Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 30 Juni 2012

Arti Dan Sejarah Logika


Oleh Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Meskipun disadari, definisi tidak pernah dapat menampilkan dengan sempurna pengertian sessuatu yang dikandungknya, disamping setiap orang selalu berbeda gaya dalam mendefinisi suatu masalah, pada setiap penyelidikan permulaan suatu ilmu sudah lazim dibuka dengan pembicaraan definisinya. Karena itu definisi yang bertugas sebagai pembuka pintu tidak mengandung bahaya selama kita memandangnya sebagai tempat pengenalan sementara yang dapat digeser ke arah kesempurnaan lebih lanjut.

‘Logika’ adalah bahasa latin berasal dari kata ‘Logos’ yang berarti perkataan atau sabda.[1] Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata arab yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2]
Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logic and Language of Education, mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar,[3] sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai “hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan dalam berpikir”.[4] Prof. Thaib Thahir A. Mu’in membatasi dengan “ilmu untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran.”[5] Sedangkan Irving M. Copi menyatakan,
“Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”[6]
Kata ‘Logika’ rupanya dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[7]
Aristoteles meninggalkan enam buah buku-buku yang oleh murid-muridnya diberi nama Organon. Buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatie (mengenai keputusan-keputusan), Analitica Priora (tentang silogisme), Analitica Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Buku-buku inilah yang menjadi dasar Logika Tradisonal.[8]
Pada masa penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam dunia Arab yang dimulai pada abad II Hijriah Logika merupakan bagian yang amat menarik minat kaum Muslimin. Selanjutnya Logika dipelajari secara meriah dalam kalangan luas, menimbulkan pelbagai pendapat dalam hubungannya dengan masalah agama. Ibnu Salih dan Imâm Nawâwî menghukumi haram mempelajari Mantiq sampai mendalam. Al-Gazâlî menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan menurut Jumhur Ulama membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.[9]
Filosof al-Kindî, mempelajari dan menyelidiki Logika Yunani secara khusus dan studi ini dilakukan lebih mendalam oleh al-Fārābī. Ia mengadakan penyelidikin mendalam atas lafal dan menguji kaidah-kaidah Mantiq dalam proposisi-proposisi kehidupan sehari-hari untuk membuktikan benar salahnya, merupakan suatu tindakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.[10]
Selanjutnya Logika mengalami masa dekadensinya yang panjang. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Masa itu dipergunakan buku-buku Logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fons Scientie dari John Damascenus, buku-buku komentar Logika dari Bothius, buku sistematisasi Logika dari Thomas Aquinas, kesemuanya mengembangkan Logika Aristoteles.
Pada abad XIII sampai dengan abad XV tampillah Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus dan Wilhelm Ocham mengetengahkan Logika  yang berbeda sekali dengan metode Aristoteles yang kemudian dikenal dengan Logika Modern. Raymundus Lullus mengemukakan metode baru logika yang disebut Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Penemuan-penemuan baru pada abad XVII dan XVIII ketika Francis Bacon mengembangkan metode induktif, ia menyusun buku Novum Organum Scientiarum. W. Leibnitz menyusun logika aljabar untuk membuat sederhana pekerjaan akal serta memberi kepastian Immanuel Kant menemukan Logika Transendental (Logika yang menyelidiki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman).[11]
Nama-nama seperti George Boole, Bertrand Russell dan G. Frege harus dicatat sebagai tokoh yang banyak berjasa dalam kehidupan Logika Modern.[12]


[1] K. Prent C. M., J. Adisubrata, dan W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, (Semarang: Yayasan Kanisius, 1969), hlm. 501
[2] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, 1984, hlm. 1531
[3] George F. Kneller, Logic & Language of Education, New York, 1966, hlm. 13
[4] Louis Ma’luf, Munjid, Cet. Ke-26, Beirut, 1973, hlm. 816
[5] Thaib Thahir A. Mu’in , Ilmu Mantiq, (Jakarta: Widjaya, 1966), hlm. 16
[6] Irving M. Copi, Introduction to Logics, fifth edition, (New York: Macmillan Publishing Co., 1978), hlm. 3
[7] Bertrand Russell, History of Western Philosophy, (London: George Allen & Unwin, 1974), cet. VII, hlm. 206
[8] Richard B. Angel, Reasoning and Logic, (New York: Century Crafts, 1964), hlm. 41
[9] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 33-35
[10] Ibid, hlm. 29-30
[11] H. Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4
[12] Tentang ilmu (science), lihat Herbert J. Muller, Science and Criticism, (New Haven: Yale University Press, 1943), hlm. 63-68

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena