Oleh Daqoiqul Misbah
A.
Pendahuluan
Sebelum peneliti menjelaskan tentang
seseorang yang meniti jalan tasawuf, ia harus
menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Karena tidak mungkin
cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat
utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang
kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu,
dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah
berkembang semenjak petengahan abad kedua Hijriah hingga dewasa ini tentu
mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam
kaitannya dengan ajaran dan pengahayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat”
bagi para sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka
menurut kaca mata para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku
lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku batin seperti
kekhususan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta
etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syariat.
Selain menguasai istilah-istilah atau
bahasa sufisme, peneliti juga harus punya pandangan yang terang tentang apa
tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam. Hal ini penting karena
peneliti bergerak dalam bidang penelitian agama, bukan hanya penelitian bidang
social, dan diabdikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai
setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajuan umat
beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi
keagungan agama.[1]
B.
Pembahasan
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena
pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan.
Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat
dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan
lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati dalam makna penglihatan batin,
adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga
mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala
sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang
lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu
hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata
batinnya.
Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya
melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah
asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta memberikan dorongan
yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan
perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat
menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam,
yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya.
Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat
bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya
menuju Yang Maha Esa.
Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa
seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan
terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk
menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia
mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang
lainnya. Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan.
Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah
menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
Tasawuf sebagai gerakan pencari Tuhan secara langsung sejak awal
pertumbuhannya bisa dipandang merupakan gerakan protes. Mereka tidak puas
menerima keterangan dari petunjuk wahyu, ingin langsung bertemu dengan Tuhan
sendiri secara tatap muka. Jadi berarti ingin mendapat wahu langsung dari Tuhan
walaupun wahyu penghayatan kasyfi ini masih mereka pandang sebagai wahyu minor,
selapis lebih rendah dari wahyu kenabian. Dari segi ini berarti nilai wahyu dan
syariat sedikit atau banyak menurun atau berkurang dihadapan para sufi. Surga
dan neraka tidak begitu penting bagi para sufi, atau berkurang fungsinya.
Seterusnya, nilai syariat dan wahyu kenabian makin mengecil di tangan para
penghayat serba Tuhan (yang berpaham kesatuan kawula-Gusti). Hal ini wajar,
karena menurut logika sufisme dan mistik pada umumnya, tujuan sampai kepada
Tuhan yang utama dan nomor satu.
Jalan tasawuf ini bisa diarungi atau dititi dari:
1. Ilmu ma’rifat
2. dengan cara spiritual
3. jalan dibalik
bayangan Rasulullah tanpa meninggalkan sedikitpun
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalah mencapai pengahayatan
ma’rifat pada Dzatullah ( الله معرفة ). Ma’rifat ini dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman
kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau
panca indera, akan tetapi hati atau kalbu ( القلب ). Oleh karena itu dalam
ajaran tasawuf hati atau kalbu ini merupakan organ yang amat penting, karena
dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam
alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifat pada Dzatullah.
Perjalanan yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan
sungguh amat panjang dan tak mudah dilalui. Namun demikian bagi orang yang
mampu menguasai ilmu mengenai hal itu secara tepat dan mantap, lalu dijalaninya
dengan tekun dan tabah, perjalanan itu bakal sampai pada tujuan, bahkan bukan
mustahil ia akan mengenal siapa pamongnya. Pada ujung perjalanan nanti
seorang sufi akan bertemu dan dapat melihat “yang momong” dirinya selama
ini, yang menjaga dan mengawasinya (meruhi marang kang momong), sebagai
ma’rifat dalam bentuk kasyaf.[2]
Seorang hamba untuk berada dekat dengan Tuhan sedekat-dekatnya harus
menempuh jalan yang panjang yang berisi maqam-maqam, yaitu maqam taqwa, taubat,
wara’, sabar, zuhud, ridla dan tawakkal. Jalan itu tidak mudah. Jalan itu sulit
dan untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain menghendaki usaha yang
berat dan waktu yang lama di bawah bimbingan guru.
Dengan demikian semakin tinggi mutu maqam seseorang semakin cepat ia
merampungkan berbagai maqamat itu dan semakin cepat ia sampai ke ujung
perjalanan. Sebaliknya semain rendah mutu maqam seseorang, semakin lambat ia
meningkat ke maqam yang lain, sehingga bukan mustahil sampai akhir hayatnya ia
tidak sampai pada ujung perjalanan yang diinginkannya.[3]
Manusia dalam pandangan Islam, sebagai halnya dalam agama monoteisme lainnya,
tersusun dari dua unsur, unsur jasmani dan unsur rohani. Tubuh manusia berasal
dari materi dan mempunyai kebutuhan hidup kebendaan, sedangkan rohaninya
bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan spiritual. Dalam Islam, latihan
rohani yang diperlukan manusia, diberikan dalam bentuk ibadat. Semua ibadat
dalam Islam baik dalam bentuk shalat, puasa, zakat maupun haji, bertujuan untuk
membuat rohani manusia tetap ingat kepada Tuhan dan bahkan merasa senantiasa
dekat padaNya. Keadaan senantiasa dekat pada Tuhan yang Maha Suci dapat
mempertajam rasa kesucian yang selanjutnya menjadi rem bagi hawa nafsunya untuk
melanggar nilai-nilai moral, peraturan dengan hukum yang berlaku.[4]
C.
Kesimpulan
Dari sedikit
pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat
sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang
hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang
harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh
jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh
jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengalaman-pengalaman yang dialami itu
berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
Dengan demikian,
begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian
tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat
kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Moh. 1995. Al-Qur’an dan Sufisme
Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang). Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf
Nasution, Harun.
1974. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang
Simuh. 2002. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam
Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[1] Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 10
[2] Prof. Dr. Moh. Ardani, Al-Qur’an
dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang), (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 69
[3]
Ibid., hlm. 75
[4] Dr. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Jilid I,
hlm. 36-37
0 komentar:
Posting Komentar