Oleh Daqoiqul Misbah
Pendahuluan
Hamzah
Fansuri terkenal dengan ajaran wujûdiyyahnya,
kemudian diteruskan oleh Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani (1575-1630 M) dengan
ajaran yang sama, yang kemudian ajaran-ajaran beliau ditentang keras oleh
Syaikh Nûr al-Dîn al-Ranîrî, karena ajaran wujûdiyyahnya
dianggap kafir dan sesat, maka pada kesempatan ini saya akan mencoba membahas
tokoh tasawuf Nusantara asal Makasar yang bernama Syaikh Yûsuf (1626-1699 M) dengan
tarekat Khalwâtiyah. Kemudian beliau lebih dikenal dengan julukan Syaikh Tâj
al-Khalwâtî al-Makassarî.[1]
Biografi Syaikh
Yûsuf al-Makassarî
Syaikh
Yûsuf adalah orang Makasar, lahir dalam kerajaan Gowa pada tahun 1626 M, seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan
seorang musuh besar kolonial Belanda. Ia dianggap "duri dalam daging"
oleh pemerintah kompeni di Hindia Timur (Indonesia). Ia diasingkan ke Ceylon
(Srilanka) kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya
Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699 M. Pada abad ke-17 beliau di kenal
pada empat negeri, yaitu Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon, dan Afrika Selatan.
Beliau peletak dasar kehadiran kumunitas muslim di Afrika Selatan dan Ceylon,
bahkan di sana dianggap bapak dari bentuk komunitas-komunitas di Afrika Selatan
yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan
perbedaan kulit.
Murid-murid Syaikh Yusuf yang menganut tarekat Khalwâtiyah
terdapat di Banten, Sri Lanka, Cape Town, dan tersebar luas dianut oleh
orang-orang Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Asal
keturunan beliau dari bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makasar dan
mempunyai pertalian sahabat dengan raja-raja
Banten, Gowa dan Bone. Syaikh Yûsuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat
sesuai dengan ijazahnya, seperti tarekat Naqsabandiyyah, Syattâriyyah, Ba'alawiyyah,
dan Qâdiriyyah. Namun dalam pengajarannya, beliau tidak pernah menyinggung
pertentangan antar Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujûdiyyah dengan Syaikh Nûr al-Dîn
al-Ranîrî dalam abad ke-17 itu.[2]
Karya-Karya
Syaikh Yûsuf
Syaikh Yûsuf adalah orang pertama yang memperkenalkan
tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, namun tidak tertutup kemungkinan
sebelumnya tarekat ini telah masuk ke Indonesia. Akan tetapi, kita tidak
mengetahui bahwa seseorang telah mendahuluinya dalam memperkenalkan tarekat ini
di Indonesia. Syaikh Yûsuf adalah figur sufi yang cukup produktif dalam karya tulis, berani, dan tegas
menghadapi penguasa.
Di antara karya-karyanya yang sudah ditemukan adalah:
1.
Habl
Al-Marid
li Sa'âdah Al-Murîd
2.
Al-Futûhât Al-Rabbâniyyah
3.
Zubdah Al-Asrâr fî Tahqîq Al-Masyârib Al-Akhyâr
4.
Tuhfah Al-Labîb bi Liqâ' Al-Habîb
5.
Safînah Al-Najâh Al- Mustafâdah 'an Al-Masyâyikh
AL-Tsiqât
6.
Al-Fawâid Al-Yûsufiyyah fî Bayân Tahqîq
Al-Shufiyyah
Ajaran Syaikh
Yûsuf
Seorang sufi selalu mempunyai keinginan
dan cita-cita untuk bisa berhubungan dengan Tuhan tanpa batas maupun penutup.
Karena bagian terpenting dari ajaran tarekat dan tujuan tasawuf adalah
bagaimana cara berhubungan langsung dengan Tuhan agar dapat berada di hadirat
Tuhan tanpa pembatas. Syaikh Yûsuf membawa tarekat Khalwâtiyah ke Indonesia dan
mengajarkannya sesuai dengan ijazah Tajul
Khalwâti. Sedikitnya ada tiga ajaran dan konsepsi yang diajarkan Syaikh
Yûsuf, diantaranya ajaran tentang kesucian batin, konsep tentang Allah dan
konsep tentang manusia.
1.
Ajaran
tentang kesucian batin
Cara-cara hidup yang ditekankan oleh Syaikh
Yûsuf kepada murid-muridnya adalah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat
dengan segala bentuknya. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid
adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan
duniawi. Semua sufi sependapat bahwa dorongan hawa nafsu harus dibatasi dan
dikendalikan untuk mencapai kesucian batin.
Sikap dan perilaku yang harus dijauhi
agar batin suci adalah pertama, hasad
yang berarti dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain
dengan keinginan agar pemberian itu terhapus. Kedua, riya’ adalah kecenderungan untuk mempertontonkan kekayaan atau
amal-amal agar dapat pujian orang untuk dikagumi. Ketiga, ghibah yang berarti mengumpat dan membeberkan sesuatu tentang orang
lain dengan tujuan mengejek atau menghina.[4]
2.
Konsep
tentang Allah
a.
Wujud
Allah
Berdasarkan karya-karya Syaikh Yûsuf
tentang Islam, khususnya aspek-aspek tasawuf, diperoleh kesan kuat bahwa
ajarannya tidak terlepas dari teologi Asy’ariyah. Seperti percaya kepada Allah
Yang Maha Esa, Allah yang meng-ada
dengan kesucian-Nya, menciptakan sesuatu dari tiada ke ada dan segala sesuatu
bergantung kepada-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak bergantung pada sesuatu.
Mengenai wujud Allah, bahwa Dia (Allah)
bersama kalian di mana pun engkau berada dan Allah meliputi segala sesuatu
dengan pengetahuan-Nya (Ilmu-Nya). Syaikh Yûsuf mengembangkan konsepsinya
dengan istilah al-ihathah
(melingkupi) dan al-ma’iyah
(beserta). Konsepsinya ini merupakan jalan keluar agar para muridnya tidak
terjerumus memahami bahwa wujud Tuhan itu hadir di mana-mana yang bisa berarti
Tuhan menjelma sebagai batu, di pohon kayu, dan benda-benda lain atau menjelma
dalam diri manusia.
Konsep al-ma’iyah (kesertaan) dan al-ihathah
(peliputan) Tuhan itu adalah secara ilmu. Kemudian Syaikh Yûsuf menjelaskan
bahwa kesertaan Allah dan peliputan-Nya kepada hamba-Nya harus dipandang tidak
terpisah, yakni al-ihathah al-ma’iyah.
Allah amat dekat dengan hamba-Nya, karena beserta dan meliputinya seperti
peliputan terhadap yang disifati-Nya dengan beberapa sifat tertentu.
b.
Zat
dan sifat
Zat Allah bagi Syaikh Yûsuf adalah
Mahasuci dan Mahatinggi, di atas dari segala-galanya, amat sukar dibayangkan
dan tidak terbesit dalam pikiran. Zat dan sifat tidak serupa dan sejenis,
tetapi tidak terpisahkan dari pada-Nya. Sifat tidak dapat dibandingkan dengan
sesuatu, namun keberadaan-Nya sangat dirindu dan didambakan.
c.
Ajaran
tentang penciptaan alam
Ajaran Syaikh Yûsuf ini bukanlah suatu
hal yang baru, melainkan sudah ada pada pokok ajaran Plotinus yang mewarisi
pikiran-pikiran filosof sebelumnya, seperti Philon Alexandria (± 25 SM – 45 M).
Filosof ini sudah membuat konsep bahwa Tuhan menjadikan alam ini dalam enam
hari.
Menurut Syaikh Yûsuf, penciptaan alam ini melalui
beberapa tahapan;
- Penciptaan pada tahap
awal disebut Ahadiyah dan adakalanya
disebut pula La Ta’ayyun. Tahap ini
dalam emanasi dianggap wujud Allad adalah zat mutlak lagi mujarrad (Esa dan
tanpa ikatan dengan sesuatu), wujud mutlak, tidak dapat dibayangkan dan
dikhayalkan. Zat mutlak dalam tahap ini, adalah azali dan abadi, Esa dan tanpa
tercampur dengan unsur lain, berdiri sendiri, tidak jauhar, jisim, tidak teraba
oleh pikiran maupun rekaan.
-
Tahap
kedua dari penciptaan, adalah Wahdah,
yaitu ketika yang tidak diketahui turun kepada pengetahuan-Nya sendiri sebagai
sifat milik-Nya. Yang mengetahui memandang diri-Nya, sehingga timbullah hal
yang diketahui. Ia menunjukkan diri-Nya kepada diri-Nya sebagai abdi. Proses
ini disebut A’yan Tsabithah.
- Tahap
ketiga, adalah Wahidiyah, disebut
pula A’yan Khâriji sebagai proses
penjelmaanny. Dalam tahap ini adalah martabat rupa yang nyata, seperti halnya
rupa dalam cermin.
- Tahap
keempat adalah Dunia Arwah atau dunia
jiwa yang biasa disebut Alam Jabarul.
Roh insane, hewan, dan tumbuh-tumbuhan masih dalam kesatuannya. Roh semesta
adalah nafs zat Tuhan yang menjelma dari pengetahuan-Nya. Segala sesuatu yang
berbentuk wujud, Tuhan melingkupi dan bersamanya.
- Tahap
kelima adalah Alam Mitsal yang biasa
disebut pula Alam Malakut. Tahap ini
merupakan batas antara dunia jiwa dengan kausa (pertalian sebab dan akibat),
tidak terkandung materi, tetapi berupa dimensional yang ditandai dengan warna.
- Tahap
keenam adalah Alam Ajsâm atau Alam Syahadat, yaitu alam segala jasad
yang terdiri atas anasir yang halus, tidak dapat diamati oleh indra dan tidak
binasa.
- Tahap
ketujuh adalah Alam Insan Kamil yang
biasa disebut alam manusia sempurna.[5]
3.
Konsep
tentang manusia
a.
Hakikat
dan keabadian ruh
Sejak manusia berpikir tentang dirinya,
sejak itu pula ia mempersoalkan apa yang ada di balik jasad yang materi ini. Maka Syaikh Yûsuf
ingin menunjukkan tentang apa yang dipahaminya mengenai roh. Roh yang dimaksud oleh Syaikh Yûsuf adalah suatu jauhar (element) dan bukan sifat. Roh
dapat mengenal dirinya sendiri, bebas dari ciri materi, bebas dari warna dan
bentuk, dapat mengetahui apa saja yang ditangkap oleh rasa dan pikiran,
sehingga berwujud pengetahuan. Roh tidak menetap pada satu anggota badan,
tetapi mengatur dan menggerakkannya. Roh itu adalah makhluk, terjadi ketika nutfah bersedia untuk menerima atas
dasar perintah Allah, maka jadilah ia jiwa manusia.[6]
b.
Hubungan
roh dengan jasad
Sesuai dengan konsep Syaikh Yûsuf
tentang roh, maka jelas hubungan antara roh dengan jasad saling memerlukan,
karena keduanya merupakan komponen dari hidup manusia. Roh ada di bawah
perintah sedangkan jasad ada di bawah cipta. Fungsi roh dalam jasad adalah
untuk mengatur, memimpin, menggerakkannya, serta menyertainya, tetapi tidak
menetap di dalam anggota badan tertentu.
Dalam hubungan roh dengan jasad, Syaikh
Yûsuf menggunakan istilah meliputi dan bersama, yaitu roh meliputi jasad dan
tidak menetap, tetapi nyata di dalam tubuh, sama halnya Allah meliputi dan beserta
pada segala sesuatu di alam semesta ini. Dengan demikian berlaku doktrin
imanensi dalam hubungan roh dengan jasad.
c.
Insan Kamil
Konsep Syaikh Yûsuf tentang Insan Kamil, tentunya diwarnai oleh
aliran pemikiran (mistik dan filsafat) yang dianutnya. Menurutnya, bahwa Insan Kamil dapat pula disebut manusia
sempurna, karena manusia biasa yang menjalani suluk (usaha menempuh tarekat dengan sistem pendidikan dan latihan)
bisa menjadi Insan Kamil.
Konsep Syaikh Yûsuf tentang Insan Kamil merupakan sumber ilmu
rahasia yang harus dimiliki oleh setiap sufi, karena merupakan ilmu kasyaf. Sufi yang tidak bisa menemukan
ilmu ini tentang rahasia Insan Kamil,
ia dianggap belum diyakini keahliannya mengenai rahasia ketuhanan. Oleh karena
itu, Syaikh Yûsuf mengutamakan pengamalan (ibadat) yang tekun dengan zikir yang
tidak terpisahkan dari semua kegiatan, agar latihannya itu akan mengantarkannya
ke suasana fana dan baqa dengan Allah. Hanya dengan jalan
ibadat seperti ini, seseorang akan menjadi Insan
Kamil.
Daftar Pustaka
Hamid, Abu. 1994. Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Shihab, Alwi. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia. Depok:
Pustaka IIMaN
[1] Tudjimah, Syeikh Yusuf Makassar, (Jakarta: PDK, 1987), hlm. 4-10
[2]Abu Hamid, Syeikh Yusuf SeorangUlama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia,1994), hlm. xxiii
[3] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok:
Pustaka IIMaN, 2009, cet. I), hlm. 195-199
[4] Abu Hamid, Op. Cit. hlm. 160
[5]Abu Hamid, Op. Cit. hlm. 186-190
0 komentar:
Posting Komentar