Oleh Daqoiqul Misbah*
Melihat kondisi
Indonesia saat ini sungguh ironis sekali. Masyarakat kehilangan pemimpin yang dianggap
sebagai penyangga yang seharusnya dapat diharapkan menjadi kekuatan pembebas
atau pemerdeka dari kesulitan yang mendera. Masyarakat tidak henti-hentinya
menjerit dan meronta meminta pertolongan pemimpin supaya membebaskan mereka
dari belenggu kesengsaraan.
Kesengsaraan/penderitaan yang merajam wajib
dipedulikan dan didekonstruksi. Penderitaan ini tidak boleh dibiarkan begitu
saja bersemai dan mengakumulasi menjadi “penyakit kanker” atau penyakit menular
yang ganas, yang sewaktu-waktu di kemudian hari dapat meledak dan menghancurkan
pori-pori bangunan kehidupan berbangsa.
Jika sampai
“penyakit kanker” tersebut dibiarkan mengganas, bukan mustahil berbagai bentuk
kriminalisme seperti kekacauan, radikalisme dan pertikaian antar etnis akan
mengeksplosif dan sulit dikendalikan. Hal demikian semakin membenarkan statement
Napoleon Bonaparte, yaitu “di tengah kekacauan yang direkayasa sistemik, maka
hanya kaum bajinganlah yang menuai keuntungan dan menikmati kecongkakan”.
Kalau pemimpin
sudah berlaku demikian, imbasnya merasuk sampai pori-pori masyarakat, yang mana
masyarakat kecilpun dipaksa mengikuti perubahan zaman yang menuntutnya sibuk
berjuang dan melawan kekuatan manusia yang berlaku hedonis. Para pemimpin yang
tidak pernah akan merasa puas dengan kedudukan, kekuasaan, harta dan akan
terus-menerus memuasi dirinya sampai tidak akan lagi merasakan kepuasan.
Rakyat pun
menjadi korban keserakahan kaum elit, seperti “penjahat berdasi”, yang berhasil
membeli dan menguasai unsur-unsur birokrasi untuk mengeksploitasi dan
mengkomoditaskan sumber daya alam. Terbukti misalnya hasil-hasil alam – bumi,
sumberdaya hutan – yang seharusnya bisa menjadi jaminan untuk membangun ekonomi
rakyat atau menyejahterakan hidupnya telah dirusak, dieksploitasi dan
dikomoditaskan oleh penguasa.
Para pemimpin
yang hedonisme, epicureanisme dan utilitarianisme yang beranggapan bahwa
mencari kenikmatan (pleasure) adalah sebagai tujuan tertinggi.
Pemimpin-pemimpin yang demikianlah yang harus segera diberantas dari bangsa
kita ini, yang hanya mementingkan pribadi masing-masing demi mencapai kepuasan.
Padahal mereka mendapatkan amanat kedaulatan dari rakyat negeri ini sebagai
“nahkoda” (pemimpin) untuk mengantarkan kapal besar bernama bagsa Indonesia ini
ke dermaga kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Jika pemimpin
tersebut dibiarkan mengembara secara liar – tidak mengenal titik nadir kepuasan
dan di luar bingkai kepentingan rohani – maka kehidupan rakyat dan bangsa akan
sulit diselamatkan dari ancaman prahara kekacauan dan badai kehancuran. Nabi Muhammad
SAW dalam sabdanya mengingatkan, “khianat yang terbesar adalah tindakan seorang
pemimpin/pejabat yang memperdagangkan milik rakyatnya”. Dalam hadis lain juga
ditegaskan, “seorang pembesar, apabila dia mati, sedang dia tidak jujur
terhadap rakyat, niscaya dia diharamkan Allah masuk surga”. Peringatan tersebut
mengisyaratkan bahwa, Allah sangat membenci bila ada seorang pemimpin/pejabat
yang dipercaya bisa bertanggungjawab justru berlaku tidak jujur terhadap
hak-hak rakyat, maka ia akan memperoleh azab dari Allah.
Kendati
demikian yang membuat rakyat merindukan pemimpin yang “sense of crisis”. Pemimpin
yang bisa mengerti dan memikirkan rakyatnya, bukan malah memikirkan diri
sendiri demi kepuasan pribadi. Cepatlah datang wahai pemimpin yang “sense of
crisis”. Kita semua merindukanmu.
*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat
0 komentar:
Posting Komentar