Oleh Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Meskipun disadari, definisi tidak pernah dapat menampilkan dengan
sempurna pengertian sessuatu yang dikandungknya, disamping setiap orang selalu
berbeda gaya dalam mendefinisi suatu masalah, pada setiap penyelidikan
permulaan suatu ilmu sudah lazim dibuka dengan pembicaraan definisinya. Karena
itu definisi yang bertugas sebagai pembuka pintu tidak mengandung bahaya selama
kita memandangnya sebagai tempat pengenalan sementara yang dapat digeser ke
arah kesempurnaan lebih lanjut.
‘Logika’ adalah bahasa latin berasal dari kata ‘Logos’ yang berarti
perkataan atau sabda.[1]
Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata arab
yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2]
Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa:
alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Yang
dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logic and Language of Education, mantiq disebut
sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar,[3]
sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai “hukum yang memelihara hati
nurani dari kesalahan dalam berpikir”.[4]
Prof. Thaib Thahir A. Mu’in membatasi dengan “ilmu untuk menggerakkan pikiran
kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran.”[5]
Sedangkan Irving M. Copi menyatakan,
“Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang
digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”[6]
Kata ‘Logika’ rupanya dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari
Citium. Kaum Sofis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika.
Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[7]
Aristoteles meninggalkan enam buah buku-buku yang oleh
murid-muridnya diberi nama Organon. Buku tersebut adalah Categoriae
(mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatie (mengenai
keputusan-keputusan), Analitica Priora (tentang silogisme), Analitica
Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De
Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir).
Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa
mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Buku-buku inilah yang
menjadi dasar Logika Tradisonal.[8]
Pada masa penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam dunia Arab yang
dimulai pada abad II Hijriah Logika merupakan bagian yang amat menarik minat
kaum Muslimin. Selanjutnya Logika dipelajari secara meriah dalam kalangan luas,
menimbulkan pelbagai pendapat dalam hubungannya dengan masalah agama. Ibnu
Salih dan Imâm Nawâwî menghukumi haram mempelajari Mantiq sampai mendalam.
Al-Gazâlî menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan menurut Jumhur Ulama
membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.[9]
Filosof al-Kindî, mempelajari dan menyelidiki Logika Yunani secara
khusus dan studi ini dilakukan lebih mendalam oleh al-Fārābī. Ia mengadakan
penyelidikin mendalam atas lafal dan menguji kaidah-kaidah Mantiq dalam
proposisi-proposisi kehidupan sehari-hari untuk membuktikan benar salahnya,
merupakan suatu tindakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.[10]
Selanjutnya Logika mengalami masa dekadensinya yang panjang. Logika
menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Masa itu dipergunakan buku-buku
Logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fons Scientie dari John
Damascenus, buku-buku komentar Logika dari Bothius, buku sistematisasi Logika
dari Thomas Aquinas, kesemuanya mengembangkan Logika Aristoteles.
Pada abad XIII sampai dengan abad XV tampillah Petrus Hispanus,
Roger Bacon, Raymundus Lullus dan Wilhelm Ocham mengetengahkan Logika yang berbeda sekali dengan metode Aristoteles
yang kemudian dikenal dengan Logika Modern. Raymundus Lullus mengemukakan
metode baru logika yang disebut Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan
maksud membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Penemuan-penemuan baru pada abad XVII dan XVIII ketika Francis
Bacon mengembangkan metode induktif, ia menyusun buku Novum Organum
Scientiarum. W. Leibnitz menyusun logika aljabar untuk membuat sederhana
pekerjaan akal serta memberi kepastian Immanuel Kant menemukan Logika
Transendental (Logika yang menyelidiki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi
batas pengalaman).[11]
Nama-nama seperti George Boole, Bertrand Russell dan G. Frege harus
dicatat sebagai tokoh yang banyak berjasa dalam kehidupan Logika Modern.[12]
[1] K. Prent C.
M., J. Adisubrata, dan W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia,
(Semarang: Yayasan Kanisius, 1969), hlm. 501
[2] Ahmad Warson
Munawir, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, 1984, hlm. 1531
[3] George F.
Kneller, Logic & Language of Education, New York, 1966, hlm. 13
[4] Louis Ma’luf, Munjid,
Cet. Ke-26, Beirut, 1973, hlm. 816
[5] Thaib Thahir
A. Mu’in , Ilmu Mantiq, (Jakarta: Widjaya, 1966), hlm. 16
[6] Irving M.
Copi, Introduction to Logics, fifth edition, (New York: Macmillan
Publishing Co., 1978), hlm. 3
[7] Bertrand
Russell, History of Western Philosophy, (London: George Allen &
Unwin, 1974), cet. VII, hlm. 206
[8] Richard B.
Angel, Reasoning and Logic, (New York: Century Crafts, 1964), hlm. 41
[9] A. Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 33-35
[10] Ibid, hlm.
29-30
[11] H. Mundiri, Logika,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4
[12] Tentang ilmu (science),
lihat Herbert J. Muller, Science and Criticism, (New Haven: Yale
University Press, 1943), hlm. 63-68
0 komentar:
Posting Komentar