Oleh Daqoiqul Misbah
v Biografi
Nûr al-Dîn Muhammad bin ‘Alî bin Hasanji al-Hâmid al-Syâfi’i
al-‘Aydarûsi al-Ranîrî, dilahirkan di Ranir, sebuah kota di pelabuhan tua di
Gujarat. Namun, untuk tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti,
dimungkinkan beliau lahir pada penghujung anad ke-16. Al-Ranîrî mendapatkan
pendidikan awal di Ranîr, tempat kelahirannya, dan kemudian melanjutkan
pelajarannya di wilayah Hadramaut, setelah itu ia pergi ke Haramayn
dan dimungkinkan dia mengadakan kontak dengan jamaah haji jawi di sana sebelum
kembali ke Gujarat.
Guru al-Ranîrî yang masyhur dari India adalah Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadrami (w.1066 H/ 1656 M)
Guru al-Ranîrî yang masyhur dari India adalah Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadrami (w.1066 H/ 1656 M)
v Pokok – pokok ajaran
Ajaran al-Ranîrî sebenarnya lebih dominan pada bidang ilmu kalam
dan tasawuf. Terbukti dengan kedatangan beliau ke Nusantara tak lain adalah
untuk membasmi ajaran Wujûdiyyah Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, di samping
tanggungjawabnya sebagai khalifah Tarekat Rifa’iyyah wilayah Melayu. Beliau
melakukan pemberontakan kepada keduanya – Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani –
seprti yang terdapat dalam karyanya Ma’ al-Hayat li Ahl al-Manat,
yaitu “Barangsiapa syak pada mengkafirkan Yahudi, Nasrani, Hamzah Fansuri,
Syam al-Din al-Sumatrani, dan pengikut keduanya, maka sesungguhnya ia kafir.”
Kekafiran penganut ajaran tersebut adalah karena mereka memandang bahwa Allah
itu adalah alam dan alam adalah Allah. Hal itu tentu tidak mungkin terjadi,
karena berarti antara zat dan sifat Tuhan dengan zat dan sifat makhluk-Nya
terjadi intiqal, hulul, atau ittihad. Selain itu, terdapat
perbedaan antara Tuhan dan makhluk yang menafikan kemungkinan tiga hal
tersebut.
Ajaran al-Ranîrî yang membantah pandangan paham Wujudiyyah salah
satunya adalah mengenai kedekatan Allah pada alam. Paham Wujudiyyah memakai
dalil dalam al-Qur’an mengenai kedekatan tersebut, yaitu, (ونحن ٲقرب ٳليه من حبل الوريد) yang
maknanya menurut kaum Wujudiyyah adalah “Kami terlebih dekat kepada-Nya, yakni
bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan dari pada urat
lehernya”. Al-Ranîrî jelas menolak penafsiran penganut Wujudiyyah atas ayat tersebut, karena kedua golongan
tersebut hanya menafsirkan ayat di atas menurut makna lahir dengan tambahan
beberapa penjelasan yang sesuai dengan pengertian itu. Maksud ayat tersebut
adalah bahwa Allah lebih dekat kepada manusia daripada diri manusia itu
sendiri. Demikian karena Allah lah yang menciptakan manusia sehingga lebih
mengetahui segala yang bergerak dalam hatinya. Kedekatan itu tidak berkaitan
dengan tempat atau waktu, tidak pula berupa hulul, ittihad, dan lain
sebagainya. Al-Ranîrî sendiri mengklasifikasikan dekat dalam tiga poin di bawah
ini:
1.
Qurb
zamânî (dekat berkaitan dengan waktu),
seperti tahun 2011 itu lebih dekat dengan tahun 2010 dari pada dengan tahun
2009
2.
Qurb
makânî (dekat berkaitan dengan tempat),
seperti Jakarta lebih dekat dengan Semarang dari pada dengan Surabaya.
3.
Qurb
ma’nawî (dekat dalam arti maknawi), seperti
kedekatan roh dengan jasad
Dekat dalam arti zaman dan tempat hanya pantas digunakan untuk
menjelaskan kedekatan antar makhluk, dan tidak layak untuk digunakan sebagai
penjelasan kedekatan antara Allah dengan makhluk. Hanya kedekatan maknawi yang
sesuai untuk menjelaskan kedekatan Allah dan makhluk-Nya. Adapun seberapa dekat
makhluk dengan Tuhan-nya secara maknawi, hanya Allah dan orang-orang yang
dipilih-Nya yang tahu.
0 komentar:
Posting Komentar