Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Mistisisme


Oleh Daqoiqul Misbah

Sebelum penulis menjelaskan mengenai “benarkah mistisisme sebagai tahap terakhir ilmu pengetahuan (sebagai tahap puncak) dalam pencarian kebenaran”, terlebih dahulu akan dijelaskan makna mistisime itu sendiri dalam konteks Islam, khususnya berkenaan dengan kekaburan makna istilah itu dalam bahasa Inggris sekarang ini. Berbicara tentang mistisisme Islam bisa kita dapat hanya jika kita memahami makna orisinil istilah itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi.
Kita harus ingat bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar kata mysterion dan mistisisme.[1] Sedangkan Mistisisme jika dilihat dalam kamus filsafat yaitu suatu pendekatan spiritual, dan nondiskurtif kepada persekutuan jiwa dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam.[2]
Lebih jauh lagi, mistisisme Islam yang dipahami dalam pengetahuan seperti itu adalah jalan pengetahuan (al-ma’rifah) yang dengannya unsur cinta terkait sesuai dengan struktur wahyu Islam, tetapi mistisisme sentimental dan individualistik sangat jarang ditemukan di lingkaran-lingkaran Kristen sejak Renaisans. Itulah sebabnya mengapa mistisisme Islam mempunyai pertalian erat dengan falsâfah Islam selama berabad-abad.
            Tetapi pada kenyataanya banyak kritik dari para filosof Islam tentang hubungan antara mistisisme Islam dengan falsâfah Islam, khususnya sejak abad ke-6-9 H/ ke 12-15 M. tetapi pada akhirnya para failasuf periode terkemudian dapat menerima dan memasukkan ke dalam rumpun spiritual yang sama dengan sufi, karena keduanya mempunyai tujuan bersama ke arah pencapaian pengetahuan puncak. Al-kindî, misalnya, mengatakan: tujuan failasuf dalam pengetahuan teoretisnya, yaitu untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktisnya adalah bertindak sesuai dengan kebenaran.
            Tetapi pada kenyataannya, sejak Revolusi Ilmiah, falsâfah Barat kian menjadi budak sains yang didasarkan pada data-data empiris yang ditarik dari indra-indra lahiriah. Sebaliknya, falsâfah Islam menjadi makin terkait, bahkan lebih erat, dengan hasil dari “cara mengetahui” lainnya yang didasarkan pada indra-indra dalam (batiniah) dan terbukanya mata hati (‘ain al-qalb) yang dapat “melihat” dunia tak kasatmata yang tak terlihat oleh mata lahiriah.
            Pertalian erat antara falsâfah dan tasawuf sesungguhnya menjadi ciri hampir semua falsâfah Islam terkemudian. Karena keduanya mempunyai peran yang sama dalam pencarian pengetahuan yang sesungguhnya. Yang mana pengetahuan itu tidak bisa didapat secara instant, karena untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu kebenaran harus melalui tahap-tahap tersendiri dan khusus. Ibn Sînâ sendiri dikatakan memulai menapak pada jalan gnostik setelah dipengaruhi oleh pandangan kuat guru sufi Abû Yûsuf Al-Hamadânî, yang mana beliau tidak sepenuhnya rasionalistik dalam pandangannya tentang jiwa dan akal (intelek).
            Mengenai pencapaian pengetahuan, ada dua kelompok: pemilik pengetahuan teoretis, yaitu falâsifah; dan pemilik pengetahuan hakiki dan maqâm, yaitu kaum sufi (gnostikus) dan muhaqqiqûn, para hakîm (ahli hikmah) Islam yang sebenarnya.[3] Perbedaan nyata kedua kelompok itu adalah bahwa, sementara pemilik hâl (keadaan spiritual) lebih mengacu pada pengetahuan dan pengalaman vertikal, pemilik qâl (pengetahuan konseptual) lebih mengacu pada pengalaman horizontal dan informasi rasional dan historis.
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam mencari kebenaran, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Allah, juga merupakan utusan Allah di bumi. Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan dzat-Nya. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan yang lebih mendalam akan Allah.
            Ada tiga tahap pengetahuan tentang Al-Haqq. Yang Pertama, adalah pengetahuan mengenai perbuatan dan perintah Tuhan yang dapat diperoleh melalui jiwa. Yang Kedua, adalah pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan yang dapat dicapai melalui jiwa Muhammad (Al-Nafs Al-Muhammadiyah). Yang Ketiga, adalah pengetahuan tentang zat Ilahi (al-dzât al-Îlâhiyyah) yang tak bisa dideskripsikan sama sekali.[4] Pengetahuan menurun dari tahap-tahap yang lebih tinggi ke tahap-tahap yang lebih rendah.
            Lantas benarkah mistisime sebagai tahap terakhir ilmu pengetahuan (sebagai tahap puncak) dalam pencarian kebenaran?? Perlu diketahui bahwa mistisisme bukanlah sebagai tahap terakhir ilmu pengetahuan dalam pencarian kebenaran. Tetapi, mistisime termasuk dalam tahap-tahap pencarian kebenaran yang hampir sempurna. Karena tahap yang paling akhir adalah seseorang yang telah mencapai pada kebijaksanaan dan bisa dikatakan ârif. Kebijaksanaan adalah pertanda para wali Tuhan yang sempurna, yang dimiliki hanya oleh “orang-orang yang menyesali diri” (malâmiyyûn), orang-orang yang mempunyai kesempurnaan paling tinggi. Karena, kebijaksanaan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya yang semestinya.
            Ârif itu menyaksikan sifat-sifat Allah, dan bukannya Zat-Nya, oleh karena di dalam ma’rifat penghayatan dualisme betapa pun kecilnya masih tetap ada, (pandangan dualis) ini baru lenyap di dalam penghayatan fana’ al-fana’, yaitu lenyapnya kesadaran diri sepenuhnya di dalam kesatuan dengan Tuhan. Tingkat tertinggi dari pada fana’ tercapai bila kesadaran akan kefana’annya telah lenyap pula. Itulah yang oleh para sufi dinamakan fana’ al-fana’ (fana dari kefanaannya). Sang sufi kini lebur dalam penghayatan Zat Allah.[5]
            Dengan demikian sang sufi penghayatannya menanjak terus ke arah yang lebih tinggi yang mereka sebut ma’rifat, dan kemudian Hakikat, dalam mana pencari Tuhan jadi yang arif atau ma’rifat, dan kemudian menghayati bahwa pengetahuan, yang mengetahui, dan yang diketahui adalah satu (manunggal). Maka jelas bahwa, mistisisme bukanlah tahap terakhir dalam pencarian kebenaran. Seperti konsep Syekh Siti Jenar, bahwa tekanannya bukan pada materi, tetapi pada “cinta” dalam bentuk manunggaling kawula klawan Gusti, tauhid al wujud, menyatunya hamba dan Tuhan. Dalam wujud lahir, Siti Jenar menekankan pada bangkitnya kepribadian. Sehingga hidup tidak hanya tampak hidup. Tetapi betul-betul hidup yang memiliki hak, kemandirian dan kodrat.[6]      
               


DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Chodjim, Achmad. 2002. Syekh Siti Jenar. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Simuh. 2002. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada


[1] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I, hlm. 459
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), cet. IV, hlm. 653
[3] Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit., terj. Mahmud Erol Kilic, cet. II, hlm. 1264
[4]  Ibid., hlm. 1269
[5] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 125
[6] Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), cet. I, hlm.  178

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena