Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Tasawuf

Oleh Daqoiqul Misbah

A.          Pendahuluan
Sebelum peneliti menjelaskan tentang seseorang yang meniti jalan tasawuf,  ia harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Karena tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu, dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam.

Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak petengahan abad kedua Hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan pengahayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kaca mata para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku batin seperti kekhususan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syariat.
Selain menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme, peneliti juga harus punya pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam. Hal ini penting karena peneliti bergerak dalam bidang penelitian agama, bukan hanya penelitian bidang social, dan diabdikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajuan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.[1]

B.           Pembahasan
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati  dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya.
Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta  memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap p­­­engenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi  berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Maha Esa.
Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.  Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya.  Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
Tasawuf sebagai gerakan pencari Tuhan secara langsung sejak awal pertumbuhannya bisa dipandang merupakan gerakan protes. Mereka tidak puas menerima keterangan dari petunjuk wahyu, ingin langsung bertemu dengan Tuhan sendiri secara tatap muka. Jadi berarti ingin mendapat wahu langsung dari Tuhan walaupun wahyu penghayatan kasyfi ini masih mereka pandang sebagai wahyu minor, selapis lebih rendah dari wahyu kenabian. Dari segi ini berarti nilai wahyu dan syariat sedikit atau banyak menurun atau berkurang dihadapan para sufi. Surga dan neraka tidak begitu penting bagi para sufi, atau berkurang fungsinya. Seterusnya, nilai syariat dan wahyu kenabian makin mengecil di tangan para penghayat serba Tuhan (yang berpaham kesatuan kawula-Gusti). Hal ini wajar, karena menurut logika sufisme dan mistik pada umumnya, tujuan sampai kepada Tuhan yang utama dan nomor satu.
Jalan tasawuf ini bisa diarungi atau dititi dari:
1.      Ilmu ma’rifat
2.      dengan cara spiritual
3.      jalan dibalik bayangan Rasulullah tanpa meninggalkan sedikitpun
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalah mencapai pengahayatan ma’rifat pada Dzatullah ( الله  معرفة ). Ma’rifat ini dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca indera, akan tetapi hati atau kalbu ( القلب ). Oleh karena itu dalam ajaran tasawuf hati atau kalbu ini merupakan organ yang amat penting, karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifat pada Dzatullah.
Perjalanan yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan sungguh amat panjang dan tak mudah dilalui. Namun demikian bagi orang yang mampu menguasai ilmu mengenai hal itu secara tepat dan mantap, lalu dijalaninya dengan tekun dan tabah, perjalanan itu bakal sampai pada tujuan, bahkan bukan mustahil ia akan mengenal siapa pamongnya. Pada ujung perjalanan nanti seorang sufi akan bertemu dan dapat melihat “yang momong” dirinya selama ini, yang menjaga dan mengawasinya (meruhi marang kang momong), sebagai ma’rifat dalam bentuk kasyaf.[2]
Seorang hamba untuk berada dekat dengan Tuhan sedekat-dekatnya harus menempuh jalan yang panjang yang berisi maqam-maqam, yaitu maqam taqwa, taubat, wara’, sabar, zuhud, ridla dan tawakkal. Jalan itu tidak mudah. Jalan itu sulit dan untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang lama di bawah bimbingan guru.
Dengan demikian semakin tinggi mutu maqam seseorang semakin cepat ia merampungkan berbagai maqamat itu dan semakin cepat ia sampai ke ujung perjalanan. Sebaliknya semain rendah mutu maqam seseorang, semakin lambat ia meningkat ke maqam yang lain, sehingga bukan mustahil sampai akhir hayatnya ia tidak sampai pada ujung perjalanan yang diinginkannya.[3]
Manusia dalam pandangan Islam, sebagai halnya dalam agama monoteisme lainnya, tersusun dari dua unsur, unsur jasmani dan unsur rohani. Tubuh manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan hidup kebendaan, sedangkan rohaninya bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan spiritual. Dalam Islam, latihan rohani yang diperlukan manusia, diberikan dalam bentuk ibadat. Semua ibadat dalam Islam baik dalam bentuk shalat, puasa, zakat maupun haji, bertujuan untuk membuat rohani manusia tetap ingat kepada Tuhan dan bahkan merasa senantiasa dekat padaNya. Keadaan senantiasa dekat pada Tuhan yang Maha Suci dapat mempertajam rasa kesucian yang selanjutnya menjadi rem bagi hawa nafsunya untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dengan hukum yang berlaku.[4]

C.           Kesimpulan
          Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengalaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
          Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Moh. 1995. Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang). Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
Nasution, Harun. 1974. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang
Simuh. 2002. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada





[1] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 10

[2] Prof. Dr. Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang), (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 69
[3] Ibid., hlm. 75
[4] Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Jilid I, hlm. 36-37

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena