Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Tantangan Reposisi Pers Mahasiswa Era Reformasi


Oleh Daqoiqul Misbah


Menilik sejarah pers di Indonesia sebenarnya tidak serta merta bebas seperti sekarang. Pasalnya, kebebasan pers baru ada setelah lengsernya Soeharto dari jabatan kepresidenan yang mana memberikan dampak yang besar bagi perkembangan pers di Indonesia. Pada waktu Soeharto menjabat sebagai presiden, masyarakat tidak berani bersuara alias bisu. Karena mengingat Soeharto yang begitu otoriter sehingga ketika mereka bersuara dan merugikan pemerintahan maka masalah akan datang bagi mereka yang suka berkomentar.

Mengingat perubahan sistem pers di Indonesia dari era Soekarno hingga pasca reformasi memang cukup pelik. Pasalnya, pers zaman sekarang sudah keluar dari kodratnya dan hakikatnya sebagai layanan informasi bagi masyarakat. Lagi-lagi politik menjadi dalang dari semuanya yang memainkan peranan penting. Entah itu memajukan atau bahkan memundurkan media pers itu sendiri. Media massa yang hakikatnya digunakan sebagai alat yang menyediakan wadah bagi masyarakat untuk bisa bebas menyuarakan mengenai pelbagai polemik yang muncul, justru sekarang digunakan sebagai industri yang bisa menghasilkan uang (komersil).
Ditambah lagi terjadinya revolusi di bidang teknologi informasi membuat media massa dan pers semakin licin jika digunakan untuk industri. Inilah perkembangan sistem yang ada yang justru semakin menyempitkan ruang yang khusus menampung aspirasi masyarakat. Pada zaman Soekarno media memiliki peran yang sangat sentral, karena kedudukannya merupakan sub sistem dari suatu pemerintahan yang ada. Dan waktu itu media menjadi alat komunikasi antara pemerintahan dan masyarakat.
Tidak seperti sekarang, walaupun sudah ada UU tentang kebebasan pers, tetapi tetap saja masih belum terealisasikan dengan baik karena masih ada permainan politik. Memang politik juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, tetapi paling tidak ketika media menjalankan politik di media massa, sekiranya masih memberi ruang untuk Public Sphare bukan malah menguranginya. Dari semuanya itu, positivnya terletak pada kemajuan teknologi, karena dengan majunya teknologi sekarang masyarakat sudah bisa mengetahui segalanya mulai dari pers cetak maupun yang non-cetak.
Media massa secara praktik telah menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri. Sejarah juga memberi catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang dimunculkan media.
Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat. Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.
Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya.
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.
Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui “Bergerak”, Yogyakarta melalui, “Gugat” ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet
Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.
Sekarang tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan pers dengan baik dan benar. Tetapi terkadang pers hanya untuk orang-orang pemuka atau tokoh dan posisi mahasiswa tidak begitu dihiraukan. Apakah mahasiswa dipandang kurang begitu menguasai permasalahan dan belum bisa memberi solusi, sehingga peran mahasiswa dalam pers kurang begitu dilirik oleh media massa. Padahal, Pers Mahasiswa adalah sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran guna mengaktualisasikan diri dalam merespon permasalahan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di mahasiswa maupun masyarakat.
Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat, menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara yang berkembang.
Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik yang benar. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak rektorat atau pun pihak lainnya.
Ini merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan mahasiswa untuk bisa lagi mendobrak dan bersuara di media massa. Buktikanlah wahai mahasiswa bahwa kalian itu bisa lebih baik dari para pakar dan tokoh-tokoh intelektual. Pers mahasiswa harus mampu mengembangkan kreativitas dan menyajikan berita-berita yang fresh, sehingga dapat menarik minat para pembaca. Dan jangan sampai mematikan pers mahasiswa, karena matinya pers mahasiswa berarti matinya demokrasi di kampus mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena