Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Minggu, 15 April 2012

ANALISIS PERS INDONESIA DENGAN PERS REPUBLIK RAKYAT CINA



Oleh Daqoiqul Misbah

PENDAHULUAN
Perkembangan pers di dunia ini sudah tidak bisa dielakkan lagi yang terus tumbuh bebarengan dengan arus kehidupan yang semakin maju. Misalnya, di negara Swiss untuk pertama kalinya secara akademis, Bucher memperkenalkan sekaligus mendirikan pendidikan jurnalistik di Universitas Bazel, Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde. Karl Bucher (1847-1930), adalah di antara orang yang berjasa dan ikut membesarkan pers di Swiss hingga nama Bucher selalu melekat hampir dalam setiap perbincangan tentang pers dan jurnalistik, khususnya dalam kerangka ilmu yang dikembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan ataupun lembaga-lembaga pelatihan.

Berbeda dengan pers di Jerman, kerena kekuatan pengaruh publisistik ketika itu sudah mulai nampak dan diperhitungkan. Peran-peran sosialnya mulai dimainkan sesuai dengan karakteristik media, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Bahkan pada tingkat tetentu, publisistik dinilai pihak-pihak yang berkepentingan sebagai media yang dapat memainkan peran-peran politik massa. Fungsinya dieksploitasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan, sekaligus untuk menindas kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengannya. Publistik tidak lagi ditempatkan di tengah-tengah sebagai jembatan informasi antara rakyat dan penguasa. Sehingga pada awal pertumbuhannya di Jerman, publisistik sebagai “ilmu” sudah berhadapan dengan ideologi Nazisme yang memang sangat menguasai peran-peran tersebut. Publisistik kemudian diselewengkan malalui penguasaan fungsinya hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik Nazi.[1]
Di Amerika Serikat, istilah publisistik hamir tidak dikenal sama sekali. Untuk memberikan nama pada kegiatan persuratkabaran baik sebagai ilmu maupun sebagai kegiatan penyebaran berita, orang Amerika lebih menyukai istilah journalism. Berawal dengan terbitnya surat kabar yang pertama “Public Occurences Both Forreign and Domestic” tahun 1690 oleh Benjamin Harris di Boston, jurnalistik terus berkemabang dari masa ke masa. Akhirnya istilah tersebut lebih banyak dipakai sampai sekarang. Jadi, jika di Eropa lebih dikenal dengan publisistik, sedangkan di Amerika dikenal dengan istilah jurnalistik.
Di Indonesia, sejarah persuratkabaran sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Tetapi pers di Indonesia pada dasarnya digunakan sebagai alat perjuangan, karena melihat kondisi Indonesia yang masih dijajah pada waktu itu, dan mungkin sampai sekarang juga masih dijajah. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan pers di Indonesia dan pers di Republik Rakyat Cina (RRC), simaklah pembahasan di bawah ini.

PEMBAHASAN
          Sebelum menganalisis pers Indonesia dengan pers Barat khususnya RRC, perlu kiranya terlebih dahulu pembahasan mengenai apa itu jurnalistik? Karena pers dengan jurnalistik seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hampir setiap hari kita bertemu dengan surat kabar, tabloid, majalah, radio, televisi, dan sebagainya, yang memberikan berbagai informasi kepada kita, entah itu informasi yang membahagiakan atau justru menyakitkan. Kita kerap terhanyut, seperti mengalami sendiri berbagai fenomena dan peristiwa secara langsung. Ada saatnya kita tertawa, tetapi ada saatnya pula kita merasa sedih dan nestapa. Semua itu terjadi karena kekuatan dahsyat bahasa jurnalistik. Lantas, apa sebenarnya yang disebut dan dimaksud dengan jurnalistik?
          Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau laporan setiap hari (Sumadiria: 2005:2). Dalam kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah, atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9). Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Kridalaksana, 1977:44).
          F. Fraser Bond dalam An Introduction to Journalism (1961:1) menulis: jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. Roland E. Wolseley dalam Understanding Magazines (1969:3) menyebutkan, jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati hiburan umum secara sistematik dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran (Mappatoto, 1993: 69-70).
          Djen Amar menekankan, jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Amar, 1984:30). Erik Hodgins, redaktur majalah Time, menyatakan, jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, saksama dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berpikir yang selalu dapat dibuktikan (Suhandang, 2004:23). Curtis D. Mac Dougall dalam Interpretative Reporting menyebutkan, jurnalistik adalah kegiatan mencari fakta, menghimpun berita, dan melaporkan peristiwa (Kusumaningrat: 2005:15). Setelah memperhatikan dan menyelami pendapat para pakar tersebut, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka bisa ditarik sebuah pernyataan bahwa: secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3).[2]
          Benjamin H. Day, pada tahun 1833, di New York City, menerbitkan untuk pertama kalinya apa yang disebut penny newspaper (surat kabar murah yang harganya satu penny). Di dalamnya memuat berita-berita pendek yang ditulis dengan hidup, termasuk peliputan secara rinci tentang berita-berita kepolisian untuk pertama kalinya. Berita-berita human-interest dengan ongkos murah ini menyebabkan bertambahnya secara cepat sirkulasi surat kabar tersebut. Kini di Amerika Serikat beredar 60.000.000 eksemplar harian setiap harinya.
          Bahasa yang digunakan jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat seperti itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya kerena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar, 1991:2).    
          
A.      Pengertian Pers
          Setelah mengetahui apa itu jurnalistik, sekarang pembahasan mengenai apa itu pers? Karena pers ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun oleh wartawan media cetak.
          Pers berasal dari kata Belanda pers yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.
          Berdasarka uraian di atas, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam arti kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi maupun internet.[3]
          Pers merupakan salah satu kekuatan sosial yang menjalankan kontrol secara bebas dan bertanggungjawab, baik terhadap masyarakat maupun terhadap kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Efektifitas pengaruhnya dapat dilihat pada bukti-bukti yang menyiratkan terjadinya peristiwa luar biasa sebagai akibat dari perilaku pers, baik akibat positif maupun negatif. Kisah kemenangan Jimmy Carter di Amerika, popularitas politik Saddam Hussein di Irak, rontoknya pemerintahan Orde Baru di Indonesia, semuanya tidak terlepas dari peran-peran sosial politik yang dimainkan pers. Oleh karena itu, di beberapa negara yang berhaluan demokrasi liberal, pers sering disebut sebagai pengawas alias penjaga demokrasi.
          Hingga saat ini pers tetap mendapat julukan the fourth estate setelah tiga lembaga kekuasaan  lainnya yang berputar dalam proses pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika tiga lembaga yang disebutkan terakhir ini mampu mengendalikan massa karena kekuasaan formalnya, maka pers mampu memengaruhi massa karena daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Sebutan ini terutama didasarkan pada kenyataan bahwa, pengaruh pers pada masyarakat seringkali menunjukkan dampak yang lebih besar. Menurut Graber, hal ini terjadi karena media mampu menawarkan model-model perilaku. Bahkan di beberapa negara Barat, pada perjalanan sejarahnya, pers pernah menempati tempat yang paling berkuasa, lebih berkuasa dari pada lembaga-lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
          Pers Amerika dan Inggris, misalnya, untuk selama kurang lebih dua ratus tahun menganut teori pers liberal, yakni pers yang bebas dari pengaruh pemerintah. Teori tersebut mengasumsikan bahwa kebenaran bukan lagi monopoli penguasa. Manusia tidak bisa dianggap sebagai benda mati yang dapat diperlakukan secara bebas. Ia memiliki hak untuk mencari dan mendapatkan kebenaran sendiri. Dan, dalam kerangka itulah pers dianggap sebagai partner yang juga memiliki independensi yang utuh untuk mencari kebenaran. Pers menjadi bagian yang penting dari kehidupannya, menjadi perabot rumah tangga yang harus hadir setiap saat. Bahkan lebih luas lagi, melalui pers, masyarakat ingin mengetahui kehidupan yang sesungguhnya, ingin berkomunikasi dengan lingkungannya sendiri, dan ingin menemukan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang sempurna.[4]
          Perintis pers di negara-negara berkembang, umumnya adalah mereka yang juga ikut aktif berjuang melepaskan negerinya dari belenggu penjajahan. Seperti halnya Indenesia, di banyak negara Afrika, misalnya, tokoh pergerakan kemerdekaan adalah juga perintis pers di negerinya. Sehingga mudah dipahami, apabila pers di nergara-negara yang sedang berkembang atau di negara Dunia Ketiga, paling kritis terhadap konsep-konsep pers Barat yang mereka nilai kurang cocok bagi upaya pembangunan di negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme. Konsep pers Barat yang acapkali melihat persoalan secara hitam-putih, dianggap kurang memberikan inspirasi bagi rakyat Dunia Ketiga untuk mengejar ketertinggalan mereka. Padahal, wartawan di Dunia Ketiga diandalkan bertugas mengangkat cermin agar masyarakatnya dapat melihat diri mereka sendiri. Wartawan Dunia Ketiga adalah pemimpin dalam mengubah pandangan pembaca.[5]
          Dilihat dari sisi fungsinya, pers memang memiliki fungsi, antara lain, untuk mempengaruhi (to influence). Masyarakat pembaca, pendengar, atau pun pemirsa, dapat dengan amat halus digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk menanamkan sikap pro ataupun kontra terhadap suatu objek, menumbuhkan kebencian, memupuk persahabatan, meningkatkan suhu peperangan, bahkan mungkin untuk meretes jalan menuju perdamaian, pers dapat memainkan peranannya sebagai suatu kekuatan yang independen. Pers telah, dan tampaknya akan tetap, dijadikan media untuk menyampaikan pesan-pesan politik khususnya dalam usaha mempengaruhi publik.
          Karena itu, tidak heran jika tiga lembaga kekuasaan – eksekutif, legislatif dan yudikatif – dalam memainkan perannya, seringkali menggunakan kendaraan pers sebagai alat yang efisien. Atau mungkin juga lembaga-lembaga itu memiliki media massa sendiri yang secara bebas dapat membawakan his master’s voice. Dengan demikian, karena fungsi-fungsi inilah tampaknya mengapa pers tetap memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, sekaligus menempati peringkat keempat dalam urutan kekuasaan sosial yang ikut menentukan arah mobilitasnya. Efektifitas media dalam mempengaruhi masyarakat bukan saja karena ia tidak menuntut adanya unsur pembiayaan yang relatif besar, tetapi juga karena kecepatannya dalam menyebarkan informasi ke setiap pelosok daerah secara efisien.

B.       Teori Empat Pers
          Pers dapat bertahan sampai sekarang di berbagai negara bukan berarti serta merta berdiri sendiri      tanpa adanya sesuatu yang menguatkan. Maka dari itu, para jurnalis membutuhkan teori-teori pers agar bisa bertahan menghadapi segala guncangan yang ada. Hingga saat ini, teori pers yang masih berlaku dijalankan ada empat teori pers, misalnya, bangsa Amerika yang menganut teori liberalistis[6] berlainan dengan teori pers yang dianut Cina atau Uni Soviet yang bersifat komunistis sebelum negara tersebut dilebur menjadi Rusia pada tahun 1991. Sedangkan teori pers yang dianut Indonesia yang sistem politiknya (sekarang) demokratis berlainan dengan teori pers yang dianut Myanmar yang militeristis.
          Pembahasan mengenai teori pers, terdapat dalam sebuah buku klasik yaitu Four Theories of the Press (Empat Teori tentang Pers) yang ditulis Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm yang diterbitkan oleh Universitas Illinois pada tahun 1956.
          Four Theories of the Press yang memiliki pengaruh besar di dunia pers memaparkan pandangan normatif Siebert dan kawan-kawan tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah bahwa “pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik di mana ia beroperasi.” Dan, berdasarkan sistem-sistem sosial dan politik yang berlaku di dunia pada waktu itu, maka dikembangkanlah “empat teori tentang pers” tersebut.
          Empat teori pers yang dipaparkan dalam buku Four Theories of the Press, yaitu:
1.    Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter), yang diakui sebagai teori pers paling tua, berasal dari abad ke-16. Penetapan tentang hal-hal “yang benar” dipercayakan hanya kepada segelintir “orang bijaksana” yang mampu memimpin. Jadi, pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Prinsip ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Bagi seorang individu, hanya dengan menempatkan diri di bawah kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab.[7]
2.    Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) yang mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.
“The Fourth Estate” atau “Pilar Kekuasaan Keempat” sebutan terhadap pers setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama umtuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.
Teori pers bebas atau teori libertarian ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga paling banyak memberikan informasi, paling banyak memberikan hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, di balik paling banyak dalam ketiga segi itu, pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers semacam ini memang terdapat sedikit sekali pembatasan-pembatasan serta aturan-aturan yang membatasi. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat.
3.    Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertangggungjawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab sosialnya ini diformulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan “Commission on the Freedom of the Press” yang diketahui oleh Robert Hutchins.[8]
Selanjutnya komisi yang terkenal dengan sebutan Hutchins Commision ini mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat. Lima prasyarat tersebut adalah:[9]
a.    Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
b.    Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
c.    Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
d.   Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
e.    Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.
Teori pers bertanggungjawab sosial ini relative merupakan teori baru dalam kehidupan pers di dunia, dan tidak seperti teori pers bebas libertarian, teori ini memungkinkan dimilikinya tanggungjawab oleh pers. Dengan teori ini juga pers memberikan banyak informasi dan menghikpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.
4.    The Soviet Communist Theory (Teori Pers Komunis Soviet) baru tumbuh dua tahun setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau authoritarian theory. Sistem pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Sebab itu, di negara-negara tersebut tidak terdapat pers bebas, yang ada hanya pers pemerintah. Segala sesuatu yang memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh para pejabat pemerintah sendiri. Dengan bubarnya negara Uni Republik Sosialis Soviet pada 25 Desember 1991 yang kini menjadi Negara Persemakmuran, negara tersebut sekarang telah melepaskan sistem politik komunisnya. Dengan demikian, kini teori pers komunis praktis hanya dianut oleh RRC karena negara yang dulu berada dibawah payung kekuasaan Uni Soviet pun sekarang ini hampir semua melepaskan sistem politik komunisnya.
Perbedaan dengan teori pers lainnya adalah:
1.    Dihilangkannya motif profit (yakni prinsip untuk menutup biaya) pada media
2.    Menomorduakan topikalitas (topikalitas adalah orientasi pada “apa yang sedang ramai dibicarakan”)
3.    Jika dalam teori pers penguasa orientasinya semata-mata pada upaya mempertahankan “status-quo”, dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat (untuk mencapai tahap kehidupan komunis).[10]

C.      Pers Di Indonesia
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai teori Empat Pers, lalu teori manakah yang digunakan pers Indonesia sekarang ini?
Sejak proklamasi kemerdekaan – 17 Agustus 1945 – sampai ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk “kembali ke UUD-45”, pers kita selama itu pada dasarnya diselenggarakan dengan sistem yang mirip-mirip sistem Barat, sekalipun pada awalnya sebagai “pers perjuangan” mendapat banyak bantuan dari pihak pemerintah.
Setelah Dekrit tersebut, lembaga Surat Izin Tjetak (SIT) merupakan yang pertama kalinya dipakai di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dewan pada prinsipnya menolak karena, “Kebebasan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tak dapat dihalangi.
Selama rezim Soekarno itu pers Indonesia seakan-akan menganut sistem pers bertanggungjawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Berita tidak lagi semata-mata harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional. Di samping diberlakukannya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak), pembredelan dan pemberangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan pers yang tidak sejalan dengan politik pemerintah.
Selama pemerintahan Orde Lama di bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan pers benar-benar dipasung. Kebebasan pers hanya merupakan angan-angan, surat kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Berita yang disuguhkan semuanya bernuansa politik yang dianggap menguntungkan pemerintah, karena jika tidak berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam keselamatan negara, atau subversif.
Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S), Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967. Lagi-lagi pers Indonesia di bawah rezim Orde Baru, tetap menjalankan sistem pers otoriter. Bedanya kalau masa Orde Lama menerapkan sistem pers otoriter yang terselubung, sedangkan masa Orde Baru justru menerapkan sistem pers otoriter yang terang-terangan. Pers Indonesia selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru Soeharto masih tetap terbelenggu ke dalam kegelapan, yang mana para jurnalis tidak bisa bergerak secara leluasa seperti yang diinginkan, yaitu, sesuai dengan sistem pers liberal (demokrasi). Di bawah rezim Orde Baru ini, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang keras sekeras pemerintah rezim sebelumnya.
Dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998, bangsa Indonesia mulai memasuki era reformasi, yang mana sistem pers Indonesia pun kembali ke keadaannya pada era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak merupakan masa kebebasan berpikir yang tidak dibarengi rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di Jakarta.[11]
Suasana reformasi sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma para petinggi negara tentang arti kebebasan mengeluarkan pendapat. B.J. Habibie yang pada 21 Mei 1998 itu menggantikan Soeharto sebagai presiden boleh dikatakan merupakan Presiden RI pertama yang giat membuka pintu-pintu demokrasi. Pada masa pemerintahan beliau undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers dicabut, termasuk pencabutan peraturan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No. 40 th. 1999 yang menjamin adanya kebebasan pers, bahkan dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people’s right know) karena hak memperoleh informasi itu, demikian bunyi butir (b) konsiderannya, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki.[12]
Sejak itu, pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika negara kita menganut sistem demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, yaitu sistem pers liberal Barat.[13] Bahkan bisa dikatakan bahwa sistem pers di Indonesia era reformasi ini sedemikian bebasnya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa pers kita sudah tidak lagi terikat oleh etika dan rasa tanggungjawab atas kepentingan masyarakatnya. Padahal di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, pers liberal sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 dan kini negara itu bahkan menganut sistem pers yang bertanggungjawab sosial.

D.      Pers Di Republik Rakyak Cina (RRC)
Teori pers Komunis yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Republik Rakyat Cina (RRC) bertolak belakang dengan teori pers libertarian, karena kerangka dan proyeksinya memang sudah berlawanan. Jika dibandingkan teori pers di Indonesia dengan teori pers di RRC, keduanya tidak akan pernah bisa ditemukan. Orang-orang Indonesia yang sekarang merasa dianugerahi dengan persnya yang bebas, dan cenderung bersimpati kepada rekan mereka dari RRC yang menderita di bawah sistem pemilikan oleh negara, penyensoran, dan propaganda. Sedangkan di lain pihak, orang-orang Cina mengaku bahwa dia-lah yang diberkati dengan satu-satunya kebebasan pers yang sebenarnya, sementara rekannya dari Indonesia yang malang dipaksa melayani sistem pers yang mata-duitan, dikontrol oleh kepentingan-kepentingan tertentu, korup, dan tidak bertanggungjawab.
Maka, dengan tujuan penulisan ini kita akan menganalisis lebih jauh mengenai teori komunikasi massa Republik Rakyat Cina (RRC) sekarang ini, yang mana akan kita lacak mulai dari asal-muasal pemikiran orang-orang Cina yang merujuk pada negara Soviet, Karl Marx. Jelas bahwa Marx menyumbangkan sebuah pandangan umum dan paling tidak ada tiga perangkat pemikiran yang selama ini telah menjadi landasan bagi segala yang dibangun oleh pengikut-pengikutnya dari Soviet.
Warisan Marx ini menjadi benar-benar penting di tangan orang Rusia, orang-orang yang oleh Carlyle dikatakan punya bakat unggul sebagai orang yang patuh, dan yang terbiasa dengan kekuasaan karena sudah mengalaminya berabad-abad. Cita-cita persatuan dan generalitas yang datang dari Marx jelas sekali berkaitan dengan kebijaksanaan-tekanannya Soviet, kebiasaan Komunis yang tidak peduli, atau mencari alasan untuk menghilangkan, tanda-tanda konflik, dan semangat agitator-agitator Komunis yang mirip pengabar-Injil giatnya. Jika dikaitkan dengan orang Indonesia bahwa masyarakat harus dan sebaiknya mempunyai ide-ide dan nilai-nilai yang berbeda, dan dengan demikian menggalakkan seni bermusyawarah serta pemerintahan mayoritas; orang-orang Cina biasa berpikiran bahwa orang-orang seharusnya tidak punya pandangan yang berbeda-beda, bahwa musyawarah itu tandanya kelemahan, bahwa hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat ditemukan dalam interpretasi Marxisme, dan yang harus dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan.
Marx merasa bahwa revolusi-revolusi ini bukanlah revolusi yang sesungguhnya, karena itu semua adalah revolusi politik bukan revolusi sosial; hasilnya adalah perubahan kekuatan yang berkuasa, bukan perubahan sosial yang mendasar. Perubahan yang belakangan ini, menurut Marx, akan datang dari penentangan kelas pekerja (antitesis) terhadap kelas borjuis (tesis), dengan hasil kemenangan bagi kelas pekerja dan terbentuknya sebuah masyarakat baru tanpa kelas (sintesis). Marx tidak menjelaskan, apakah proses perubahan dialektika ini akan berhenti sampai masyarakat tanpa kelas, atau terus berlanjut. Yang lebih penting, adalah perbedaan antara pandangan Marx dengan Hegel mengenai sifat dialektika.[14] Karena, Marx membuat dialektika itu realistis, bukan idealistis.
Walaupun Marx tidak pernah secara langsung memperhatikan masalah komunikasi massa, dasar-dasar tindakan Soviet (rujukan pers di RRC) dalam bidang ini tetap pada apa yang telah kita bicarakan di atas. Satu hal yang jelas, konsep Marxis tentang persatuan dan pembedaan secara jelas-jelas antara kebenaran dengan ketidakbenaran, tidak memungkinkan pers berfungsi sebagai Lembaga Keempat yang bebas mengkritik pemerintah dan bertindak sebagai sebuah forum diskusi bebas. Melainkan, pers komunis dianggap sebagai alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan kebijakan-kebijakan kelas pekerja atau partai militan. Sekali lagi, jelas dari apa yang ditulis Marx tentang determinisme materialistik, bahwa ia merasa kontrol terhadap pers akan dipegang oleh mereka yang mempunyai kemudahan-kemudahannya – para pencetaknya, penerbit, stasiun-stasiun siaran.
Memahami situasi Cina sekarang ini dengan semata-mata berdasarkan Marxisme jelas tidak mungkin. Lagipula, haruslah ditekankan komunikasi massa di Cina sudah berkembang, dalam periode yang telah dibicarakan, sebagai bagian integral dari negara Cina sendiri. Dalam sistem Soviet, tidak ada teori komunikasi dan teori negara; hanya ada satu teori. Pemikiran Soviet sangat jauh berbeda dari konsep pers sebagai Lembaga Keempat yang mengawasi dan melaporkan serta mengkritik tiga lembaga lainnya. Seperti itulah pers di RRC sekarang ini. Sejak dimulainya revolusi kaum proletar, komunikasi massa masih dianggap sebagai alat. Lenin-lah yang menyatakan bahwa surat kabar harus menjadi sebuah “propagandis kolektif, agitator kolektif……organisator kolektif” (102:4, 114). Dengan demikian media adalah alat yang dikontrol negara (yang mewakili rakyat) melalui kontrol terhadap kemudahan material komunikasi; dus, media swasta sudah lenyap di awal-awal sejarah Soviet. Media harus digunakan sebagai alat untuk menyampaikan “sang kata” seperti yang telah diinterpretasikan di Kremlin. Media harus digunakan sebagai alat perubahan sosial dan kontrol sosial, dalam sebuah kerangka referensi yang erat-bersatu, dan dibuat denga teliti. Pada akhirnya, media harus menjadi alat untuk tujuan-tujuan yang serius. Dengan kata lain, media Soviet telah tumbuh untuk mencerminkan ideologi resmi Soviet, negara Soviet dan “kepribadian ideal” Soviet.[15]
          Menurut pandangan resmi RRC, pers mereka merupakan sebuah eksperimen raksasa untuk menciptakan “pers rakyat”, yang dimiliki dan dikontrol oleh wakil-wakil rakyat, dan digunakan untuk membangun masyarakat yang lebih baik bagi rakyat dengan “Satu Modal Yang Benar”. Menurut pandangan orang Amerika (dan mungkin juga pandangan terselubungnya para pemimpin Soviet) pers Cina sekarang ini merupakan pers yang erat terkontrol, bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk melakukan sesuatu kepada mereka. Bukan untuk membiarkan mereka memilih dan mengambil keputusan, melainkan untuk membuat keputusan bagi mereka dan meyakinkan mereka tanpa memberi kesempatan memilih keputusan yang lain.
          Seperti halnya di Eropa dan Asia, media siaran di Uni Soviet merupakan sebuah sistem raksasa. Ada sekitar 15 juta pesawat radio penerima dimiliki orang-orang Soviet, termasuk di dalamnya pesawat yang memakai kristal, dan sejumlah stasiun-stasiun nasional maupun regional cukup untuk melayani itu semua. Sayang, negara tersebut sekarang sudah tidak memakai sistem pers komunis seperti yang sering digembar-gemborkan.
Kedua konsep dan sistem ini sangat berbeda, sehingga sulit bagi orang yang tumbuh di kedua sistem ini untuk mencari kesamaan. Filsafat yang mendasari kedua sistem ini sangat berbeda – di satu pihak, determinisme materialistik Marxis dan perjuangan kelas; di lain pihak, filsafat rasionalistis dan hak-hak asasi dari Jerman Terang. Konsep-konsep mereka tentang manusia sangat berbeda – di situ pihak manusia sebagai sebuah massa, dapat ditundukkan, tidak penting, memerlukan kepemimpinan Promothean; di lain pihak, manusia dianggap berakal, dibeda-bedakan, mampu dengan sempurna untuk dengan sendirinya berbelanja di “pasar ide bebas”. Tentu saja konsep mereka tentang pengawasan menjadi berbeda – di satu pihak kontrol ekstrim dan menyeluruh melalui pemilikan, keanggotaan Partai, pengarahan-pengarahan, penyensoran, penilaian, kritik, dan ancaman-ancaman; di lain pihak, dengan proses pelurusan diri di dalam pasar ide yang bebas, dengan pengawasan pemerintah sekecil mungkin. Di satu pihak ada penekanan pada tanggungjawab; di lain pihak, pada kebebasan. Dan perbedaan dalam konsep-konsep dasar dengan jelas dapat terlihat pada gambaran, di mana kedua sistem berderap maju membawa panji-panji “kebebasan”, walaupun istilah ini diartikan berlainan.[16]
Tetapi jika kita harus memilih dua perbedaan dari daftar panjang di atas, dan meletakkannya pada akhir tulisan ini, saya rasa kita harus memilih yang dua ini.
Pertama, perbedaan dasar antara tradisi Cina (yang merujuk pada Soviet) dengan Indonesia (yang merujuk pada sistem di Amerika) merupakan perbedaan antara Marx dan Mill. Keduanya memikirkan sebanyak mungkin kebaikan untuk sebanyak mungkin orang. Tetapi Marx bermaksud meningkatkan kehidupan manusia dengan meningkatkan masyarakatnya – sebenarnya, bermaksud menggunakan manusia sebagai mesin untuk meningkatkan masyarakat agar manusianya meningkat. Sebaliknya Mill bermaksud menigkatkan masyarakat dengan meningkatkan manusianya dulu. Jadi di dalam dua tradisi ini kita melihat dua konsep yang paralel tapi bertentangan.
Kedua, komunikasi massa di Cina pada dasarnya sebuah instrumen yang dimainkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan pengarahan sekelompok kecil pemimpin Promethean. Sedangkan dalam Indonesia, komunikasi massa merupakan sebuah jasa dan bukan instrumen, yang digunakan bukan untuk tujuan yang telah ditetapkan melainkan sebagai suara masyarakat serta kebutuhan, kepentingan, selera, dan pemikiran-pemikiran masyarakat, sebagaimana yang dilihat dan diinterpretasikan oleh para pemilik dan pengelola media massa dengan tujuan menjual sebuah produk yang bermanfaat. Bagi orang-orang Cina, kualitas multiarah keterbukaan, kritik, dan konflik tak terbatas dalam media Indonesia sehingga memperlihatkan kelemahan daya tahan negara Indonesia. Sedangkan bagi orang Indonesia, justru itulah kekuatan kita. Pada decade-dekade yang akan datang, dapat dilihat pandangan siapa yang benar.
    
DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2007. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: PT  Remaja Rosdakarya
Muhtadi, Asep Saeful. 1999. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu
Siebert, Fred S., Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, PT. Intermasa
Sumadiria, AS Haris. 2008. Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis. Bandung: Simbiosa Rekatama Media



[1] Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. I, hlm. 17
[2] AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), cet. II, hlm. 4-5
[3] Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. III, hlm. 17
[4] Asep Saeful Muhtadi, Opcit., hlm. 48-49
[5] Hikmat Kusumaningrat, Opcit, hlm. 11
[6] Pengertian liberalistis dalam konteks Amerika di sini jangan dicampuradukkan dengan paham libertarian. Pers liberal dalam pengertian libertarian atau bebas tanpa batas sudah ditinggalkan AS sejak tahun 1956 dengan terbitnya buku The Four Theories of the Press oleh F. Siebert dkk.
[7] William L. Rivers, Wilbur Schramm, dan Clifford G. Christians, Responsibility in Mass Communication, Third Edition, Harper & Roww, Publishers, New York, 1980.
[8] Hikmat Kusumaningrat, Opcit, hlm. 19 - 21
[9] John C. Merril, Journalism EthicsPhilosophical Foudations for News Media, St. Martin’s Press, New York, 1997
[10] Hikmat Kusumaningrat, Opcit, hlm. 24
[11] Ini disebabkan oleh kebijakan “bunuh diri” Pimpinan PWI Cabang Jakarta waktu itu yang mengusulkan kepada PImpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar diberlakukan izin terbit bagi penerbitan pers. Pada waktu itu memang PWI merasa “terganggu” dengan bermunculannya secara bebas penerbitan-penerbitan pers yang mencari untung dengan menyiarkan berita-berita dan tulisan-tulisan tentang seks, pembunuhan, gossip, dan sebagainya yang kelewat batas.
[12]   Hikmat Kusumaningrat, Opcit, hlm. 37
[13]Demokrasi Parlementer didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950. (Periode demokrasi parlementer ini secara formal berlaku dari pertengahan tahun 1950 sampai kita kembali ke UUD 1945 yang diberlakukan dengan Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.)
[14]  Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, PT. Intermasa, hlm. 125
[15] Fred S. Siebert, dkk., Opcit.,  hlm. 134
[16] Fred S. Siebert, dkk., Opcit., hlm. 168-169

1 komentar:

  1. Terima kasih materinya gan misbah, mantap dan berguna tentang bagaimana seharusnya kita memimpin
    thanks bro
    admin
    Macam macam kepemimpinan dan fungsinya
    dan juga baca tulisan saya yang ini Pengertian kepemimpinan thanks for this

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena