Oleh Daqoiqul Misbah
Menilik sejarah pers di Indonesia sebenarnya tidak
serta merta bebas seperti sekarang. Pasalnya, kebebasan pers baru ada setelah
lengsernya Soeharto dari jabatan kepresidenan yang mana memberikan dampak yang
besar bagi perkembangan pers di Indonesia. Pada waktu Soeharto menjabat sebagai
presiden, masyarakat tidak berani bersuara alias bisu. Karena mengingat
Soeharto yang begitu otoriter sehingga ketika mereka bersuara dan merugikan pemerintahan
maka masalah akan datang bagi mereka yang suka berkomentar.
Mengingat perubahan sistem pers di Indonesia dari era
Soekarno hingga pasca reformasi memang cukup pelik. Pasalnya, pers zaman
sekarang sudah keluar dari kodratnya dan hakikatnya sebagai layanan informasi
bagi masyarakat. Lagi-lagi politik menjadi dalang dari semuanya yang memainkan
peranan penting. Entah itu memajukan atau bahkan memundurkan media pers itu
sendiri. Media massa yang hakikatnya digunakan sebagai alat yang menyediakan wadah
bagi masyarakat untuk bisa bebas menyuarakan mengenai pelbagai polemik yang
muncul, justru sekarang digunakan sebagai industri yang bisa menghasilkan uang
(komersil).
Ditambah lagi terjadinya revolusi di bidang teknologi
informasi membuat media massa dan pers semakin licin jika digunakan untuk
industri. Inilah perkembangan sistem yang ada yang justru semakin menyempitkan
ruang yang khusus menampung aspirasi masyarakat. Pada zaman Soekarno media
memiliki peran yang sangat sentral, karena kedudukannya merupakan sub sistem
dari suatu pemerintahan yang ada. Dan waktu itu media menjadi alat komunikasi
antara pemerintahan dan masyarakat.
Tidak seperti sekarang, walaupun sudah ada UU tentang
kebebasan pers, tetapi tetap saja masih belum terealisasikan dengan baik karena
masih ada permainan politik. Memang politik juga berpengaruh pada pertumbuhan
ekonomi, tetapi paling tidak ketika media menjalankan politik di media massa,
sekiranya masih memberi ruang untuk Public
Sphare bukan malah menguranginya. Dari semuanya itu, positivnya terletak
pada kemajuan teknologi, karena dengan majunya teknologi sekarang masyarakat
sudah bisa mengetahui segalanya mulai dari pers cetak maupun yang non-cetak.
Media massa secara praktik telah menjadi bagian
integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah
keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem
hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang
lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah
meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia
menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri. Sejarah juga memberi
catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan
negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya
tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan
variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya
adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang
dimunculkan media.
Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa
memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak
media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya
hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas
birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat.
Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media
menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal
kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.
Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal
(19451959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita
kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin
(1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi
politik diantara para pelakunya.
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka
menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa
hidup di luar lingkungan kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di
kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu
itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa pun
mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu,
visi mereka pun mulai mengalami perubahan.
Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan-harapan
idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan
nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai
koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui
peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan
rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka
sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui
“Bergerak”, Yogyakarta melalui, “Gugat” ataupun kota‑kota besar lainnya
mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk
menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara
satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet
Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi
jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan
hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini
sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai
dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu
peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia
kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar
belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti,
mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut.
Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun
elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah
di lembaga pers mahasiswa.
Sekarang tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan pers
dengan baik dan benar. Tetapi terkadang pers hanya untuk orang-orang pemuka
atau tokoh dan posisi mahasiswa tidak begitu dihiraukan. Apakah mahasiswa
dipandang kurang begitu menguasai permasalahan dan belum bisa memberi solusi,
sehingga peran mahasiswa dalam pers kurang begitu dilirik oleh media massa.
Padahal, Pers Mahasiswa adalah sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide
kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran guna mengaktualisasikan
diri dalam merespon permasalahan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris
sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap
permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di mahasiswa maupun
masyarakat.
Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi
pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol
sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat,
menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara
yang berkembang.
Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum
Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik
yang benar. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam
mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam
kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus
bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak
rektorat atau pun pihak lainnya.
Ini merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan mahasiswa untuk bisa
lagi mendobrak dan bersuara di media massa. Buktikanlah wahai mahasiswa bahwa
kalian itu bisa lebih baik dari para pakar dan tokoh-tokoh intelektual. Pers
mahasiswa harus mampu mengembangkan kreativitas dan menyajikan berita-berita
yang fresh, sehingga dapat menarik minat para pembaca. Dan jangan sampai
mematikan pers mahasiswa, karena matinya pers mahasiswa berarti matinya
demokrasi di kampus mereka.
0 komentar:
Posting Komentar