Oleh Daqoiqul Misbah
PENDAHULUAN
Perkembangan
pers di dunia ini sudah tidak bisa dielakkan lagi yang terus tumbuh bebarengan
dengan arus kehidupan yang semakin maju. Misalnya, di negara Swiss untuk
pertama kalinya secara akademis, Bucher memperkenalkan sekaligus mendirikan
pendidikan jurnalistik di Universitas Bazel, Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde.
Karl Bucher (1847-1930), adalah di antara orang yang berjasa dan ikut
membesarkan pers di Swiss hingga nama Bucher selalu melekat hampir dalam setiap
perbincangan tentang pers dan jurnalistik, khususnya dalam kerangka ilmu yang
dikembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan ataupun lembaga-lembaga
pelatihan.
Berbeda dengan
pers di Jerman, kerena kekuatan pengaruh publisistik ketika itu sudah mulai
nampak dan diperhitungkan. Peran-peran sosialnya mulai dimainkan sesuai dengan
karakteristik media, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
Bahkan pada tingkat tetentu, publisistik dinilai pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai media yang dapat memainkan peran-peran politik massa.
Fungsinya dieksploitasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan, sekaligus
untuk menindas kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengannya. Publistik tidak
lagi ditempatkan di tengah-tengah sebagai jembatan informasi antara rakyat dan
penguasa. Sehingga pada awal pertumbuhannya di Jerman, publisistik sebagai
“ilmu” sudah berhadapan dengan ideologi Nazisme yang memang sangat menguasai
peran-peran tersebut. Publisistik kemudian diselewengkan malalui penguasaan
fungsinya hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik Nazi.[1]
Di Amerika
Serikat, istilah publisistik hamir tidak dikenal sama sekali. Untuk memberikan
nama pada kegiatan persuratkabaran baik sebagai ilmu maupun sebagai kegiatan
penyebaran berita, orang Amerika lebih menyukai istilah journalism. Berawal
dengan terbitnya surat kabar yang pertama “Public Occurences Both Forreign and
Domestic” tahun 1690 oleh Benjamin Harris di Boston, jurnalistik terus
berkemabang dari masa ke masa. Akhirnya istilah tersebut lebih banyak dipakai
sampai sekarang. Jadi, jika di Eropa lebih dikenal dengan publisistik,
sedangkan di Amerika dikenal dengan istilah jurnalistik.
Di Indonesia,
sejarah persuratkabaran sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Tetapi pers
di Indonesia pada dasarnya digunakan sebagai alat perjuangan, karena melihat
kondisi Indonesia yang masih dijajah pada waktu itu, dan mungkin sampai
sekarang juga masih dijajah. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan pers di
Indonesia dan pers di Republik Rakyat Cina (RRC), simaklah pembahasan di bawah
ini.
PEMBAHASAN
Sebelum menganalisis pers Indonesia
dengan pers Barat khususnya RRC, perlu kiranya terlebih dahulu pembahasan mengenai
apa itu jurnalistik? Karena pers dengan jurnalistik seperti halnya dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hampir setiap hari kita bertemu dengan
surat kabar, tabloid, majalah, radio, televisi, dan sebagainya, yang memberikan
berbagai informasi kepada kita, entah itu informasi yang membahagiakan atau
justru menyakitkan. Kita kerap terhanyut, seperti mengalami sendiri berbagai
fenomena dan peristiwa secara langsung. Ada saatnya kita tertawa, tetapi ada
saatnya pula kita merasa sedih dan nestapa. Semua itu terjadi karena kekuatan
dahsyat bahasa jurnalistik. Lantas, apa sebenarnya yang disebut dan dimaksud
dengan jurnalistik?
Secara etimologis, jurnalistik berasal
dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan
atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan
yang berhubungan dengan pencatatan atau laporan setiap hari (Sumadiria:
2005:2). Dalam kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan,
mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah, atau berkala lainnya
(Assegaff, 1983:9). Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik
adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan
karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan
televisi (Kridalaksana, 1977:44).
F. Fraser Bond dalam An
Introduction to Journalism (1961:1) menulis: jurnalistik adalah segala
bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok
pemerhati. Roland E. Wolseley dalam Understanding Magazines (1969:3)
menyebutkan, jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan,
dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati hiburan umum secara
sistematik dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan
disiarkan di stasiun siaran (Mappatoto, 1993: 69-70).
Djen Amar menekankan, jurnalistik
adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak
seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Amar, 1984:30). Erik Hodgins, redaktur
majalah Time, menyatakan, jurnalistik adalah pengiriman informasi dari
sini ke sana dengan benar, saksama dan cepat, dalam rangka membela kebenaran
dan keadilan berpikir yang selalu dapat dibuktikan (Suhandang, 2004:23). Curtis
D. Mac Dougall dalam Interpretative Reporting menyebutkan, jurnalistik
adalah kegiatan mencari fakta, menghimpun berita, dan melaporkan peristiwa
(Kusumaningrat: 2005:15). Setelah memperhatikan dan menyelami pendapat para
pakar tersebut, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka
bisa ditarik sebuah pernyataan bahwa: secara teknis, jurnalistik adalah
kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan
menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan
secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3).[2]
Benjamin H. Day, pada tahun 1833, di
New York City, menerbitkan untuk pertama kalinya apa yang disebut penny
newspaper (surat kabar murah yang harganya satu penny). Di dalamnya
memuat berita-berita pendek yang ditulis dengan hidup, termasuk peliputan
secara rinci tentang berita-berita kepolisian untuk pertama kalinya.
Berita-berita human-interest dengan ongkos murah ini menyebabkan
bertambahnya secara cepat sirkulasi surat kabar tersebut. Kini di Amerika
Serikat beredar 60.000.000 eksemplar harian setiap harinya.
Bahasa yang digunakan jurnalistik
harus singkat, padat, sederhana, jelas lugas, tetapi selalu menarik.
Sifat-sifat seperti itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media
massa dinikmati oleh lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya.
Orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus
lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti
mengulang-ulang apa yang dibacanya kerena ketidakjelasan bahasa yang digunakan
dalam surat kabar itu (Anwar, 1991:2).
A.
Pengertian Pers
Setelah mengetahui apa itu
jurnalistik, sekarang pembahasan mengenai apa itu pers? Karena pers ini
digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang
berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik
maupun oleh wartawan media cetak.
Pers berasal dari kata Belanda pers
yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press
dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara
harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi
yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.
Berdasarka uraian di atas, ada dua
pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam arti
kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan
komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan
pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang
dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio,
televisi maupun internet.[3]
Pers merupakan salah satu kekuatan sosial
yang menjalankan kontrol secara bebas dan bertanggungjawab, baik terhadap
masyarakat maupun terhadap kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Efektifitas
pengaruhnya dapat dilihat pada bukti-bukti yang menyiratkan terjadinya
peristiwa luar biasa sebagai akibat dari perilaku pers, baik akibat positif
maupun negatif. Kisah kemenangan Jimmy Carter di Amerika, popularitas politik
Saddam Hussein di Irak, rontoknya pemerintahan Orde Baru di Indonesia, semuanya
tidak terlepas dari peran-peran sosial politik yang dimainkan pers. Oleh karena
itu, di beberapa negara yang berhaluan demokrasi liberal, pers sering disebut
sebagai pengawas alias penjaga demokrasi.
Hingga saat ini pers tetap mendapat
julukan the fourth estate setelah tiga lembaga kekuasaan lainnya yang berputar dalam proses
pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika tiga lembaga yang
disebutkan terakhir ini mampu mengendalikan massa karena kekuasaan formalnya,
maka pers mampu memengaruhi massa karena daya persuasinya yang kuat dan
pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Sebutan ini terutama didasarkan pada
kenyataan bahwa, pengaruh pers pada masyarakat seringkali menunjukkan dampak
yang lebih besar. Menurut Graber, hal ini terjadi karena media mampu menawarkan
model-model perilaku. Bahkan di beberapa negara Barat, pada perjalanan
sejarahnya, pers pernah menempati tempat yang paling berkuasa, lebih berkuasa
dari pada lembaga-lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Pers Amerika dan Inggris, misalnya,
untuk selama kurang lebih dua ratus tahun menganut teori pers liberal, yakni
pers yang bebas dari pengaruh pemerintah. Teori tersebut mengasumsikan bahwa
kebenaran bukan lagi monopoli penguasa. Manusia tidak bisa dianggap sebagai
benda mati yang dapat diperlakukan secara bebas. Ia memiliki hak untuk mencari
dan mendapatkan kebenaran sendiri. Dan, dalam kerangka itulah pers dianggap
sebagai partner yang juga memiliki independensi yang utuh untuk mencari
kebenaran. Pers menjadi bagian yang penting dari kehidupannya, menjadi perabot
rumah tangga yang harus hadir setiap saat. Bahkan lebih luas lagi, melalui
pers, masyarakat ingin mengetahui kehidupan yang sesungguhnya, ingin
berkomunikasi dengan lingkungannya sendiri, dan ingin menemukan eksistensi
dirinya sebagai makhluk yang sempurna.[4]
Perintis pers di negara-negara
berkembang, umumnya adalah mereka yang juga ikut aktif berjuang melepaskan
negerinya dari belenggu penjajahan. Seperti halnya Indenesia, di banyak negara
Afrika, misalnya, tokoh pergerakan kemerdekaan adalah juga perintis pers di
negerinya. Sehingga mudah dipahami, apabila pers di nergara-negara yang sedang
berkembang atau di negara Dunia Ketiga, paling kritis terhadap konsep-konsep
pers Barat yang mereka nilai kurang cocok bagi upaya pembangunan di negara yang
baru melepaskan diri dari kolonialisme. Konsep pers Barat yang acapkali melihat
persoalan secara hitam-putih, dianggap kurang memberikan inspirasi bagi rakyat
Dunia Ketiga untuk mengejar ketertinggalan mereka. Padahal, wartawan di Dunia
Ketiga diandalkan bertugas mengangkat cermin agar masyarakatnya dapat melihat
diri mereka sendiri. Wartawan Dunia Ketiga adalah pemimpin dalam mengubah
pandangan pembaca.[5]
Dilihat dari sisi fungsinya, pers
memang memiliki fungsi, antara lain, untuk mempengaruhi (to influence).
Masyarakat pembaca, pendengar, atau pun pemirsa, dapat dengan amat halus
digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk menanamkan sikap pro ataupun
kontra terhadap suatu objek, menumbuhkan kebencian, memupuk persahabatan,
meningkatkan suhu peperangan, bahkan mungkin untuk meretes jalan menuju
perdamaian, pers dapat memainkan peranannya sebagai suatu kekuatan yang
independen. Pers telah, dan tampaknya akan tetap, dijadikan media untuk
menyampaikan pesan-pesan politik khususnya dalam usaha mempengaruhi publik.
Karena itu, tidak heran jika tiga
lembaga kekuasaan – eksekutif, legislatif dan yudikatif – dalam memainkan
perannya, seringkali menggunakan kendaraan pers sebagai alat yang efisien. Atau
mungkin juga lembaga-lembaga itu memiliki media massa sendiri yang secara bebas
dapat membawakan his master’s voice. Dengan demikian, karena
fungsi-fungsi inilah tampaknya mengapa pers tetap memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat, sekaligus menempati peringkat keempat dalam urutan
kekuasaan sosial yang ikut menentukan arah mobilitasnya. Efektifitas media
dalam mempengaruhi masyarakat bukan saja karena ia tidak menuntut adanya unsur
pembiayaan yang relatif besar, tetapi juga karena kecepatannya dalam
menyebarkan informasi ke setiap pelosok daerah secara efisien.
B.
Teori Empat Pers
Pers dapat bertahan sampai sekarang di
berbagai negara bukan berarti serta merta berdiri sendiri tanpa adanya sesuatu yang menguatkan. Maka
dari itu, para jurnalis membutuhkan teori-teori pers agar bisa bertahan
menghadapi segala guncangan yang ada. Hingga saat ini, teori pers yang masih
berlaku dijalankan ada empat teori pers, misalnya, bangsa Amerika yang menganut
teori liberalistis[6]
berlainan dengan teori pers yang dianut Cina atau Uni Soviet yang bersifat
komunistis sebelum negara tersebut dilebur menjadi Rusia pada tahun 1991.
Sedangkan teori pers yang dianut Indonesia yang sistem politiknya (sekarang)
demokratis berlainan dengan teori pers yang dianut Myanmar yang militeristis.
Pembahasan mengenai teori pers,
terdapat dalam sebuah buku klasik yaitu Four Theories of the Press
(Empat Teori tentang Pers) yang ditulis Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan
Wilbur Schramm yang diterbitkan oleh Universitas Illinois pada tahun 1956.
Four Theories of the Press yang
memiliki pengaruh besar di dunia pers memaparkan pandangan normatif Siebert dan
kawan-kawan tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe
masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah bahwa “pers selalu mengambil bentuk dan
warna struktur sosial dan politik di mana ia beroperasi.” Dan, berdasarkan
sistem-sistem sosial dan politik yang berlaku di dunia pada waktu itu, maka
dikembangkanlah “empat teori tentang pers” tersebut.
Empat teori pers yang dipaparkan dalam
buku Four Theories of the Press, yaitu:
1.
Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter), yang diakui sebagai teori pers paling tua,
berasal dari abad ke-16. Penetapan tentang hal-hal “yang benar” dipercayakan
hanya kepada segelintir “orang bijaksana” yang mampu memimpin. Jadi, pada
dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Pers harus mendukung
kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Prinsip ini adalah bahwa
negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai
kehidupan sosial. Bagi seorang individu, hanya dengan menempatkan diri di bawah
kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya
dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab.[7]
2.
Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) yang mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam
teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan
antara yang benar dan yang tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian
kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa pers
mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.
“The
Fourth Estate” atau “Pilar
Kekuasaan Keempat” sebutan terhadap pers setelah kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers
libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali
pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki
kesempatan yang sama umtuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat
dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.
Teori
pers bebas atau teori libertarian ini memang paling banyak memberikan landasan
kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga
paling banyak memberikan informasi, paling banyak memberikan hiburan, dan
paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, di balik paling banyak dalam ketiga
segi itu, pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum
dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers
semacam ini memang terdapat sedikit sekali pembatasan-pembatasan serta
aturan-aturan yang membatasi. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah
untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Pers semacam
ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan
masyarakat.
3.
Social Responsibility Theory (Teori Pers
Bertanggung Jawab Sosial) dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip
teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Teori pers
libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan
internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertangggungjawab sosial
yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab
sosialnya ini diformulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan
“Commission on the Freedom of the Press” yang diketahui oleh Robert Hutchins.[8]
Selanjutnya
komisi yang terkenal dengan sebutan Hutchins Commision ini mengajukan 5
prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat.
Lima prasyarat tersebut adalah:[9]
a.
Media
harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,
lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
b.
Media
harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
c.
Media
harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok
konstituen dalam masyarakat.
d.
Media
harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
e.
Media
harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi
pada suatu saat.
Teori pers bertanggungjawab sosial ini relative merupakan teori
baru dalam kehidupan pers di dunia, dan tidak seperti teori pers bebas
libertarian, teori ini memungkinkan dimilikinya tanggungjawab oleh pers. Dengan
teori ini juga pers memberikan banyak informasi dan menghikpun segala gagasan
atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.
4.
The Soviet Communist Theory
(Teori Pers Komunis Soviet) baru tumbuh dua tahun setelah Revolusi Oktober 1917
di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau authoritarian theory.
Sistem pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara
pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya
terjadi dalam kehidupan komunis. Sebab itu, di negara-negara tersebut tidak
terdapat pers bebas, yang ada hanya pers pemerintah. Segala sesuatu yang
memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh para pejabat
pemerintah sendiri. Dengan bubarnya negara Uni Republik Sosialis Soviet pada 25
Desember 1991 yang kini menjadi Negara Persemakmuran, negara tersebut sekarang
telah melepaskan sistem politik komunisnya. Dengan demikian, kini teori pers
komunis praktis hanya dianut oleh RRC karena negara yang dulu berada dibawah
payung kekuasaan Uni Soviet pun sekarang ini hampir semua melepaskan sistem
politik komunisnya.
Perbedaan dengan teori pers lainnya adalah:
1.
Dihilangkannya
motif profit (yakni prinsip untuk menutup biaya) pada media
2.
Menomorduakan
topikalitas (topikalitas adalah orientasi pada “apa yang sedang ramai
dibicarakan”)
3.
Jika
dalam teori pers penguasa orientasinya semata-mata pada upaya mempertahankan “status-quo”,
dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah perkembangan dan perubahan
masyarakat (untuk mencapai tahap kehidupan komunis).[10]
C.
Pers Di Indonesia
Berdasarkan
penjelasan di atas mengenai teori Empat Pers, lalu teori manakah yang digunakan
pers Indonesia sekarang ini?
Sejak
proklamasi kemerdekaan – 17 Agustus 1945 – sampai ketika Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk “kembali ke UUD-45”, pers
kita selama itu pada dasarnya diselenggarakan dengan sistem yang mirip-mirip
sistem Barat, sekalipun pada awalnya sebagai “pers perjuangan” mendapat banyak
bantuan dari pihak pemerintah.
Setelah
Dekrit tersebut, lembaga Surat Izin Tjetak (SIT) merupakan yang pertama kalinya
dipakai di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dewan pada prinsipnya
menolak karena, “Kebebasan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang
tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tak dapat
dihalangi.
Selama
rezim Soekarno itu pers Indonesia seakan-akan menganut sistem pers
bertanggungjawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem
pers otoriter terselubung. Berita tidak lagi semata-mata harus menarik tetapi
harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan
revolusi nasional. Di samping diberlakukannya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak),
pembredelan dan pemberangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan
pers yang tidak sejalan dengan politik pemerintah.
Selama
pemerintahan Orde Lama di bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan
pers benar-benar dipasung. Kebebasan pers hanya merupakan angan-angan, surat
kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Berita yang
disuguhkan semuanya bernuansa politik yang dianggap menguntungkan pemerintah,
karena jika tidak berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam
keselamatan negara, atau subversif.
Pada
1 Oktober 1965, sehari setelah peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S),
Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan
kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967. Lagi-lagi pers
Indonesia di bawah rezim Orde Baru, tetap menjalankan sistem pers otoriter.
Bedanya kalau masa Orde Lama menerapkan sistem pers otoriter yang terselubung,
sedangkan masa Orde Baru justru menerapkan sistem pers otoriter yang
terang-terangan. Pers Indonesia selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru
Soeharto masih tetap terbelenggu ke dalam kegelapan, yang mana para jurnalis
tidak bisa bergerak secara leluasa seperti yang diinginkan, yaitu, sesuai
dengan sistem pers liberal (demokrasi). Di bawah rezim Orde Baru ini,
pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang keras
sekeras pemerintah rezim sebelumnya.
Dilengserkannya
Soeharto dari kursi kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998, bangsa Indonesia mulai
memasuki era reformasi, yang mana sistem pers Indonesia pun kembali ke
keadaannya pada era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak merupakan
masa kebebasan berpikir yang tidak dibarengi rambu-rambu sensor, izin-izin,
atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di
Jakarta.[11]
Suasana
reformasi sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma para petinggi negara
tentang arti kebebasan mengeluarkan pendapat. B.J. Habibie yang pada 21 Mei
1998 itu menggantikan Soeharto sebagai presiden boleh dikatakan merupakan
Presiden RI pertama yang giat membuka pintu-pintu demokrasi. Pada masa
pemerintahan beliau undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers dicabut,
termasuk pencabutan peraturan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),
sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No. 40 th. 1999 yang menjamin adanya
kebebasan pers, bahkan dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa
pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people’s
right know) karena hak memperoleh informasi itu, demikian bunyi butir (b)
konsiderannya, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki.[12]
Sejak
itu, pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika negara kita menganut sistem
demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, yaitu sistem pers liberal Barat.[13]
Bahkan bisa dikatakan bahwa sistem pers di Indonesia era reformasi ini
sedemikian bebasnya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa pers kita sudah
tidak lagi terikat oleh etika dan rasa tanggungjawab atas kepentingan
masyarakatnya. Padahal di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, pers liberal
sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 dan kini negara itu bahkan menganut sistem
pers yang bertanggungjawab sosial.
D.
Pers Di Republik Rakyak Cina (RRC)
Teori
pers Komunis yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Republik Rakyat Cina
(RRC) bertolak belakang dengan teori pers libertarian, karena kerangka dan
proyeksinya memang sudah berlawanan. Jika dibandingkan teori pers di Indonesia
dengan teori pers di RRC, keduanya tidak akan pernah bisa ditemukan.
Orang-orang Indonesia yang sekarang merasa dianugerahi dengan persnya yang
bebas, dan cenderung bersimpati kepada rekan mereka dari RRC yang menderita di
bawah sistem pemilikan oleh negara, penyensoran, dan propaganda. Sedangkan di
lain pihak, orang-orang Cina mengaku bahwa dia-lah yang diberkati dengan
satu-satunya kebebasan pers yang sebenarnya, sementara rekannya dari Indonesia
yang malang dipaksa melayani sistem pers yang mata-duitan, dikontrol oleh
kepentingan-kepentingan tertentu, korup, dan tidak bertanggungjawab.
Maka,
dengan tujuan penulisan ini kita akan menganalisis lebih jauh mengenai teori
komunikasi massa Republik Rakyat Cina (RRC) sekarang ini, yang mana akan kita
lacak mulai dari asal-muasal pemikiran orang-orang Cina yang merujuk pada
negara Soviet, Karl Marx. Jelas bahwa Marx menyumbangkan sebuah pandangan umum
dan paling tidak ada tiga perangkat pemikiran yang selama ini telah menjadi
landasan bagi segala yang dibangun oleh pengikut-pengikutnya dari Soviet.
Warisan
Marx ini menjadi benar-benar penting di tangan orang Rusia, orang-orang yang
oleh Carlyle dikatakan punya bakat unggul sebagai orang yang patuh, dan yang
terbiasa dengan kekuasaan karena sudah mengalaminya berabad-abad. Cita-cita
persatuan dan generalitas yang datang dari Marx jelas sekali berkaitan dengan
kebijaksanaan-tekanannya Soviet, kebiasaan Komunis yang tidak peduli, atau
mencari alasan untuk menghilangkan, tanda-tanda konflik, dan semangat
agitator-agitator Komunis yang mirip pengabar-Injil giatnya. Jika dikaitkan
dengan orang Indonesia bahwa masyarakat harus dan sebaiknya mempunyai ide-ide
dan nilai-nilai yang berbeda, dan dengan demikian menggalakkan seni
bermusyawarah serta pemerintahan mayoritas; orang-orang Cina biasa berpikiran
bahwa orang-orang seharusnya tidak punya pandangan yang berbeda-beda, bahwa
musyawarah itu tandanya kelemahan, bahwa hanya ada satu pandangan yang benar
yang dapat ditemukan dalam interpretasi Marxisme, dan yang harus dipertahankan,
disebarkan, dan digalakkan.
Marx
merasa bahwa revolusi-revolusi ini bukanlah revolusi yang sesungguhnya, karena
itu semua adalah revolusi politik bukan revolusi sosial; hasilnya adalah
perubahan kekuatan yang berkuasa, bukan perubahan sosial yang mendasar.
Perubahan yang belakangan ini, menurut Marx, akan datang dari penentangan kelas
pekerja (antitesis) terhadap kelas borjuis (tesis), dengan hasil kemenangan
bagi kelas pekerja dan terbentuknya sebuah masyarakat baru tanpa kelas
(sintesis). Marx tidak menjelaskan, apakah proses perubahan dialektika ini akan
berhenti sampai masyarakat tanpa kelas, atau terus berlanjut. Yang lebih
penting, adalah perbedaan antara pandangan Marx dengan Hegel mengenai sifat
dialektika.[14]
Karena, Marx membuat dialektika itu realistis, bukan idealistis.
Walaupun
Marx tidak pernah secara langsung memperhatikan masalah komunikasi massa,
dasar-dasar tindakan Soviet (rujukan pers di RRC) dalam bidang ini tetap pada
apa yang telah kita bicarakan di atas. Satu hal yang jelas, konsep Marxis
tentang persatuan dan pembedaan secara jelas-jelas antara kebenaran dengan ketidakbenaran,
tidak memungkinkan pers berfungsi sebagai Lembaga Keempat yang bebas mengkritik
pemerintah dan bertindak sebagai sebuah forum diskusi bebas. Melainkan, pers
komunis dianggap sebagai alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan
kebijakan-kebijakan kelas pekerja atau partai militan. Sekali lagi, jelas dari
apa yang ditulis Marx tentang determinisme materialistik, bahwa ia merasa
kontrol terhadap pers akan dipegang oleh mereka yang mempunyai
kemudahan-kemudahannya – para pencetaknya, penerbit, stasiun-stasiun siaran.
Memahami
situasi Cina sekarang ini dengan semata-mata berdasarkan Marxisme jelas tidak
mungkin. Lagipula, haruslah ditekankan komunikasi massa di Cina sudah
berkembang, dalam periode yang telah dibicarakan, sebagai bagian integral dari
negara Cina sendiri. Dalam sistem Soviet, tidak ada teori komunikasi dan teori
negara; hanya ada satu teori. Pemikiran Soviet sangat jauh berbeda dari konsep
pers sebagai Lembaga Keempat yang mengawasi dan melaporkan serta mengkritik
tiga lembaga lainnya. Seperti itulah pers di RRC sekarang ini. Sejak dimulainya
revolusi kaum proletar, komunikasi massa masih dianggap sebagai alat. Lenin-lah
yang menyatakan bahwa surat kabar harus menjadi sebuah “propagandis kolektif,
agitator kolektif……organisator kolektif” (102:4, 114). Dengan demikian media
adalah alat yang dikontrol negara (yang mewakili rakyat) melalui kontrol terhadap
kemudahan material komunikasi; dus, media swasta sudah lenyap di awal-awal
sejarah Soviet. Media harus digunakan sebagai alat untuk menyampaikan “sang
kata” seperti yang telah diinterpretasikan di Kremlin. Media harus digunakan
sebagai alat perubahan sosial dan kontrol sosial, dalam sebuah kerangka
referensi yang erat-bersatu, dan dibuat denga teliti. Pada akhirnya, media
harus menjadi alat untuk tujuan-tujuan yang serius. Dengan kata lain, media
Soviet telah tumbuh untuk mencerminkan ideologi resmi Soviet, negara Soviet dan
“kepribadian ideal” Soviet.[15]
Menurut pandangan resmi RRC, pers
mereka merupakan sebuah eksperimen raksasa untuk menciptakan “pers rakyat”,
yang dimiliki dan dikontrol oleh wakil-wakil rakyat, dan digunakan untuk
membangun masyarakat yang lebih baik bagi rakyat dengan “Satu Modal Yang
Benar”. Menurut pandangan orang Amerika (dan mungkin juga pandangan
terselubungnya para pemimpin Soviet) pers Cina sekarang ini merupakan pers yang
erat terkontrol, bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk melakukan sesuatu
kepada mereka. Bukan untuk membiarkan mereka memilih dan mengambil keputusan,
melainkan untuk membuat keputusan bagi mereka dan meyakinkan mereka tanpa memberi
kesempatan memilih keputusan yang lain.
Seperti halnya di Eropa dan Asia,
media siaran di Uni Soviet merupakan sebuah sistem raksasa. Ada sekitar 15 juta
pesawat radio penerima dimiliki orang-orang Soviet, termasuk di dalamnya
pesawat yang memakai kristal, dan sejumlah stasiun-stasiun nasional maupun
regional cukup untuk melayani itu semua. Sayang, negara tersebut sekarang sudah
tidak memakai sistem pers komunis seperti yang sering digembar-gemborkan.
Kedua
konsep dan sistem ini sangat berbeda, sehingga sulit bagi orang yang tumbuh di
kedua sistem ini untuk mencari kesamaan. Filsafat yang mendasari kedua sistem
ini sangat berbeda – di satu pihak, determinisme materialistik Marxis dan
perjuangan kelas; di lain pihak, filsafat rasionalistis dan hak-hak asasi dari
Jerman Terang. Konsep-konsep mereka tentang manusia sangat berbeda – di situ
pihak manusia sebagai sebuah massa, dapat ditundukkan, tidak penting,
memerlukan kepemimpinan Promothean; di lain pihak, manusia dianggap berakal,
dibeda-bedakan, mampu dengan sempurna untuk dengan sendirinya berbelanja di
“pasar ide bebas”. Tentu saja konsep mereka tentang pengawasan menjadi berbeda
– di satu pihak kontrol ekstrim dan menyeluruh melalui pemilikan, keanggotaan
Partai, pengarahan-pengarahan, penyensoran, penilaian, kritik, dan
ancaman-ancaman; di lain pihak, dengan proses pelurusan diri di dalam pasar ide
yang bebas, dengan pengawasan pemerintah sekecil mungkin. Di satu pihak ada
penekanan pada tanggungjawab; di lain pihak, pada kebebasan. Dan perbedaan dalam
konsep-konsep dasar dengan jelas dapat terlihat pada gambaran, di mana kedua
sistem berderap maju membawa panji-panji “kebebasan”, walaupun istilah ini
diartikan berlainan.[16]
Tetapi
jika kita harus memilih dua perbedaan dari daftar panjang di atas, dan meletakkannya
pada akhir tulisan ini, saya rasa kita harus memilih yang dua ini.
Pertama,
perbedaan dasar antara tradisi Cina (yang merujuk pada Soviet) dengan Indonesia
(yang merujuk pada sistem di Amerika) merupakan perbedaan antara Marx dan Mill.
Keduanya memikirkan sebanyak mungkin kebaikan untuk sebanyak mungkin orang.
Tetapi Marx bermaksud meningkatkan kehidupan manusia dengan meningkatkan masyarakatnya
– sebenarnya, bermaksud menggunakan manusia sebagai mesin untuk meningkatkan
masyarakat agar manusianya meningkat. Sebaliknya Mill bermaksud menigkatkan
masyarakat dengan meningkatkan manusianya dulu. Jadi di dalam dua tradisi ini
kita melihat dua konsep yang paralel tapi bertentangan.
Kedua,
komunikasi massa di Cina pada dasarnya sebuah instrumen yang dimainkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan pengarahan sekelompok kecil
pemimpin Promethean. Sedangkan dalam Indonesia, komunikasi massa merupakan
sebuah jasa dan bukan instrumen, yang digunakan bukan untuk tujuan yang telah
ditetapkan melainkan sebagai suara masyarakat serta kebutuhan, kepentingan,
selera, dan pemikiran-pemikiran masyarakat, sebagaimana yang dilihat dan
diinterpretasikan oleh para pemilik dan pengelola media massa dengan tujuan
menjual sebuah produk yang bermanfaat. Bagi orang-orang Cina, kualitas
multiarah keterbukaan, kritik, dan konflik tak terbatas dalam media Indonesia
sehingga memperlihatkan kelemahan daya tahan negara Indonesia. Sedangkan bagi
orang Indonesia, justru itulah kekuatan kita. Pada decade-dekade yang akan
datang, dapat dilihat pandangan siapa yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2007. Jurnalistik
Teori dan Praktik. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Muhtadi, Asep Saeful. 1999. Jurnalistik Pendekatan Teori dan
Praktik. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu
Siebert, Fred S., Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat
Teori Pers, PT. Intermasa
Sumadiria, AS Haris. 2008. Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis
Penulis dan Jurnalis. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
[1] Asep Saeful
Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu, 1999), cet. I, hlm. 17
[2] AS Haris
Sumadiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), cet. II, hlm. 4-5
[3]
Hikmat
Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. III, hlm. 17
[4]
Asep Saeful Muhtadi,
Opcit., hlm. 48-49
[5] Hikmat
Kusumaningrat, Opcit, hlm. 11
[6] Pengertian
liberalistis dalam konteks Amerika di sini jangan dicampuradukkan dengan paham
libertarian. Pers liberal dalam pengertian libertarian atau bebas tanpa batas
sudah ditinggalkan AS sejak tahun 1956 dengan terbitnya buku The Four
Theories of the Press oleh F. Siebert dkk.
[7] William L.
Rivers, Wilbur Schramm, dan Clifford G. Christians, Responsibility in Mass
Communication, Third Edition, Harper & Roww, Publishers, New York,
1980.
[8] Hikmat
Kusumaningrat, Opcit, hlm. 19 - 21
[9] John C.
Merril, Journalism Ethics – Philosophical Foudations for News Media,
St. Martin’s Press, New York, 1997
[10]
Hikmat
Kusumaningrat, Opcit, hlm. 24
[11] Ini disebabkan
oleh kebijakan “bunuh diri” Pimpinan PWI Cabang Jakarta waktu itu yang
mengusulkan kepada PImpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya)
agar diberlakukan izin terbit bagi penerbitan pers. Pada waktu itu memang PWI
merasa “terganggu” dengan bermunculannya secara bebas penerbitan-penerbitan
pers yang mencari untung dengan menyiarkan berita-berita dan tulisan-tulisan
tentang seks, pembunuhan, gossip, dan sebagainya yang kelewat batas.
[12] Hikmat Kusumaningrat, Opcit, hlm. 37
[13]Demokrasi
Parlementer didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950. (Periode
demokrasi parlementer ini secara formal berlaku dari pertengahan tahun 1950
sampai kita kembali ke UUD 1945 yang diberlakukan dengan Dekrit Presiden
Soekarno pada 5 Juli 1959.)
[14] Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur
Schramm, Empat Teori Pers, PT. Intermasa, hlm. 125
[15]
Fred S. Siebert,
dkk., Opcit., hlm. 134
[16]
Fred S. Siebert,
dkk., Opcit., hlm. 168-169
Terima kasih materinya gan misbah, mantap dan berguna tentang bagaimana seharusnya kita memimpin
BalasHapusthanks bro
admin
Macam macam kepemimpinan dan fungsinya
dan juga baca tulisan saya yang ini Pengertian kepemimpinan thanks for this