Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 26 Mei 2012

Merindukan Pemimpin Yang "Sense Of Crisis”



Oleh Daqoiqul Misbah*

Melihat kondisi Indonesia saat ini sungguh ironis sekali. Masyarakat kehilangan pemimpin yang dianggap sebagai penyangga yang seharusnya dapat diharapkan menjadi kekuatan pembebas atau pemerdeka dari kesulitan yang mendera. Masyarakat tidak henti-hentinya menjerit dan meronta meminta pertolongan pemimpin supaya membebaskan mereka dari belenggu kesengsaraan.
Kesengsaraan/penderitaan yang merajam wajib dipedulikan dan didekonstruksi. Penderitaan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja bersemai dan mengakumulasi menjadi “penyakit kanker” atau penyakit menular yang ganas, yang sewaktu-waktu di kemudian hari dapat meledak dan menghancurkan pori-pori bangunan kehidupan berbangsa.
Jika sampai “penyakit kanker” tersebut dibiarkan mengganas, bukan mustahil berbagai bentuk kriminalisme seperti kekacauan, radikalisme dan pertikaian antar etnis akan mengeksplosif dan sulit dikendalikan. Hal demikian semakin membenarkan statement Napoleon Bonaparte, yaitu “di tengah kekacauan yang direkayasa sistemik, maka hanya kaum bajinganlah yang menuai keuntungan dan menikmati kecongkakan”.
Kalau pemimpin sudah berlaku demikian, imbasnya merasuk sampai pori-pori masyarakat, yang mana masyarakat kecilpun dipaksa mengikuti perubahan zaman yang menuntutnya sibuk berjuang dan melawan kekuatan manusia yang berlaku hedonis. Para pemimpin yang tidak pernah akan merasa puas dengan kedudukan, kekuasaan, harta dan akan terus-menerus memuasi dirinya sampai tidak akan lagi merasakan kepuasan.
Rakyat pun menjadi korban keserakahan kaum elit, seperti “penjahat berdasi”, yang berhasil membeli dan menguasai unsur-unsur birokrasi untuk mengeksploitasi dan mengkomoditaskan sumber daya alam. Terbukti misalnya hasil-hasil alam – bumi, sumberdaya hutan – yang seharusnya bisa menjadi jaminan untuk membangun ekonomi rakyat atau menyejahterakan hidupnya telah dirusak, dieksploitasi dan dikomoditaskan oleh penguasa.
Para pemimpin yang hedonisme, epicureanisme dan utilitarianisme yang beranggapan bahwa mencari kenikmatan (pleasure) adalah sebagai tujuan tertinggi. Pemimpin-pemimpin yang demikianlah yang harus segera diberantas dari bangsa kita ini, yang hanya mementingkan pribadi masing-masing demi mencapai kepuasan. Padahal mereka mendapatkan amanat kedaulatan dari rakyat negeri ini sebagai “nahkoda” (pemimpin) untuk mengantarkan kapal besar bernama bagsa Indonesia ini ke dermaga kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Jika pemimpin tersebut dibiarkan mengembara secara liar – tidak mengenal titik nadir kepuasan dan di luar bingkai kepentingan rohani – maka kehidupan rakyat dan bangsa akan sulit diselamatkan dari ancaman prahara kekacauan dan badai kehancuran. Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya mengingatkan, “khianat yang terbesar adalah tindakan seorang pemimpin/pejabat yang memperdagangkan milik rakyatnya”. Dalam hadis lain juga ditegaskan, “seorang pembesar, apabila dia mati, sedang dia tidak jujur terhadap rakyat, niscaya dia diharamkan Allah masuk surga”. Peringatan tersebut mengisyaratkan bahwa, Allah sangat membenci bila ada seorang pemimpin/pejabat yang dipercaya bisa bertanggungjawab justru berlaku tidak jujur terhadap hak-hak rakyat, maka ia akan memperoleh azab dari Allah.
Kendati demikian yang membuat rakyat merindukan pemimpin yang “sense of crisis”. Pemimpin yang bisa mengerti dan memikirkan rakyatnya, bukan malah memikirkan diri sendiri demi kepuasan pribadi. Cepatlah datang wahai pemimpin yang “sense of crisis”. Kita semua merindukanmu.

*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena