Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Jumat, 13 April 2012

Falsafah Islam Di Indonesia

Oleh: Daqoiqul Misbah


Dalam sejarah Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan masuknya Islam ke Indonesia, akan tetapi sudah terbukti bahwasanya pada abad ke-7 H./ke-13 M. sudah ada kehadiran umat Islam secara nyata di Sumatera Utara. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya selain agama Islam-nya secara an sich yang masuk ke Indonesia, maka secara tidak langsung juga ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin-nya pun masuk dan bercampur dengan kebudayaan Indonesia.

Seiring berkembangnya peradaban, Islam bukan hanya dimaknai sebagai sebuah agama saja, tetapi lebih dikembangkan kedalam bentuk spiritualitas. Maka, muncullah para pemikir Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran falsafah di Indonesia. Ketika Islam sudah menguasai dan meluas ke beberapa daerah yang diantaranya sudah kental dengan tradisi falsafah dan Hellenisme, maka secara tidak langsung adanya pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainnya. Dan muncullah dinamika kehidupan pada saat itu yang tidak terelakkan lagi.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang mereka bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara, maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga tersebut sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.[1]
Hal itulah yang menjadi dasar terhambatnya penyebaran falsafah di Indonesia. Karena, masyarakat Indonesia sampai saat inipun masih berpegang pada ajaran tradisi dan budaya seperti nenek moyang mereka. Sebenarnya masyarakat Indonesia masih sulit untuk menerima ajaran-ajaran falsafah. Apalagi masyarakat Indonesia mayoritas berpegang pada madhab syafi’i yang mana madhab ini bersikeras menolak ajaran falsafah.
Memang dalam menyebarkan ajaran falsafah bukan tanpa adanya kendala, melainkan lebih banyak kendalanya dibandingkan dengan kesuksesan yang diraih selama ini. Ditambah lagi dengan adanya orang Islam yang berpikiran ortodoks yang tidak menyetujui dan melarang falsafah dalam Islam. diantaranya adalah Ibn Taymiyyah, imam syafi’i dan para ulama’ yang tidak setuju dengan falsafah dan menganggap bahwa falsafah adalah ilmu orang-orang kafir apalagi berasal dari orang Yunani yang menyembah berhala (pagan). Dan sejak arus pertama falsafah Helenis membanjiri literalisme keyakinan kaum muslim, kalangan Islam “ortodoks” tak henti-hentinya menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap kemampuan falsafah dengan mengganggu para pelakunya. Jeleknya falsafah, menurut mereka, menciptakan keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak perlu, dan (kalaupun ada) bagusnya, paling banter hanya menghasilkan dugaan dan kebingungan.[2]
Kita tahu bahwa, setelah Al-Ghazâlî mendalami ilmu falsafah dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu falsafah, yang terkenal adalah bukunya Tahâfuth Al-Falâsifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham falsafah dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya falsafah Al-Fârâbi dan Ibnu Sînâ. Dalam kesimpulannya Al-Ghazâlî menetapkan tiga masalah yang dianggap telah menyeleweng dan itu dianggap kafir. Sehingga dari sini ia mengaggap bahwa falsafah hanya akan menjadikan seseorang menjadi kafir. Dan ia juga telah mengkafirkan para failasûf.
Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap falsafah dan failasûf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat Islam pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu falsafah di dunia Islam.
Dari polemik-polemik itu bukan berarti menyebabkan terhapusnya tradisi falsafah di Indonesia, akan tetapi sebagian Muslim ada yang melestarikan kebudayaan tersebut dan menjadi bagian dari Islam. Sehingga kemudian muncullah para failasûf yang selalu mencari sebuah kebenaran, dengan menggunakan falsafah sebagai alatnya. Akhirnya falsafah di Indonesia sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat secara luas dan mulai banyak diminati terutama dibidang tashawwuf.
Tashawwuf dan falsafah semakin lama menyebar hampir ke seluruh Indonesia. Dan para pemikir tashawwuf mengembangkan metodenya dengan faham wujūdiyyah Ibn ‘Arabî dan menghasilkan syair-syair yang bercorak filosofis. Tetapi seperti yang kita ketahui bahwa falsafah adalah ilmu yang selalu mendapatkan pertentangan dari yang lain. Apalagi dengan faham semacam itu yang dianggap cukup rumit untuk mempelajarinya. Masalah ini ternyata cukup serius yang berakibat semakin menurunnya para pengikut setia tashawwuf dan falsafah.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah kata pepatah yang pantas untuk falsafah di Indonesia. Pasalnya, selain kemerosotan yang terjadi, falsafah juga mengalami kendala yang besar pada waktu itu. Yaitu dengan datangnya para penjajah yang menyuruh para sarjana untuk belajar falsafah di Barat dan para orientalis(sudah tidak murni) yang mencekoki sarjana-sarjana Islam Indonesia dengan pemikiran-pemikiran barat. Hal ini lah yang menjadikan falsafah Islam sudah tidak murni lagi karena sudah tercampur dengan pemikiran dan budaya dari Barat. Yang diserang para orientalis dan pemikiran Barat pada hakikatnya bukanlah Islam itu sendiri-meski kalangan tertentu Muslim menganggpnya demikian-tetapi beberapa aspek sekunder potret diri dan pandangan dunia tradisional Islam. Aspek-aspek inilah yang besar kemungkinannya dikikis “asam modernitas” segera setelah tersingkap kepadanya.[3]
Ditambah lagi dengan adanya doktrin Syafi’iyyah yang melarang umat Islam untuk mempelajari falsafah, karena mereka berkeyakinan bahwa falsafah adalah dari orang kafir dan bisa merusak akidah umat Islam. Ini menjadi pukulan yang berat untuk para failasûf Indonesia yang mana mereka di klaim dan ditentang habis-habisan oleh para Ulama’ Indonesia.
Semakin lama akhirnya ilmu falsafah dan kajian-kajian tentang falsafah mulai ditinggalkan dan tidak begitu diminati oleh masyarakat Indonesia. Minat masyarakat Indonesia terhadap falsafah sangat sedikit, mungkin dikarenakan karena falsafah Islam ini masih sebagai wacana baru dan masih ada ketakutan terhadap yang namanya falsafah. Hal ini bisa juga dibuktikan dengan masih sedikitnya sekolah-sekolah yang mengadakan program studi falsafah, selain itu karya-karya, bahan-bahan dan wacana-wacana tentang kefalsafahanpun masih sedikit. Tidak setiap golongan masyarakat bisa mendengar dan menikmati wacana kefalsafahan apalagi dihubungkan dengan standar pendidikan Indonesia yang masih jauh dari kesmpurnaan.
Menurut Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara sedikitnya ada 5 aspek untuk memperkenalkan dan mengembangkan falsafah Islam di Indonesia. Pertama, tentang studi biografis yang mana kita lebih dianjurkan untuk mengenal para tokoh failasûf Islam dari pada failasûf Barat. Kedua, karya-karya gnomologis yaitu karya-karya yang memuat kata mutiara. Karena karya semacam itu masih minim ditemukan di Indonesia. Ketiga, sains Islam yaitu kita harus menguasai sains seperti orang Islam terdahulu sebelum karya sains Islam direbut oleh orang-orang Barat. Keempat, falsafah parenial yaitu falsafah yang menggabungkan dua keilmuan yaitu yang bersifat empiris dan metafisik. Kelima, falsafah pasca ibn Rusyd yang mana banyak yang beranggapan bahwa ibn Rusyd adala failasûf terakhir. Padahal masih banyak failasûf yang muncul pasca ibn Rusyd yang harus kita telusuri dan teliti demi kemajuan
Inilah yang menjadi tugas kita semua untuk bisa membangkitkan falsafah seperti sebelumnya yang pernah berkembang di Indonesia. perhatian terhadap falsafah Islam tidak berhenti dan akan terus  ada sampai Islam tidak ada di dunia ini. Jadi, apakah falsafah Islam itu akan berkembang di Indonesia ataupun tidak, itu tergantung kepada para sarjana Muslim sendiri apakah mereka mau mengembangkan dan meningkatkan wacana keilmuan falsafah Islam ataupun tidak. Karena jika kita lihat sekarang maka minat dari masyarakat terhadap falsafah sudah mulai berkembang dan mendapat respon yang positif terhadap kemajuan dan perkembangan Islam. Terbukti dengan adanya mata pelajaran tentang falsafah di tingkat Universitas, adanya berbagai kajian tentang falsafah, terbitnya buku-buku mengenai falsafah, dan sebagainya. Ini merupakan contoh yang cukup jelas kalau falsafah sudah mulai diterima kembali oleh masyarakat Indonesia walaupun belum semuanya bisa menerima.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan(pen). 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Kartanegara, Mulyadi. 2007. Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan


[1]Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm. 105-106
[2] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), terj. Syabir Akhtar, cet. I, hlm. 1513
[3] Prof. William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), terj. Taufik Adnan Amal, cet. I, hlm. 100 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena