daqoiqul Misbah
v Biografi
Banyak
sekali tokoh penyebar Islam di Nusantara ini, termasuk juga di Kalimantan
Selatan. Ada beberapa tokoh yang cukup populer di daerah Kalimantan Selatan
tersebut, diantaranya yaitu, Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Muhammad Abdul
Hamid Abulung dan Muhammad Nafis al-Banjari. Namun yang lebih dikenal adalah
Muhammad Nafis al-Banjari, Karena ajarannya yang dianggap kontroversial oleh
sebagian ulama pada masa itu.
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Nafis Ibn Idris Ibn Husein al-Banjari. Beliau adalah
seorang ulama besar dan ahli tasawuf yang terkenal. Ia dilahirkan di Martapura,
Kalimantan Selatan, pada tanggal 1148 H/1735 M, dan wafat 1812 M.
Semasa
kecilnya, ia menunjukkan adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding
dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan yang tidak dimiliki oleh
anak-anak yang lain, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad
Arsyad yang membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad
Nafis dan Muhammad Arsyad dikirim ke Makkah untuk belajar dan mendalami
ilmu-ilmu agama. Dan salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan
menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tarekat ini
Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn HIjazi al-Syarkawi
al-Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman
al-Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al-Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn
Ahmad al-Jauhari. Ia juga belajar kepada para ulama terkenal, baik yang menetap
maupun sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah)
dalam berbagai cabang Ilmu Keislaman. Seperti tafsir, fiqih, hadis, ilmu kalam
dan tasawuf.
v Pokok-pokok ajaran
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan,
nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, karena diketahui bahwa
Muhammad Nafis adalah pengikut dari keduanya. Ia
mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah
karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit
(tidak terbatas).
Muhammad
Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh
makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya di dalam Nur
Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan
fenomena sebagai manifestasi dan zat Allah itu sendiri, maka yang
sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu, Tuhan itu sendiri, sedangkan selain
Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud
Allah.
Konsep
Muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan
bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama) dan af’al-Nya, karenanya, hubungan
masing-masing angatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’) dan
perbuatan (af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya.
Namun semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing
saling berhubungan.
Muhammad
Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-‘ilm, al-qudrat,
al-iradat, al-asma, al-bashr dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut
dia yang demikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama)
Allah semata. Al-Qur’an menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh
ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal,
sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih
dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal
diri-Nya. allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah
dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan diri-Nya kepada
makhluk-Nya, maka itu berarti mereduksi ke-Mahakekuasaan Allah. Dalam hal ini
nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.
Nafis
al-Banjari menjelaskan lagi, bahwa sebenarnya terdapat empat pasal atau makam
yang akan dilalui oleh para sufi untuk dapat mencapai pada Allah, yaitu :
1.
Tauhîd
af’âl: bahwa segala sesuatu yang terjadi
di ala mini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Swt. (perbuatan dan
pemikiran seperti Jabariyah).
2. Tauhîd
al-asmâ: cara memandang keesaan Allah dalam
asmâ (nama-nama) itu adalah memandang dengan mata-kepala dan mata-hati,
bahwa segala asmâ apapun juga pada hakikatnya kembali kepada sumber/asal
nama tersebut, yaitu nama Allah.
3. Tauhîd
al-sifât: yang dimaksud
sifat di dalam pembahasan ini tidak lain adalah asma’ itu juga. Sifat
dalam pembahasan ini bukan dalam arti sesungguhnya, tetapi hanya pengertian
metaforis untuk melukiskan segala atribut kesempurnaan-Nya.
4. Tauhîd
al-dzât: keesaan Allah pada dzatnya. Tauhid
al-dzat adalah tingkat yang tertinggi dan tidak ada yang lebih dari ini.
Beliau juga menjelaskan mengenai martabat tujuh , yaitu, mulai dari
ahadiyyah, wahdah, wahidiyyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan.
0 komentar:
Posting Komentar