Dalam sejarah Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan masuknya
Islam ke Indonesia, akan tetapi sudah terbukti bahwasanya pada abad ke-7
H./ke-13 M. sudah ada kehadiran umat Islam secara nyata di Sumatera Utara. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya selain agama Islam-nya
secara an sich yang masuk ke Indonesia ,
maka secara tidak langsung juga ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin-nya pun masuk
dan bercampur dengan kebudayaan Indonesia .
Seiring berkembangnya peradaban, Islam bukan hanya dimaknai sebagai
sebuah agama saja, tetapi lebih dikembangkan kedalam bentuk spiritualitas.
Maka, muncullah para pemikir Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran falsafah di Indonesia .
Ketika Islam sudah menguasai dan meluas ke beberapa daerah yang diantaranya
sudah kental dengan tradisi falsafah dan Hellenisme, maka secara tidak langsung
adanya pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainnya. Dan
muncullah dinamika kehidupan pada saat itu yang tidak terelakkan lagi.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa
kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi,
termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang mereka bangun. Semua lembaga, baik
keagamaan, negara, maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh
dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga tersebut sedikit
banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan
diri dengan irama perubahan tersebut.[1]
Hal itulah yang menjadi dasar terhambatnya penyebaran falsafah di Indonesia .
Karena, masyarakat Indonesia
sampai saat inipun masih berpegang pada ajaran tradisi dan budaya seperti nenek
moyang mereka. Sebenarnya masyarakat Indonesia masih sulit untuk
menerima ajaran-ajaran falsafah. Apalagi masyarakat Indonesia mayoritas berpegang pada
madhab syafi’i yang mana madhab ini bersikeras menolak ajaran falsafah.
Memang dalam menyebarkan ajaran falsafah bukan tanpa adanya kendala,
melainkan lebih banyak kendalanya dibandingkan dengan kesuksesan yang diraih
selama ini. Ditambah lagi dengan adanya orang Islam yang berpikiran ortodoks
yang tidak menyetujui dan melarang falsafah dalam Islam. diantaranya adalah Ibn
Taymiyyah, imam syafi’i dan para ulama’ yang tidak setuju dengan falsafah dan
menganggap bahwa falsafah adalah ilmu orang-orang kafir apalagi berasal dari
orang Yunani yang menyembah berhala (pagan). Dan sejak arus pertama
falsafah Helenis membanjiri literalisme keyakinan kaum muslim, kalangan Islam
“ortodoks” tak henti-hentinya menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap
kemampuan falsafah dengan mengganggu para pelakunya. Jeleknya falsafah, menurut
mereka, menciptakan keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak perlu, dan
(kalaupun ada) bagusnya, paling banter hanya menghasilkan dugaan dan
kebingungan.[2]
Kita tahu bahwa, setelah Al-Ghazâlî mendalami ilmu falsafah dan
telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu
falsafah, yang terkenal adalah bukunya Tahâfuth Al-Falâsifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk
membongkar dan serangan terhadap paham falsafah dan membuktikan kekeliruan
padanya dari ajaran agama, khususnya falsafah Al-Fârâbi dan Ibnu Sînâ.
Dalam kesimpulannya Al-Ghazâlî menetapkan tiga masalah yang dianggap
telah menyeleweng dan itu dianggap kafir. Sehingga dari sini ia mengaggap bahwa
falsafah hanya akan menjadikan seseorang menjadi kafir. Dan ia juga telah
mengkafirkan para failasûf.
Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga
menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap falsafah dan failasûf.
Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat Islam pada
ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu falsafah di
dunia Islam.
Dari polemik-polemik itu bukan berarti menyebabkan terhapusnya tradisi
falsafah di Indonesia ,
akan tetapi sebagian Muslim ada yang melestarikan kebudayaan tersebut dan
menjadi bagian dari Islam. Sehingga kemudian muncullah para failasûf yang
selalu mencari sebuah kebenaran, dengan menggunakan falsafah sebagai alatnya. Akhirnya
falsafah di Indonesia
sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat secara luas dan mulai
banyak diminati terutama dibidang tashawwuf.
Tashawwuf dan falsafah semakin lama menyebar hampir ke seluruh Indonesia .
Dan para pemikir tashawwuf mengembangkan metodenya dengan faham wujūdiyyah
Ibn ‘Arabî dan menghasilkan syair-syair yang bercorak filosofis. Tetapi seperti
yang kita ketahui bahwa falsafah adalah ilmu yang selalu mendapatkan
pertentangan dari yang lain. Apalagi dengan faham semacam itu yang dianggap
cukup rumit untuk mempelajarinya. Masalah ini ternyata cukup serius yang
berakibat semakin menurunnya para pengikut setia tashawwuf dan falsafah.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah kata pepatah yang pantas untuk
falsafah di Indonesia .
Pasalnya, selain kemerosotan yang terjadi, falsafah juga mengalami kendala yang
besar pada waktu itu. Yaitu dengan datangnya para penjajah yang menyuruh para
sarjana untuk belajar falsafah di Barat dan para orientalis(sudah tidak murni)
yang mencekoki sarjana-sarjana Islam Indonesia dengan
pemikiran-pemikiran barat. Hal ini lah yang menjadikan falsafah Islam sudah
tidak murni lagi karena sudah tercampur dengan pemikiran dan budaya dari Barat.
Yang diserang para orientalis dan pemikiran Barat pada hakikatnya bukanlah
Islam itu sendiri-meski kalangan tertentu Muslim menganggpnya demikian-tetapi
beberapa aspek sekunder potret diri dan pandangan dunia tradisional Islam.
Aspek-aspek inilah yang besar kemungkinannya dikikis “asam modernitas” segera
setelah tersingkap kepadanya.[3]
Ditambah lagi dengan adanya doktrin Syafi’iyyah yang melarang umat Islam
untuk mempelajari falsafah, karena mereka berkeyakinan bahwa falsafah adalah
dari orang kafir dan bisa merusak akidah umat Islam. Ini menjadi pukulan yang
berat untuk para failasûf Indonesia
yang mana mereka di klaim dan ditentang habis-habisan oleh para Ulama’ Indonesia .
Semakin lama akhirnya ilmu falsafah dan kajian-kajian tentang falsafah
mulai ditinggalkan dan tidak begitu diminati oleh masyarakat Indonesia . Minat masyarakat Indonesia
terhadap falsafah sangat sedikit, mungkin dikarenakan karena falsafah Islam ini
masih sebagai wacana baru dan masih ada ketakutan terhadap yang namanya
falsafah. Hal ini bisa juga dibuktikan dengan masih sedikitnya sekolah-sekolah
yang mengadakan program studi falsafah, selain itu karya-karya, bahan-bahan dan
wacana-wacana tentang kefalsafahanpun masih sedikit. Tidak setiap golongan
masyarakat bisa mendengar dan menikmati wacana kefalsafahan apalagi dihubungkan
dengan standar pendidikan Indonesia
yang masih jauh dari kesmpurnaan.
Menurut Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara sedikitnya ada 5 aspek untuk memperkenalkan
dan mengembangkan falsafah Islam di Indonesia. Pertama, tentang
studi biografis yang mana kita lebih dianjurkan untuk mengenal para tokoh failasûf
Islam dari pada failasûf Barat. Kedua, karya-karya gnomologis yaitu
karya-karya yang memuat kata mutiara. Karena karya semacam itu masih minim
ditemukan di Indonesia .
Ketiga, sains Islam yaitu kita harus menguasai sains seperti orang Islam
terdahulu sebelum karya sains Islam direbut oleh orang-orang Barat. Keempat,
falsafah parenial yaitu falsafah yang menggabungkan dua keilmuan yaitu yang
bersifat empiris dan metafisik. Kelima, falsafah pasca ibn Rusyd yang
mana banyak yang beranggapan bahwa ibn Rusyd adala failasûf terakhir. Padahal
masih banyak failasûf yang muncul pasca ibn Rusyd yang harus kita telusuri dan
teliti demi kemajuan
Inilah yang menjadi tugas kita semua untuk bisa membangkitkan falsafah
seperti sebelumnya yang pernah berkembang di Indonesia . perhatian terhadap
falsafah Islam tidak berhenti dan akan terus ada sampai Islam tidak ada di
dunia ini. Jadi, apakah falsafah Islam itu akan berkembang di Indonesia ataupun
tidak, itu tergantung kepada para sarjana Muslim sendiri apakah mereka mau
mengembangkan dan meningkatkan wacana keilmuan falsafah Islam ataupun tidak.
Karena jika kita lihat sekarang maka minat dari masyarakat terhadap falsafah
sudah mulai berkembang dan mendapat respon yang positif terhadap kemajuan dan
perkembangan Islam. Terbukti dengan adanya mata pelajaran tentang falsafah di
tingkat Universitas, adanya berbagai kajian tentang falsafah, terbitnya
buku-buku mengenai falsafah, dan sebagainya. Ini merupakan contoh yang cukup
jelas kalau falsafah sudah mulai diterima kembali oleh masyarakat Indonesia
walaupun belum semuanya bisa menerima.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan(pen).
1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Kartanegara, Mulyadi.
2007. Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta : Penerbit Erlangga
Nasr,
Seyeed Hossein dan
Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung : Mizan
[1]Mulyadi Kartanegara, Nalar
Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007), hlm.
105-106
[2] Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 2003), terj. Syabir Akhtar,
cet. I, hlm. 1513
[3] Prof. William Montgomery
Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1997), terj. Taufik Adnan Amal, cet. I, hlm. 100
0 komentar:
Posting Komentar