Oleh Daqoiqul Misbah
Sebelum penulis menjelaskan mengenai
“benarkah mistisisme sebagai tahap terakhir ilmu pengetahuan (sebagai tahap
puncak) dalam pencarian kebenaran”, terlebih dahulu akan dijelaskan makna
mistisime itu sendiri dalam konteks Islam, khususnya berkenaan dengan kekaburan
makna istilah itu dalam bahasa Inggris sekarang ini. Berbicara tentang
mistisisme Islam bisa kita dapat hanya jika kita memahami makna orisinil
istilah itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi.
Kita harus ingat
bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang
menjadi akar kata mysterion dan mistisisme.[1] Sedangkan
Mistisisme jika dilihat dalam kamus filsafat yaitu suatu pendekatan spiritual,
dan nondiskurtif kepada persekutuan jiwa dengan apa saja yang dipandang sebagai
realitas sentral alam.[2]
Lebih jauh lagi, mistisisme Islam yang
dipahami dalam pengetahuan seperti itu adalah jalan pengetahuan (al-ma’rifah)
yang dengannya unsur cinta terkait sesuai dengan struktur wahyu Islam, tetapi
mistisisme sentimental dan individualistik sangat jarang ditemukan di
lingkaran-lingkaran Kristen sejak Renaisans. Itulah sebabnya mengapa mistisisme
Islam mempunyai pertalian erat dengan falsâfah Islam selama berabad-abad.
Tetapi pada
kenyataanya banyak kritik dari para filosof Islam tentang hubungan antara mistisisme
Islam dengan falsâfah Islam, khususnya sejak abad ke-6-9 H/ ke 12-15 M. tetapi
pada akhirnya para failasuf periode terkemudian dapat menerima dan memasukkan
ke dalam rumpun spiritual yang sama dengan sufi, karena keduanya mempunyai
tujuan bersama ke arah pencapaian pengetahuan puncak. Al-kindî, misalnya,
mengatakan: tujuan failasuf dalam pengetahuan teoretisnya, yaitu untuk
mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktisnya adalah bertindak sesuai
dengan kebenaran.
Tetapi pada
kenyataannya, sejak Revolusi Ilmiah, falsâfah Barat kian menjadi budak sains
yang didasarkan pada data-data empiris yang ditarik dari indra-indra lahiriah.
Sebaliknya, falsâfah Islam menjadi makin terkait, bahkan lebih erat, dengan
hasil dari “cara mengetahui” lainnya yang didasarkan pada indra-indra dalam
(batiniah) dan terbukanya mata hati (‘ain al-qalb) yang dapat “melihat” dunia
tak kasatmata yang tak terlihat oleh mata lahiriah.
Pertalian
erat antara falsâfah dan tasawuf sesungguhnya menjadi ciri hampir semua falsâfah
Islam terkemudian. Karena keduanya mempunyai peran yang sama dalam pencarian
pengetahuan yang sesungguhnya. Yang mana pengetahuan itu tidak bisa didapat
secara instant, karena untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu kebenaran harus
melalui tahap-tahap tersendiri dan khusus. Ibn Sînâ sendiri dikatakan memulai
menapak pada jalan gnostik setelah dipengaruhi oleh pandangan kuat guru sufi
Abû Yûsuf Al-Hamadânî, yang mana beliau tidak sepenuhnya rasionalistik dalam
pandangannya tentang jiwa dan akal (intelek).
Mengenai
pencapaian pengetahuan, ada dua kelompok: pemilik pengetahuan teoretis, yaitu falâsifah;
dan pemilik pengetahuan hakiki dan maqâm, yaitu kaum sufi (gnostikus)
dan muhaqqiqûn, para hakîm (ahli hikmah) Islam yang
sebenarnya.[3] Perbedaan nyata kedua
kelompok itu adalah bahwa, sementara pemilik hâl (keadaan
spiritual) lebih mengacu pada pengetahuan dan pengalaman vertikal, pemilik qâl
(pengetahuan konseptual) lebih mengacu pada pengalaman horizontal dan informasi
rasional dan historis.
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam mencari
kebenaran, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba
Allah, juga merupakan utusan Allah di bumi. Pada dasarnya, pengetahuan tentang
jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan
kita terhadap pengetahuan akan dzat-Nya. Namun demikian, pengetahuan serta
perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga
akan mendatangkan secercah pengetahuan yang lebih mendalam akan Allah.
Ada tiga tahap pengetahuan tentang Al-Haqq.
Yang Pertama, adalah pengetahuan mengenai perbuatan dan perintah Tuhan
yang dapat diperoleh melalui jiwa. Yang Kedua, adalah pengetahuan
tentang sifat-sifat Tuhan yang dapat dicapai melalui jiwa Muhammad (Al-Nafs
Al-Muhammadiyah). Yang Ketiga, adalah pengetahuan tentang zat
Ilahi (al-dzât al-Îlâhiyyah) yang tak bisa dideskripsikan sama sekali.[4]
Pengetahuan menurun dari tahap-tahap yang lebih tinggi ke tahap-tahap yang
lebih rendah.
Lantas benarkah mistisime sebagai
tahap terakhir ilmu pengetahuan (sebagai tahap puncak) dalam pencarian
kebenaran?? Perlu diketahui bahwa
mistisisme bukanlah sebagai tahap terakhir ilmu pengetahuan dalam pencarian
kebenaran. Tetapi, mistisime termasuk dalam tahap-tahap pencarian kebenaran
yang hampir sempurna. Karena tahap yang paling akhir adalah seseorang yang
telah mencapai pada kebijaksanaan dan bisa dikatakan ârif. Kebijaksanaan adalah
pertanda para wali Tuhan yang sempurna, yang dimiliki hanya oleh “orang-orang
yang menyesali diri” (malâmiyyûn), orang-orang yang mempunyai
kesempurnaan paling tinggi. Karena, kebijaksanaan adalah meletakkan sesuatu
pada tempatnya yang semestinya.
Ârif itu menyaksikan sifat-sifat
Allah, dan bukannya Zat-Nya, oleh karena di dalam ma’rifat penghayatan dualisme
betapa pun kecilnya masih tetap ada, (pandangan dualis) ini baru lenyap di
dalam penghayatan fana’ al-fana’, yaitu lenyapnya kesadaran diri sepenuhnya di
dalam kesatuan dengan Tuhan. Tingkat tertinggi dari pada fana’ tercapai bila
kesadaran akan kefana’annya telah lenyap pula. Itulah yang oleh para sufi
dinamakan fana’ al-fana’ (fana dari kefanaannya). Sang sufi kini lebur dalam penghayatan Zat Allah.[5]
Dengan demikian sang sufi
penghayatannya menanjak terus ke arah yang lebih tinggi yang mereka sebut
ma’rifat, dan kemudian Hakikat, dalam mana pencari Tuhan jadi yang arif atau
ma’rifat, dan kemudian menghayati bahwa pengetahuan, yang mengetahui, dan yang
diketahui adalah satu (manunggal). Maka jelas bahwa, mistisisme bukanlah tahap
terakhir dalam pencarian kebenaran. Seperti konsep Syekh Siti Jenar, bahwa
tekanannya bukan pada materi, tetapi pada “cinta” dalam bentuk manunggaling
kawula klawan Gusti, tauhid al wujud, menyatunya hamba dan Tuhan. Dalam wujud
lahir, Siti Jenar menekankan pada bangkitnya kepribadian. Sehingga hidup tidak
hanya tampak hidup. Tetapi betul-betul hidup yang memiliki hak, kemandirian dan
kodrat.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. 2005. Kamus
Filsafat. Jakarta :
Gramedia
Chodjim, Achmad. 2002. Syekh Siti
Jenar. Jakarta :
PT. Serambi Ilmu Semesta
Nasr,
Seyeed Hossein dan
Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung : Mizan
Simuh. 2002. Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada
[1] Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 2003), cet. I, hlm. 459
[2] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta :
Gramedia, 2005), cet. IV, hlm. 653
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit., terj. Mahmud Erol Kilic, cet. II, hlm.
1264
[4] Ibid., hlm. 1269
[5]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002),
cet. II, hlm. 125
[6]
Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar, (Jakarta :
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), cet. I, hlm.
178
0 komentar:
Posting Komentar