Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 30 Juni 2012

Aliran Murji'ah


Oleh Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


A.           Asal Usul Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Maksud penundaan di sini adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat. Dan mengandung arti pengharapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.

Kaum Murji’ah muncul akibat adanya pertentangan politik dalam Islam dalam suasana demikian, kaum murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Dalam teologi mengenai dosa besar, kaum murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mukmin. Aliran murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar.
Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.
Adapun golongan murji’ah yang ekstrim tokohnya adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut Al-Jami’ah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidak menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan di dalam bagian tubuh manusia tetapi di dalam hati sanubari.

B.            Doktrin-doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[1]
1.        Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak
2.        Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin
3.        Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah
4.        Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan para empiris dari kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1.        Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amir bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak
2.        Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar
3.        Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal
4.        Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah

C.           Sekte-sekte Murji’ah
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murjiah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali, iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan rasul-rasul-Nya serta apa saja yang tidak datang darinya dari keseluruhan dalam garis besar.
Yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusia, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Jahmiah, kelompok Jahm bin Safwan dan para pengikutnya berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam manusia.
b.        Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan Tuhan. Sedangkan kufur adalah tidka tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan, begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c.         Yunisia  dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat, perbuatan jahat, tidaklah merusak iman seseorang, mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
d.        Hasaniah, menyebut bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini.” Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir, begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah di India atau tempat lain.”


[1] W. Montgomery Watt, Early Islam: Collected Articles, (Eindenburg, 1990), hlm. 181

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena