Oleh Daqoiqul
Misbah
“Kafir kamu”. Kira-kira seperti Itulah pelbagai polemik yang sering
terjadi sekarang. Kata ini juga makin populer seiring dengan munculnya banyak
aliran yang terjadi di Indonesia .
Banyak yang saling mengafirkan antara teman, saudara, bahkan yang lebih parah
adalah orang tua sendiri dianggap kafir olehnya.
Nampaknya semakin lama kata
tersebut menjadi kebiasaan oleh sekelompok orang. Padahal, kata tersebut
bukanlah kata-kata yang sembarangan boleh diucapkan yang takutnya nanti akan
berdampak pada psikologis seseorang.
Sungguh lucu sekali kalau kita hanya bisa mengafirkan orang. Kita semua juga
bisa kalau hanya mengafirkan orang, baik yang berilmu maupun yang tidak
berilmu. Yang menjadi tugas kita adalah bagaimana mengubah seseorang yang dianggap
kafir tersebut bisa kembali lagi ke jalan yang benar dan bukan malah mengklaim
seseorang menjadi kafir. Perbuatan seperti itu sungguh menyimpang dari ajaran
Islam.
To the poin saja, dewasa ini banyak kasus pemberontakan yang
terjadi di Negara kita. Kelompok tersebut ingin Negara kita diubah ke dalam
Negara berbasis Islam. Berdirinya kelompok tersebut tak lepas dari sosok Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo yang berhasil diproklamasikan pada 7 Agustus 1949.
kelompok tersebut tak lain adalah Negara Islam Indonesia (NII) yang
menginginkan Negara teokrasi dengan Islam sebagai dasar Negara. Artinya, Negara
ini haruslah berdasarkan pada hukum Tuhan yang menurut kepercayaan mereka bahwa
Tuhan langsung memerintah Negara melalui ajaran Islam yang sudah ada
sebelumnya.
Aliran NII semakin lama menjadi besar dan tersebar dimana-mana. Pasalnya,
sasaran rekrutmentnya tidak pandang bulu, mulai dari orang tua, mahasiswa,
sampai anak baru gede (yang populer disebut ABG). Mereka menarik minat calon
korbanya melalui berbagai cara yang sering dikenal dengan metode “cuci otak”. Setiap
korban NII selalu dimintai uang dan mereka halal mengambil uang siapa saja
termasuk uang orang tuanya. Misalnya sebuah kasus yang terjdi di Surabaya , seorang
mahasiswa tertarik ikut NII gara-gara diberikan kebebasan untuk memilih gadis
cantik sebagai calon istri. Gadis-gadis cantk itu dapat dilihat saat acara
pengajian khusus komunitas NII. Setelah mahasiswa tersebut mengikuti beberapa
kali pengajian dan proses cuci otak, akhirnya dia dimintai uang mahar senilai
Rp. 1 juta untuk menikahi gadis yang dipilihnya. Karena tidak punya uang,
akhirnya ia terpaksa mengambil uang orang tuanya dan mengamen untuk
mengumpulkan mahar itu. Semakin lama ia tidak nyaman dengan NII. Selain banyak
ajaran yang menyimpang aktivis NII juga sering mendatangi rumahnya untuk
menagih uang mahar. Sebelumnya ia ragu ketika mau keluar dari NII, karena
anggota NII yang membelot akan dikenai hukum pancung. Akhirnya ia memutuskan
untuk keluar dan tidak dikenai hukum pancung.
Mau jadi apa negeri ini kalau mereka berhasil mendirikan Negara Islam Indonesia ?
Mereka mengusung Islam sebagai dasaar Negara dengan hukum tertinggi al-qur’an
dan hadits tetapi perbuatan mereka tidak sesuai dengan cara yang mereka
lakukan. Memang konsep mereka bagus, tetapi cara yang mereka lakukan belum
sesuai. Maka dari itu, banyak tokoh-tokoh Islam yang tidak sependapat dengan
mereka. Mantan presiden RI, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya. Secara terus
terang bahkan mengatakan: “musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka
yang menghendaki Indonesia
berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari’at Islam”. (Republika, 22
September 1998. hal. 2 kolom 5).
Semestinya orang-orang NII harus bisa lebih dewasa dan memperdalam
syari’at Islam, bukan malah menjadi pecundang dan sok suci yang mengatasnamakan
kelompok Islam. Seakan-akan Islam milik mereka sendiri dan Indonesia yang berlandaskan
Pancasila bukanlah Negara Islam menurut kriteria mereka. Orang yang menurut
mereka salah dan tidak sesuai dengan ajaran langsung diklaim kafir. Oleh karena
itu, kita harus selalu waspada terhadap NII yang pecundang dan sok suci itu.
0 komentar:
Posting Komentar