Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Jumat, 13 April 2012

DEKONSTRUKSI PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh: Daqoiqul Misbah

Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lain. Namun, bila dia tidak melakukan tindakan yang mulia seperti pada dasarnya, maka dia tak ubahnya seperti seekor kuda yang sudah tidak berperilaku lagi sebagai kuda. Yang mana, digunakan persis seperti seekor keledai untuk membawa muatan, dan kalau begini tentu hidupnya hanya sia-sia saja. Sebab itulah pendidikan karakter (moral) dirasa penting yang bertujuan untuk mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga dia berperilaku terpuji, sempurna, dan mulia dibanding makhluk lain.

Seperti deskripsi di atas, pendidikan ternyata memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Ada pendidikan kognitif dan pendidikan karakter. Pendidikan kognitif seperti yang dilakukan sehari-hari di bidang akademisi. Sedangkan pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan hanya mengedepankan pendidikan kognitif. Banyak yang menguasai pendidikan kognitif tetapi pendidikan karakternya sangat lemah. Pendidikan karakter dirasa penting, mengingat pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Banyak orang pintar tetapi belum memiliki karakter yang cakap, banyak orang kaya tetapi tidak dermawan, bahkan seorang guru yang tidak memiliki keprihatinan terhadap anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah.
Reformasi sudah berjalan 13 tahun tetapi mutu pendidikan masih begitu-begitu saja. Padahal, beralihnya orde baru menuju era reformasi salah satunya tak lepas dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Tetapi melihat realitasnya seakan-akan pendidikan berjalan merangkak dan reformasi terbang dengan sangat cepat. Artinya pemerintah yang menggembar-gemborkan ingin meningkatkan mutu pendidikan di era reformasi ini hanya sebatas rencana saja. Reformasi yang sudah berlangsung 13 tahun ini lebih banyak menyentuh bidang politik dan hukum, tetapi sebaliknya mengabaikan bidang pendidikan.
Pendidikan dibiarkan berjalan seadanya, business as usual, begitu-begitu saja, meskipun sudah ada segudang konsep untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi aplikasinya masih minus.
Sepertinya pemerintah ingin memulai proyek ini dengan cara meningkatkan mutu (kualitas) guru terlebih dahulu. Karena kalau guru yang mengajar, kualitas dan metode pengajaranya masih kuno dan membosankan, tentu murid-muridnya akan merasa jenuh dan malas untuk meningkatkan pendidikan mereka. Secara praktis justru mereka malah asyik bermain facebook, twitter, dan browsing kesana-kemari.
Usaha pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pendidikan lewat peningkatan harkat dan martabat guru sudah mulai terealisasi dengan adanya sertifikasi. Harapannya adalah supaya para guru bisa lebih kreatif untuk bisa memikat generasi yang cerdas. Namun sayang, harapan pemerintah lagi-lagi mengalami masalah. Terbukti masih banyak tunjangan untuk guru di desa dan daerah terpencil yang belum merata. Seperti yang diungkapkan Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Unifah Rosyidi menyebutkan, sebagian besar guru (68 persen) dari total 2,7 juta guru ada di kota. “Sayangnya tak merata,” kata Unifah. (KOMPAS, 26 November 2011)
Dalam seminar internasional “Mengembangkan Guru Profesional dan Berkarakter Menuju Komunitas ASEAN 2015”, Jumat 25 November 2011, di Jakarta, yang bertepatan dengan hari guru, mengahasilkan suatu kesimpulan, bahwasanya yang menghambat peningkatan profesionalisme guru adalah desentralisasi pendidikan terkait perekrutan, pembinaan, dan distribusi guru. Oleh karena itu, pemerintah didesak untuk meninjau kembali kebijakan pemerintah terkait desentralisasi itu.
Guru yang berkualitas dan profesional akan menghasilkan murid yang berkualitas dan profesional juga. Guru yang profesional bukan hanya mengajarkan dari segi kognitifnya saja, melainkan juga dari bagaimana mendidik murid yang berkarakter cakap. Pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta jadi sulit untuk berjalan, meskipun bisa tetapi itu sulit dan cenderung ngawur. Sebaliknya, pendidikan karakter tanpa pendidikan kognitif adalah lumpuh dan akan mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Seperti negeri ini, yang sedikit demi sedikit disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan oleh negeri tetangga.
Semoga dengan adanya hari guru kemarin, bisa merefresh kembali memori kita betapa pentingnya pendidikan bagi manusia. Karena peningkatan mutu pendidikan adalah tugas kita bersama dengan disertai dekonstruksi yang menyeluruh, supaya kita tidak menyesal berkepanjangan.





                                                                                                              

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena