Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Syaikh Nûr al-Dîn al-Ranîrî


Oleh Daqoiqul Misbah

v Biografi
Nûr al-Dîn Muhammad bin ‘Alî bin Hasanji al-Hâmid al-Syâfi’i al-‘Aydarûsi al-Ranîrî, dilahirkan di Ranir, sebuah kota di pelabuhan tua di Gujarat. Namun, untuk tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, dimungkinkan beliau lahir pada penghujung anad ke-16. Al-Ranîrî mendapatkan pendidikan awal di Ranîr, tempat kelahirannya, dan kemudian melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadramaut, setelah itu ia pergi ke Haramayn dan dimungkinkan dia mengadakan kontak dengan jamaah haji jawi di sana sebelum kembali ke Gujarat.
Guru al-Ranîrî yang masyhur dari India adalah Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadrami (w.1066 H/ 1656 M)
v Pokok – pokok ajaran
Ajaran al-Ranîrî sebenarnya lebih dominan pada bidang ilmu kalam dan tasawuf. Terbukti dengan kedatangan beliau ke Nusantara tak lain adalah untuk membasmi ajaran Wujûdiyyah Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, di samping tanggungjawabnya sebagai khalifah Tarekat Rifa’iyyah wilayah Melayu. Beliau melakukan pemberontakan kepada keduanya – Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani – seprti yang terdapat dalam karyanya Ma’ al-Hayat li Ahl al-Manat, yaitu “Barangsiapa syak pada mengkafirkan Yahudi, Nasrani, Hamzah Fansuri, Syam al-Din al-Sumatrani, dan pengikut keduanya, maka sesungguhnya ia kafir.” Kekafiran penganut ajaran tersebut adalah karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Hal itu tentu tidak mungkin terjadi, karena berarti antara zat dan sifat Tuhan dengan zat dan sifat makhluk-Nya terjadi intiqal, hulul, atau ittihad. Selain itu, terdapat perbedaan antara Tuhan dan makhluk yang menafikan kemungkinan tiga hal tersebut.
Ajaran al-Ranîrî yang membantah pandangan paham Wujudiyyah salah satunya adalah mengenai kedekatan Allah pada alam. Paham Wujudiyyah memakai dalil dalam al-Qur’an mengenai kedekatan tersebut, yaitu, (ونحن ٲقرب ٳليه من حبل الوريد)  yang maknanya menurut kaum Wujudiyyah adalah “Kami terlebih dekat kepada-Nya, yakni bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan dari pada urat lehernya”. Al-Ranîrî jelas menolak penafsiran penganut Wujudiyyah  atas ayat tersebut, karena kedua golongan tersebut hanya menafsirkan ayat di atas menurut makna lahir dengan tambahan beberapa penjelasan yang sesuai dengan pengertian itu. Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah lebih dekat kepada manusia daripada diri manusia itu sendiri. Demikian karena Allah lah yang menciptakan manusia sehingga lebih mengetahui segala yang bergerak dalam hatinya. Kedekatan itu tidak berkaitan dengan tempat atau waktu, tidak pula berupa hulul, ittihad, dan lain sebagainya. Al-Ranîrî sendiri mengklasifikasikan dekat dalam tiga poin di bawah ini:
1.    Qurb zamânî (dekat berkaitan dengan waktu), seperti tahun 2011 itu lebih dekat dengan tahun 2010 dari pada dengan tahun 2009
2.    Qurb makânî (dekat berkaitan dengan tempat), seperti Jakarta lebih dekat dengan Semarang dari pada dengan Surabaya.
3.    Qurb ma’nawî (dekat dalam arti maknawi), seperti kedekatan roh dengan jasad
Dekat dalam arti zaman dan tempat hanya pantas digunakan untuk menjelaskan kedekatan antar makhluk, dan tidak layak untuk digunakan sebagai penjelasan kedekatan antara Allah dengan makhluk. Hanya kedekatan maknawi yang sesuai untuk menjelaskan kedekatan Allah dan makhluk-Nya. Adapun seberapa dekat makhluk dengan Tuhan-nya secara maknawi, hanya Allah dan orang-orang yang dipilih-Nya yang tahu.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena