Oleh Daqoiqul Misbah
Sebelum penulis memaparkan jaringan atau hubungan
falsafah Islam antara Timur dan Barat, penulis akan sedikit flash Back menjelaskan
history adanya dua kubu tersebut (Masyriqi dan Maghribi). Falsafah Islam di
bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan falsafah Islam di Maghribi
(bagian Barat Dunia Islam). Di antara para failasuf Islam di kedua kawasan
tersebut terjadi perselisihan pendapat tentang pelbagai pokok pengertian.
Di
Timur sedikitnya terdapat tiga orang failasuf terkemuka, seperti al-Kindî,
al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Di Barat juga sedikitnya terdapat tiga orang failasuf
kenamaan, seperti Ibn Bâjjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd.
Adalah wajar jika falsafah Islam muncul lebih dulu di
Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di
Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia ,
Syam dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifahan pindah dari Hijaz (Madinah) ke
Damaskus (Syam), sebuah kota
yang dari segi politik menjadi pusat kekuasaan orang-orang Bani Umayyah. Setelah
itu datanglah para penguasa Abbas yang menjadikan kota
Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan peradaban Islam. Sejak saat itu, Baghdad menjadi pusat kekhalifahan di samping
menjadi pusat kegiatan ilmu, falsafah dan peradaban.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran yang sedang
berkembang pesat, muncullah failasuf Arab atau failasuf Islam yaitu Abû Yusûf
Ya’qûb ibn Ishâq al-Kindî, disusul dengan munculnya failasuf dari Turki yaitu
Abû Nashr al-Fârâbî dan failasuf dari Persia yaitu Ibn Sînâ.
Sedangkan munculnya falsafah Islam di kawasan Maghribi
terlambat dua abad lamanya dibanding dengan kehadirannya di kawasan Masyriqi
(dunia Islam bagian Timur). Metoda yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku
hampir sama. Di kawasan Masyriqi gerakan penerjemahan dimulai dari buku-buku
ilmu pengetahuan, kemudian baru buku-buku falsafah. Demikian pula di kawasan
Maghribi, gerakan menuntut ilmu muncul lebih dulu, setelah itu baru falsafah.
Dalam suasana perkembangan ilmu seperti tersebut,
muncullah failasuf dari Andalusia bernama Ibn Bâjjah, setelah itu disusul
failasuf dari Cordova, Andalusia bernama Ibn
Thufail dan Ibn Rusyd. Mereka adalah sebagian failasuf terkemuka yang
meneruskan perjuangan falsafah Islam di kawasan Barat (Maghribi).
Falsafah Islam antara Timur dan Barat seringkali
terjadi pergolakan pemikiran di antara keduanya. Itu adalah hal yang wajar,
karena selain kebudayaan yang berbeda, mereka juga hidup pada masa yang berbeda
pula. Otomatis itu memengaruhi pemikiran antara failasuf masyriqi dan maghribi.
Perbedaan pendapat antara dua kubu tersebut misalnya tentang adanya Tuhan. Para failasuf (falâsifah) Arab mewarisi dua macam teori
khusus mengenai Tuhan dari para failasuf Yunani. Teori pertama dari
Aristoteles, yang menyebut Tuhan sebagai “penggerak yang tidak bergerak”, yakni
sebab pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Teori yang kedua adalah teori
Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah
“esa”, dan dari Yang Esa itu melimpahlah akal pertama kemudian jiwa.
Berdasarkan kedua teori diatas mengenai Tuhan, timbul perbedaan pendapat dari
para failasuf. Al- Kindî bersandar pada teori Islam mengenai keesaan Tuhan,
mengenai penciptaan dari ketiadaan. Lain halnya pendapat al-Fârâbî yang memertemukan
falsafah Aristoteles dengan falsafah Neo-Platonisme, bahwa Allah adalah “sumber
pertama” bagi seluruh alam wujud dan “sebab pertama” bagi eksistensinya.
Berbeda dengan failasuf Maghribi seperti Ibn Rusyd yang menempuh metoda lain
dalam menetapkan pembuktian tentang adanya Tuhan, karena ia sangat setia dan
jujur terhadap ajaran Aristoteles. Pendapat Ibn Rusyd mengenai Tuhan, bahwa
Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Dia adalah maha penggerak yang
tidak ada penggerak selain Dia. Pada dasarnya pendapat Ibn Rusyd sejalan dengan
syari‘at, yaitu bahwa Tuhan adalah pencipta.
Hubungan (jaringan) falsafah Islam antara Timur dan
Barat sangatlah erat meskipun sering kali terjadi benturan pendapat. Dijelaskan
bahwa, tradisi falsafah Islam Barat (Maghribi) bergantung pada tulisan-tulisan
para tokoh Islam Timur (Masyriqi): al-Fârâbî dan Ibn Sînâ (Avicenna). Bahkan
Ibn Thufail, pendukung utama falsafah Andalusia, menulis: “sebelum penyebaran
filsafat dan logika formal ke Barat, semua orang Andalusia
pribumi yang berkemampuan mencurahkan hidupnya pada matematika. Mereka dapat
meraih hasil tinggi dalam bidang itu, tetapi tidak bisa melakukan lebih
daripada itu. Generasi berikutnya melampaui mereka dalam bidang itu, tetapi
mereka kurang begitu mengenal logika. Akan tetapi, meskipun mereka belajar
logika sekeras mungkin, mereka tidak juga menemukan di dalamnya jalan kepada
pemenuhan kebutuhan ini.”[1]
Falsafah Islam antara masyriqi dan maghribi sebenarnya
saling melengkapi, meskipun sebelumnya penulis katakan ada pendapat yang
berbeda. Mereka sama-sama satu tujuan, yaitu menghendaki kebenaran. Kebenaran
agama dan falsafah tidak jauh beda, hanya jalan untuk mendapatkannya yang
berbeda. Agama menempuh jalan syari‘at, sedangkan falsafah menempuh jalan
metoda pembuktian. Mereka juga memiliki rujukan yang hampir sama antara
keduanya yaitu Aristoteles dan Plato atau Neo-Platonisme yang sedikit banyak
telah meresap ke pemikiran mereka (Masyriqi dan Maghribi).
Falsafah Islam antara Masyriqi dan Maghribi itu berbeda,
tetapi itu tidak berarti bahwa mereka berlainan dan berlawanan. Kalau ada
perbedaan, itu hanya mengenai cara dan jalan yang ditempuhnya. Cara yang
ditempuh para ahli fikir berbeda dengan para ahli tasauf. Mengingat bahwa
hakikat kebenaran itu adalah mengenal Tuhan, maka orang boleh saja menempuh
salah satu di antara dua cara yang telah disebutkan. Orang boleh menempuh jalan
semantik sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sînâ dalam menetapkan kepastian
adanya Tuhan (Wajibul Wujûd) dan boleh pula menempuh cara menggunakan
tanggap rasa sebagaimana yang ditempuh oleh tasauf. Ibn Sînâ mengatakan bahwa
“apabila kemauan dan latihan rohani telah sampai batas yang memungkinkan orang
mengetahui cahaya kebenaran, ia akan merasakan kelezatan sedemikian rupa
seolah-olah melihat pancaran kilat datang kepadanya kemudian memudar kembali”.
Ibn Thufail menanggapi pernyataan Ibn Sînâ itu dalam bukunya Hayy
ibn Yaqzhân bahwa keadaan yang disebut Ibn Sînâ itu tiada lain maksudnya
pastilah tanggap rasa, yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan teoritis
yang didasarkan pada ukuran-ukuran tertentu. Pada masa itu para failasuf Islam
di kawasan Maghribi (bagian Barat Dunia Islam) lebih condong pada pandangan
yang rasional daripada pengetahuan melalui tanggap rasa.
Itulah kisah falsafah Islam antara Masyriqi dan
Maghribi, yaitu suatu falsafah yang dimulai dengan mendukung ilmu pengetahuan,
mengakui peranan akal dan memersoalkan bagaimana manusia menafsirkan alam wujud
beserta segala rahasianya. Setelah berhasil menemukan hukum-hukumnya lalu
memersoalkan lagi bagaimana cara manusia menerapkannya dalam kehidupan untuk
mewujudkan kebahagiaan dan keindahan yang didambakan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam. Bandung :
Mizan
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus
[1]
Lihat: Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhân, penerj. L.E. Goodman (New York , 1972; c.u. Los
Angeles, 1990): hlm. 99
0 komentar:
Posting Komentar