Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Jaringan Falsafah Islam Antara Timur dan Barat


Oleh Daqoiqul Misbah

Sebelum penulis memaparkan jaringan atau hubungan falsafah Islam antara Timur dan Barat, penulis akan sedikit flash Back menjelaskan history adanya dua kubu tersebut (Masyriqi dan Maghribi). Falsafah Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan falsafah Islam di Maghribi (bagian Barat Dunia Islam). Di antara para failasuf Islam di kedua kawasan tersebut terjadi perselisihan pendapat tentang pelbagai pokok pengertian.
Di Timur sedikitnya terdapat tiga orang failasuf terkemuka, seperti al-Kindî, al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Di Barat juga sedikitnya terdapat tiga orang failasuf kenamaan, seperti Ibn Bâjjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd.
Adalah wajar jika falsafah Islam muncul lebih dulu di Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia, Syam dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifahan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus (Syam), sebuah kota yang dari segi politik menjadi pusat kekuasaan orang-orang Bani Umayyah. Setelah itu datanglah para penguasa Abbas yang menjadikan kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam. Sejak saat itu, Baghdad menjadi pusat kekhalifahan di samping menjadi pusat kegiatan ilmu, falsafah dan peradaban.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran yang sedang berkembang pesat, muncullah failasuf Arab atau failasuf Islam yaitu Abû Yusûf Ya’qûb ibn Ishâq al-Kindî, disusul dengan munculnya failasuf dari Turki yaitu Abû Nashr al-Fârâbî dan failasuf dari Persia yaitu Ibn Sînâ.
Sedangkan munculnya falsafah Islam di kawasan Maghribi terlambat dua abad lamanya dibanding dengan kehadirannya di kawasan Masyriqi (dunia Islam bagian Timur). Metoda yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku hampir sama. Di kawasan Masyriqi gerakan penerjemahan dimulai dari buku-buku ilmu pengetahuan, kemudian baru buku-buku falsafah. Demikian pula di kawasan Maghribi, gerakan menuntut ilmu muncul lebih dulu, setelah itu baru falsafah.
Dalam suasana perkembangan ilmu seperti tersebut, muncullah failasuf dari Andalusia bernama Ibn Bâjjah, setelah itu disusul failasuf dari Cordova, Andalusia bernama Ibn Thufail dan Ibn Rusyd. Mereka adalah sebagian failasuf terkemuka yang meneruskan perjuangan falsafah Islam di kawasan Barat (Maghribi).
Falsafah Islam antara Timur dan Barat seringkali terjadi pergolakan pemikiran di antara keduanya. Itu adalah hal yang wajar, karena selain kebudayaan yang berbeda, mereka juga hidup pada masa yang berbeda pula. Otomatis itu memengaruhi pemikiran antara failasuf masyriqi dan maghribi. Perbedaan pendapat antara dua kubu tersebut misalnya tentang adanya Tuhan. Para failasuf (falâsifah) Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan dari para failasuf Yunani. Teori pertama dari Aristoteles, yang menyebut Tuhan sebagai “penggerak yang tidak bergerak”, yakni sebab pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Teori yang kedua adalah teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah “esa”, dan dari Yang Esa itu melimpahlah akal pertama kemudian jiwa. Berdasarkan kedua teori diatas mengenai Tuhan, timbul perbedaan pendapat dari para failasuf. Al- Kindî bersandar pada teori Islam mengenai keesaan Tuhan, mengenai penciptaan dari ketiadaan. Lain halnya pendapat al-Fârâbî yang memertemukan falsafah Aristoteles dengan falsafah Neo-Platonisme, bahwa Allah adalah “sumber pertama” bagi seluruh alam wujud dan “sebab pertama” bagi eksistensinya. Berbeda dengan failasuf Maghribi seperti Ibn Rusyd yang menempuh metoda lain dalam menetapkan pembuktian tentang adanya Tuhan, karena ia sangat setia dan jujur terhadap ajaran Aristoteles. Pendapat Ibn Rusyd mengenai Tuhan, bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Dia adalah maha penggerak yang tidak ada penggerak selain Dia. Pada dasarnya pendapat Ibn Rusyd sejalan dengan syari‘at, yaitu bahwa Tuhan adalah pencipta.
Hubungan (jaringan) falsafah Islam antara Timur dan Barat sangatlah erat meskipun sering kali terjadi benturan pendapat. Dijelaskan bahwa, tradisi falsafah Islam Barat (Maghribi) bergantung pada tulisan-tulisan para tokoh Islam Timur (Masyriqi): al-Fârâbî dan Ibn Sînâ (Avicenna). Bahkan Ibn Thufail, pendukung utama falsafah Andalusia, menulis: “sebelum penyebaran filsafat dan logika formal ke Barat, semua orang Andalusia pribumi yang berkemampuan mencurahkan hidupnya pada matematika. Mereka dapat meraih hasil tinggi dalam bidang itu, tetapi tidak bisa melakukan lebih daripada itu. Generasi berikutnya melampaui mereka dalam bidang itu, tetapi mereka kurang begitu mengenal logika. Akan tetapi, meskipun mereka belajar logika sekeras mungkin, mereka tidak juga menemukan di dalamnya jalan kepada pemenuhan kebutuhan ini.”[1]
Falsafah Islam antara masyriqi dan maghribi sebenarnya saling melengkapi, meskipun sebelumnya penulis katakan ada pendapat yang berbeda. Mereka sama-sama satu tujuan, yaitu menghendaki kebenaran. Kebenaran agama dan falsafah tidak jauh beda, hanya jalan untuk mendapatkannya yang berbeda. Agama menempuh jalan syari‘at, sedangkan falsafah menempuh jalan metoda pembuktian. Mereka juga memiliki rujukan yang hampir sama antara keduanya yaitu Aristoteles dan Plato atau Neo-Platonisme yang sedikit banyak telah meresap ke pemikiran mereka (Masyriqi dan Maghribi).
Falsafah Islam antara Masyriqi dan Maghribi itu berbeda, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka berlainan dan berlawanan. Kalau ada perbedaan, itu hanya mengenai cara dan jalan yang ditempuhnya. Cara yang ditempuh para ahli fikir berbeda dengan para ahli tasauf. Mengingat bahwa hakikat kebenaran itu adalah mengenal Tuhan, maka orang boleh saja menempuh salah satu di antara dua cara yang telah disebutkan. Orang boleh menempuh jalan semantik sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sînâ dalam menetapkan kepastian adanya Tuhan (Wajibul Wujûd) dan boleh pula menempuh cara menggunakan tanggap rasa sebagaimana yang ditempuh oleh tasauf. Ibn Sînâ mengatakan bahwa “apabila kemauan dan latihan rohani telah sampai batas yang memungkinkan orang mengetahui cahaya kebenaran, ia akan merasakan kelezatan sedemikian rupa seolah-olah melihat pancaran kilat datang kepadanya kemudian memudar kembali”. Ibn Thufail menanggapi pernyataan Ibn Sînâ itu dalam bukunya ­Hayy ibn Yaqzhân bahwa keadaan yang disebut Ibn Sînâ itu tiada lain maksudnya pastilah tanggap rasa, yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan teoritis yang didasarkan pada ukuran-ukuran tertentu. Pada masa itu para failasuf Islam di kawasan Maghribi (bagian Barat Dunia Islam) lebih condong pada pandangan yang rasional daripada pengetahuan melalui tanggap rasa.
Itulah kisah falsafah Islam antara Masyriqi dan Maghribi, yaitu suatu falsafah yang dimulai dengan mendukung ilmu pengetahuan, mengakui peranan akal dan memersoalkan bagaimana manusia menafsirkan alam wujud beserta segala rahasianya. Setelah berhasil menemukan hukum-hukumnya lalu memersoalkan lagi bagaimana cara manusia menerapkannya dalam kehidupan untuk mewujudkan kebahagiaan dan keindahan yang didambakan.
Menurut Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani dalam bukunya Filsafat Islam mengatakan bahwa kisah falsafah Islam berakhir dengan mengasingkan ilmu pengetahuan dan cukup puas dengan menerima apa yang diberikan oleh para ahli pikir Islam yang telah menggoreskan ketetapan dan kesimpulan pemikirannya dalam lembaran buku-buku. Mereka tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berpikir merdeka dan mandiri mengikuti perkembangan zaman yang senantiasa meningkat. Akhirnya tahap demi tahap layar turun menutupi pentas sejarah kehidupan falsafah. Lambat laun umat terperosok ke dalam kefanatikan buta, dan kebodohan pun merajalela. Padahal kalau menilik pernyataan di awal bahwa dalam memelajari dan menerjemahkan buku-buku, para failasuf memprioritaskan ilmu pengetahuan dahulu baru falsafah, karena hampir semua failasuf menguasai berbagai ilmu pengetahun mulai dari kedokteran, matematika, kimia, dan sebagainya. Jadi, sangat sayang sekali jika dewasa ini ilmu pengetahuan diasingkan dalam memelajari falsafah.


DAFTAR PUSTAKA
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus



[1] Lihat: Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhân, penerj. L.E. Goodman (New York, 1972; c.u. Los Angeles, 1990): hlm. 99

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena