Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

YÛSUF AL-KHALWÂTÎ AL-MAKASSARÎ DAN AJARANNYA

Oleh Daqoiqul Misbah


Pendahuluan
Hamzah Fansuri terkenal dengan ajaran wujûdiyyahnya, kemudian diteruskan oleh Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani (1575-1630 M) dengan ajaran yang sama, yang kemudian ajaran-ajaran beliau ditentang keras oleh Syaikh Nûr al-Dîn al-Ranîrî, karena ajaran wujûdiyyahnya dianggap kafir dan sesat, maka pada kesempatan ini saya akan mencoba membahas tokoh tasawuf Nusantara asal Makasar yang bernama Syaikh Yûsuf (1626-1699 M) dengan tarekat Khalwâtiyah. Kemudian beliau lebih dikenal dengan julukan Syaikh Tâj al-Khalwâtî al-Makassarî.[1]

Biografi Syaikh Yûsuf al-Makassarî
Syaikh Yûsuf adalah orang Makasar, lahir dalam kerajaan Gowa pada tahun 1626 M, seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar kolonial Belanda. Ia dianggap "duri dalam daging" oleh pemerintah kompeni di Hindia Timur (Indonesia). Ia diasingkan ke Ceylon (Srilanka) kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699 M. Pada abad ke-17 beliau di kenal pada empat negeri, yaitu Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon, dan Afrika Selatan. Beliau peletak dasar kehadiran kumunitas muslim di Afrika Selatan dan Ceylon, bahkan di sana dianggap bapak dari bentuk komunitas-komunitas di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.
Murid-murid Syaikh Yusuf yang menganut tarekat Khalwâtiyah terdapat di Banten, Sri Lanka, Cape Town, dan tersebar luas dianut oleh orang-orang Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Asal keturunan beliau dari bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makasar dan mempunyai pertalian sahabat dengan  raja-raja Banten, Gowa dan Bone. Syaikh Yûsuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya, seperti tarekat Naqsabandiyyah, Syattâriyyah, Ba'alawiyyah, dan Qâdiriyyah. Namun dalam pengajarannya, beliau tidak pernah menyinggung pertentangan antar Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujûdiyyah dengan Syaikh Nûr al-Dîn al-Ranîrî dalam abad ke-17 itu.[2]

Karya-Karya Syaikh Yûsuf
Syaikh Yûsuf adalah orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, namun tidak tertutup kemungkinan sebelumnya tarekat ini telah masuk ke Indonesia. Akan tetapi, kita tidak mengetahui bahwa seseorang telah mendahuluinya dalam memperkenalkan tarekat ini di Indonesia. Syaikh Yûsuf adalah figur sufi yang cukup produktif dalam karya tulis, berani, dan tegas menghadapi penguasa.
Di antara karya-karyanya yang sudah ditemukan adalah:
1.        Habl Al-Marid li Sa'âdah Al-Murîd
2.        Al-Futûhât Al-Rabbâniyyah
3.        Zubdah Al-Asrâr fî Tahqîq Al-Masyârib Al-Akhyâr
4.        Tuhfah Al-Labîb bi Liqâ' Al-Habîb
5.        Safînah Al-Najâh Al- Mustafâdah 'an Al-Masyâyikh AL-Tsiqât
6.        Al-Fawâid Al-Yûsufiyyah fî Bayân Tahqîq Al-Shufiyyah
7.        Muqaddimah Al-Fawâid ilâ Mâ Lâ Budda min Al-'Aqâ'id[3]
Ajaran Syaikh Yûsuf
Seorang sufi selalu mempunyai keinginan dan cita-cita untuk bisa berhubungan dengan Tuhan tanpa batas maupun penutup. Karena bagian terpenting dari ajaran tarekat dan tujuan tasawuf adalah bagaimana cara berhubungan langsung dengan Tuhan agar dapat berada di hadirat Tuhan tanpa pembatas. Syaikh Yûsuf membawa tarekat Khalwâtiyah ke Indonesia dan mengajarkannya sesuai dengan ijazah Tajul Khalwâti. Sedikitnya ada tiga ajaran dan konsepsi yang diajarkan Syaikh Yûsuf, diantaranya ajaran tentang kesucian batin, konsep tentang Allah dan konsep tentang manusia.
1.        Ajaran tentang kesucian batin
Cara-cara hidup yang ditekankan oleh Syaikh Yûsuf kepada murid-muridnya adalah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Semua sufi sependapat bahwa dorongan hawa nafsu harus dibatasi dan dikendalikan untuk mencapai kesucian batin.  
Sikap dan perilaku yang harus dijauhi agar batin suci adalah pertama, hasad yang berarti dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain dengan keinginan agar pemberian itu terhapus. Kedua, riya’ adalah kecenderungan untuk mempertontonkan kekayaan atau amal-amal agar dapat pujian orang untuk dikagumi. Ketiga, ghibah yang berarti mengumpat dan membeberkan sesuatu tentang orang lain dengan tujuan mengejek atau menghina.[4]
2.         Konsep tentang Allah
a.         Wujud Allah
Berdasarkan karya-karya Syaikh Yûsuf tentang Islam, khususnya aspek-aspek tasawuf, diperoleh kesan kuat bahwa ajarannya tidak terlepas dari teologi Asy’ariyah. Seperti percaya kepada Allah Yang Maha Esa, Allah yang meng-ada­ dengan kesucian-Nya, menciptakan sesuatu dari tiada ke ada dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak bergantung pada sesuatu.
Mengenai wujud Allah, bahwa Dia (Allah) bersama kalian di mana pun engkau berada dan Allah meliputi segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya (Ilmu-Nya). Syaikh Yûsuf mengembangkan konsepsinya dengan istilah al-ihathah (melingkupi) dan al-ma’iyah (beserta). Konsepsinya ini merupakan jalan keluar agar para muridnya tidak terjerumus memahami bahwa wujud Tuhan itu hadir di mana-mana yang bisa berarti Tuhan menjelma sebagai batu, di pohon kayu, dan benda-benda lain atau menjelma dalam diri manusia.
Konsep al-ma’iyah (kesertaan) dan al-ihathah (peliputan) Tuhan itu adalah secara ilmu. Kemudian Syaikh Yûsuf menjelaskan bahwa kesertaan Allah dan peliputan-Nya kepada hamba-Nya harus dipandang tidak terpisah, yakni al-ihathah al-ma’iyah. Allah amat dekat dengan hamba-Nya, karena beserta dan meliputinya seperti peliputan terhadap yang disifati-Nya dengan beberapa sifat tertentu.
b.        Zat dan sifat
Zat Allah bagi Syaikh Yûsuf adalah Mahasuci dan Mahatinggi, di atas dari segala-galanya, amat sukar dibayangkan dan tidak terbesit dalam pikiran. Zat dan sifat tidak serupa dan sejenis, tetapi tidak terpisahkan dari pada-Nya. Sifat tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu, namun keberadaan-Nya sangat dirindu dan didambakan.
c.         Ajaran tentang penciptaan alam
Ajaran Syaikh Yûsuf ini bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada pada pokok ajaran Plotinus yang mewarisi pikiran-pikiran filosof sebelumnya, seperti Philon Alexandria (± 25 SM – 45 M). Filosof ini sudah membuat konsep bahwa Tuhan menjadikan alam ini dalam enam hari.
Menurut Syaikh Yûsuf, penciptaan alam ini melalui beberapa tahapan;
-       Penciptaan pada tahap awal disebut Ahadiyah dan adakalanya disebut pula La Ta’ayyun. Tahap ini dalam emanasi dianggap wujud Allad adalah zat mutlak lagi mujarrad (Esa dan tanpa ikatan dengan sesuatu), wujud mutlak, tidak dapat dibayangkan dan dikhayalkan. Zat mutlak dalam tahap ini, adalah azali dan abadi, Esa dan tanpa tercampur dengan unsur lain, berdiri sendiri, tidak jauhar, jisim, tidak teraba oleh pikiran maupun rekaan.
-       Tahap kedua dari penciptaan, adalah Wahdah, yaitu ketika yang tidak diketahui turun kepada pengetahuan-Nya sendiri sebagai sifat milik-Nya. Yang mengetahui memandang diri-Nya, sehingga timbullah hal yang diketahui. Ia menunjukkan diri-Nya kepada diri-Nya sebagai abdi. Proses ini disebut A’yan Tsabithah.
-     Tahap ketiga, adalah Wahidiyah, disebut pula A’yan Khâriji sebagai proses penjelmaanny. Dalam tahap ini adalah martabat rupa yang nyata, seperti halnya rupa dalam cermin.
-    Tahap keempat adalah Dunia Arwah atau dunia jiwa yang biasa disebut Alam Jabarul. Roh insane, hewan, dan tumbuh-tumbuhan masih dalam kesatuannya. Roh semesta adalah nafs zat Tuhan yang menjelma dari pengetahuan-Nya. Segala sesuatu yang berbentuk wujud, Tuhan melingkupi dan bersamanya.
-   Tahap kelima adalah Alam Mitsal yang biasa disebut pula Alam Malakut. Tahap ini merupakan batas antara dunia jiwa dengan kausa (pertalian sebab dan akibat), tidak terkandung materi, tetapi berupa dimensional yang ditandai dengan warna.
-     Tahap keenam adalah Alam Ajsâm atau Alam Syahadat, yaitu alam segala jasad yang terdiri atas anasir yang halus, tidak dapat diamati oleh indra dan tidak binasa.
-      Tahap ketujuh adalah Alam Insan Kamil yang biasa disebut alam manusia sempurna.[5]

3.    Konsep tentang manusia
a.    Hakikat dan keabadian ruh
Sejak manusia berpikir tentang dirinya, sejak itu pula ia mempersoalkan apa yang ada di balik  jasad yang materi ini. Maka Syaikh Yûsuf ingin menunjukkan tentang apa yang dipahaminya mengenai roh. Roh yang dimaksud  oleh Syaikh Yûsuf adalah suatu jauhar (element) dan bukan sifat. Roh dapat mengenal dirinya sendiri, bebas dari ciri materi, bebas dari warna dan bentuk, dapat mengetahui apa saja yang ditangkap oleh rasa dan pikiran, sehingga berwujud pengetahuan. Roh tidak menetap pada satu anggota badan, tetapi mengatur dan menggerakkannya. Roh itu adalah makhluk, terjadi ketika nutfah bersedia untuk menerima atas dasar perintah Allah, maka jadilah ia jiwa manusia.[6]
b.        Hubungan roh dengan jasad
Sesuai dengan konsep Syaikh Yûsuf tentang roh, maka jelas hubungan antara roh dengan jasad saling memerlukan, karena keduanya merupakan komponen dari hidup manusia. Roh ada di bawah perintah sedangkan jasad ada di bawah cipta. Fungsi roh dalam jasad adalah untuk mengatur, memimpin, menggerakkannya, serta menyertainya, tetapi tidak menetap di dalam anggota badan tertentu.
Dalam hubungan roh dengan jasad, Syaikh Yûsuf menggunakan istilah meliputi dan bersama, yaitu roh meliputi jasad dan tidak menetap, tetapi nyata di dalam tubuh, sama halnya Allah meliputi dan beserta pada segala sesuatu di alam semesta ini. Dengan demikian berlaku doktrin imanensi dalam hubungan roh dengan jasad.
c.         Insan Kamil
Konsep Syaikh Yûsuf tentang Insan Kamil, tentunya diwarnai oleh aliran pemikiran (mistik dan filsafat) yang dianutnya. Menurutnya, bahwa Insan Kamil dapat pula disebut manusia sempurna, karena manusia biasa yang menjalani suluk (usaha menempuh tarekat dengan sistem pendidikan dan latihan) bisa menjadi Insan Kamil.
Konsep Syaikh Yûsuf tentang Insan Kamil merupakan sumber ilmu rahasia yang harus dimiliki oleh setiap sufi, karena merupakan ilmu kasyaf. Sufi yang tidak bisa menemukan ilmu ini tentang rahasia Insan Kamil, ia dianggap belum diyakini keahliannya mengenai rahasia ketuhanan. Oleh karena itu, Syaikh Yûsuf mengutamakan pengamalan (ibadat) yang tekun dengan zikir yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan, agar latihannya itu akan mengantarkannya ke suasana fana dan baqa dengan Allah. Hanya dengan jalan ibadat seperti ini, seseorang akan menjadi Insan Kamil.

Daftar Pustaka
Hamid, Abu. 1994. Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Shihab, Alwi. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia. Depok: Pustaka IIMaN



[1] Tudjimah, Syeikh Yusuf Makassar, (Jakarta: PDK, 1987), hlm. 4-10
[2]Abu Hamid, Syeikh Yusuf SeorangUlama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1994), hlm. xxiii
[3] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009, cet. I), hlm. 195-199
[4] Abu Hamid, Op. Cit. hlm. 160
[5]Abu Hamid, Op. Cit. hlm. 186-190
              [6] Abu Hamid, Op. Cit. hlm. 193

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena