Oleh Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A.
Asal Usul Kemunculan Murji’ah
Nama
Murji’ah dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan dan pengharapan. Maksud penundaan di sini adalah orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta
pasukannya masing-masing ke hari kiamat. Dan mengandung arti pengharapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah.
Kaum
Murji’ah muncul akibat adanya pertentangan politik dalam Islam dalam suasana
demikian, kaum murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Dalam teologi
mengenai dosa besar, kaum murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar masih mukmin. Aliran murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas
sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang
yang melakukan dosa besar.
Murji’ah
yang moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah dan
tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang ia lakukan dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya
sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.
Adapun
golongan murji’ah yang ekstrim tokohnya adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya
disebut Al-Jami’ah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya
pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidak menjadi kafir,
karena kafir dan iman tempatnya bukan di dalam bagian tubuh manusia tetapi di
dalam hati sanubari.
B.
Doktrin-doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut:[1]
1.
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak
2.
Penangguhan
Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin
3.
Pemberian
harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah
4.
Doktrin-doktrin
murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan para empiris dari
kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1.
Menunda
hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amir bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat
tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak
2.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar
3.
Meletakkan
(pentingnya) iman dari pada amal
4.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah
C.
Sekte-sekte Murji’ah
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah
menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murjiah moderat
berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal
dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni oleh Allah
sehingga tidak masuk neraka sama sekali, iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan
rasul-rasul-Nya serta apa saja yang tidak datang darinya dari keseluruhan dalam
garis besar.
Yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiah, Ash-Shalihiyah,
Al-Yunusia, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Jahmiah, kelompok Jahm bin Safwan dan para pengikutnya berpandangan bahwa
orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan,
tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan
pada bagian lain dalam manusia.
b.
Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
pengetahuan Tuhan. Sedangkan kufur adalah tidka tahu Tuhan. Shalat bukan
merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam
arti mengetahui Tuhan, begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah,
melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c.
Yunisia
dan Ubaidiyah,
melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat, perbuatan jahat, tidaklah
merusak iman seseorang, mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan
jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
d.
Hasaniah, menyebut bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan
melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu
adalah kambing ini.” Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir, begitu pula
orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi
saya tidak tahu apakah di India atau tempat lain.”
0 komentar:
Posting Komentar