Oleh: Daqoiqul Misbah (Mahasiswa AF Semester 6)
Tema mengenai teologi tidak akan pernah usang untuk dibicarakan
sampai saat ini, mengingat banyak sekali penduduk di dunia yang beragama dan masih
percaya dengan doktrin agama khususnya masalah teologi.
Pada hari ini, tepatnya pada hari Kamis, 14 Juli 2012, Fakultas
Ushuluddin atas nama Badan Ekskutif Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat (BEM-J
AF) yang bekerja sama dengan LKIS serta Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren
(PSPP) mengadakan kegiatan yang sangat menarik dan sayang untuk dilewatkan yaitu
acara Bedah Buku “Teologi Negatif Ibnu ‘Arabi: Kritik Metafisika KeTuhanan”
oleh Muhammad Al-Fayyadl yang sekarang aktif kuliah S2 di Prancis.
Acara ini dimulai pada pukul 09.00 – 12.00 WIB yang dihadiri oleh
sekitar 100 orang yang antusias mengikuti acara tersebut dari awal sampai
selesai. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa membludaknya peserta kemungkinan
karena dihadiri oleh narasumber yang sangat berkompeten dibidangnya. Diantaranya
Muhammad Al-Fayyadl (penulis), Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin sebagai pembanding
(direktur PSPP), dan juga Dr. Fariz Pari (dosen Aqidah Filsafat UIN Jakarta).
Penyampaian materi yang pertama dimulai dari Muhammad Al-Fayyadl
selaku penulis buku tersebut yang menyampaikan materinya diawali dari bercerita
mengenai pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam diri manusia yang berkaitan
dengan masalah keTuhanan. Jadi menurut Fayyad ketika mengutip tulisan Ledwigh
Feurbach, seorang failasuf atheis yang menulis buku tentang esensi agama
Kristen, bahwa “prinsip utama yang tertinggi dari penyembahan kita adalah penyembahan
citra Tuhan.” Padahal kita tahu bahwa Feurbach termasuk orang yang menolak
adanya Tuhan, yang mana adanya Tuhan itu dikarenakan imajinasi manusia belaka. Adanya
Tuhan itu hanyaah fiksi yang diciptakan manusia untuk menebus
kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dengan cara berimajinasi dengan hal-hal
yang selalu positif yang kemudian disebut dengan Tuhan. Dari situlah ada kritik
yang menarik dari Feurbach yang diistilahkan oleh Fayyad sebagai trioidolatri (pemberhalaan
akan Tuhan). Apa maksudnya? Kalau memahami dari sudut terminologi Feurbach
pemberhalaan akan citra Tuhan, sehingga citra itu yang sebenarnya tidak lain
dari proyeksi manusia itu dilakukan sedemikian rupa kemudian disembah dan citra
itu kemudian diidentikkan dengan Tuhan itu sendiri.
Di sini Fayyad menangkap dua hal, pertama kritik mengenai
trioidolatri itu, yang mana Feurbach memiliki semangat yang sama dengan judul
buku tersebut. Kedua, Feurbach menggaris bawahi ketakterhindaran dari proyeksi
manusia terhadap ide-ide keTuhanan. Bahwa Tuhan itu pasti sudah terproyeksikan
di dalam imaji di dalam citra yang dibuat oleh manusia. Permasalahanyya di sini
adalah Feurbach menjadikan atheismenya sebagai idolatri baru. Sehingga dia
gagal mengakui realitas objektif keTuhanan. Berangkat dari sedikit problematik
di sini bahwa yang menarik dalam agama adalah adanya pengaburan antara Tuhan
dan “Tuhan”, antara Tuhan sebagaimana dirinya dan “Tuhan” sebagaimana yang
telah masuk dalam pencitraan manusia. Pengaburan inilah yang menjadi sasaran
empuk kaum atheisme modern karena ide keTuhanan disatukan tanpa memperhatikan
ada suatu distingsi pembedaan yang fundamental antara Tuhan dan “Tuhan”. Maka dari
itu menurut Heidegger, sebenarnya kita telah gagal membedakan antara Tuhan dan
ide keTuhanan.” Papar Fayyadl.
Lalu apa itu teologi negatif? Secara singkat Fayyadl menerangkan bahwa
teologi negatif itu tidak ada hubungannya dengan negatif dalam pengertian moral,
baik dan buruk, dan sebagainya. Tetapi negatif di sini adalah suatu upaya untuk
menegasikan atau tanpa upaya pun sebagai suatu model berteologi yang
menegasikan terus menerus dirinya. Misalkan membicarakan masalah Tuhan, dia
terus dan selalu menegasikan. Contoh, ketika mengatakan Tuhan itu X maka Tuhan
itu bukanlah X, tapi kalau bukan X lalu Y nah Tuhan juga bukan Y. Sehingga Tuhan
bukan ini dan Tuhan bukanlah itu. Nah disinilah ada tindak negasi. Tetapi negasi
di sini perlu digaris bawahi bukan negasi dialektis Hegelian, karena negasi
dialektis Hegelian itu ingin mengafirmasi suatu posisi.
Sebenarnya proses negasi ini adalah murni suatu pengalaman seperti
yang dilakukan oleh para sufi. Dan kalau diruntut, proses negasi ini sudah ada
atau bermula pada zaman nabi Ibrahim ketika beliau sedang dalam proses
pencarian Tuhan yang sejati. Sehingga ketika melihat matahari, bulan, dan
sebagainya beliau selalu menegasikan bahwa Tuhan yang sebenarnya bukan itu. Tetapi
kalau hanya dianggap sebagai suatu pengalaman atau khazanah dari pengalaman hal
ini menurut Fayyad tidak akan memberi kontribusi apa-apa. Dan karena itu
sebagian ahli atau pakar filsafat agama menyebutnya sebagai teologi apokatif
yang berasal dari kata a pophasis. A pophasis itu artinya tidak
berkata-kata. Suatu teologi atau cara beriman yang dihayati atau diam.
Berlanjut pada narasumber kedua oleh bapak Sahiron menerangkan
teologi negatif dengan pendekatan hermeneutik. Beliau menegaskan bahwa seringkali
kita itu secara tidak langsung memanusiakan Tuhan. Karena Tuhan menurut
pengetahuan kita adalah Tuhan yang maha segalanya yang bisa memberi kita rizki,
kasih sayang, kekayaan, dan sebagainya sesuai tingkat pengetahuan kita atau
dengan kata lain Tuhan itu memiliki sifat seperti manusia. Hal inilah yang
dikritik oleh Ibn ‘Arabi yang mana Tuhan yang kita pahami atau bayangkan adalah
bukan Allah yang hakiki, itulah yang dimaksud dengan teologi negatif. Jadi yang
kita dapatkan adalah apakah karena teologi memanusiakan Tuhan, lalu menurut Ibn
‘Arabi tidak, tetapi “God is not something you think”, artinya Allah bukanlah
seperti yang kamu pikirkan. Allah itu berada di luar pengetahuan kita semua. Maka
dari itu secerdas apapun manusia tetap saja tidak akan mampu menjangkau wilayah
Tuhan yang sebenarnya mengingat horizon manusia itu terbatas.
Jika dikaitkan dengan hemeneutik, itu semua hanyalah understanding.
Beliau mengutip dari tokoh Gracia ahli hermeneutika, pemahaman adalah aksi
mental seseorang, di mana dalam aksi mental itu seseorang mendapatkan sesuatu. Kita
juga berusaha melakukan pemahaman termasuk memahami tentang Allah, tetapi
pemahaman kita hanya dalam tataran aksi mental. Aksi psikologis yang ketika aksi
itu dilakukan kita mendapatkan sesuatu apakah itu makna teks ataupun segala
sesuatu yang kita tafsirkan termasuk Tuhan itu.
Menurut teori hermenetika yang lain, pemahaman seseorang itu dipengaruhi
oleh horizon seseorang. Apa yang kita pahami itu sebatas horizon. Dan menurut
Gadamer horizon itu dibentuk dari sejarah yang berpengaruh dari orang itu. Dengan
kata lain horizon manusia itu terbatas. Tetapi Bapak Sahiron tidak mengatakan
bahwa teologi yang sekarang kita pahami adalah salah, mengingat kemampuan kita
yang masih sebatas itu.
Narasumber ketiga bapak Fariz Pari mengemukakan pendapatnya mengapa
harus teologi negatif terhadap karya Ibn ‘Arabi? Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi yang berangkat dari pengalaman.
Artinya menegasikan semua pengalaman inderawi termasuk pengalaman rasional. Teologi
bagaimanapun dalam konteks islam, kalam, dan tradisi barat, teologi itu pasti
produk rasional. Maka dari itu sebenarnya penegasian itu tidak hanya dari
kontennya tetapi dari sisi prosesnya pun sama. Jadi rasa itu tidak bisa
dirasionalkan. Oleh karena itu pengalaman rasa ketika dirasionalkan dan
dibenturkan dengan teologi tidak bisa dihindari dan harus menggunakan negasi. Kalau
digunakan yang apopasis ini lebih tidak bisa dijelaskan lagi, karena secara
rasional tidak logis. Tetapi untuk mistisismenya bisa menggunakan pendekatan
apopasis, karena rekonstruksi apopasis cukup signifikan untuk bidang akademis
mengingat ini belum ada mengenai rasionalis apopasis.
Demikian review singkat dari bedah buku “Teologi Negatif Ibn’
Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan” oleh BEM-J AF beserta LKIS dan PSPP. Harapan
dari Moh. Burhan Khoirul Adib selaku ketua panitia dan Helmy Hidayatullah selaku
BEM-J AF adalah ingin bersama-sama belajar dan memperluas wawasan kita semua lebih
jauh lagi dan lebih memahami bagaimana “Tuhan” yang sering kita sembah itu. Mengingat
horizon kita tentang Tuhan yang masih sangat sedikit dan terbatas itu. Semoga bermanfaat.
aboot bro, hehe,
BalasHapushehe...yah cuma belajar aja.
BalasHapusAku sudah dapat bukunya tapi belum selesai baca. Fayyadl seperti penulis filsafat kebanyakan, menurut saya. Perlu persiapan tenaga ekstra ganda buat memahami tiap kalimatnya. Mungkin suatu saat Fayyadl akan menggunakan kalimat yang lebih sederhana lagi agar mudah dipahami oleh pembaca.
BalasHapus