Oleh: Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
A. Pemimpin dan Kepemimpinan
Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada
umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat
yang sesuai dengan kepemimpinan serta syarat-syarat apa yang perlu dimiliki
oleh seorang pemimpin yang baik. Meskipun demikian masih tetap sulit untuk
menerapkan seluruhnya, sehingga dalam praktek hanya beberapa pemimpin saja yang
dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan dapat membawa para
pengikutnya kepada keadaan yang diinginkan.
Pemimpin dan kepemimpinan dapat didekati dari
berbagai sudut (Thoha, 1986:3). Setiap pendekatan akan melahirkan pengertian
yang berbeda dengan pendekatan lainnya. Pemimpin dan kepemimpinan dibutuhkan
oleh manusia dikarenakan adanya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
masing-masing manusia. Pemimpin adalah seorang yang memiliki kecakapan tertentu
yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerjasama kearah
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bernard (dalam Mar’at, 1985
: 9) mengemukakan bahwa pemimpin dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan
harapan-harapan dari para anggota kelompok. Dengan demikian jelas bahwa
pemimpin perlu memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan anggota lainnya.
Kelebihan yang dimiliki beraneka ragam di antaranya adalah : kelebihan moral
atau akhlak, semangat kerja, kecerdasan, keterampilan dan keuletan.
Dalam menjelaskan mengenai konsepsi pemimpin
dan kepemimpinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya adalah:
- Kekuasaan,
yaitu kewenangan untuk bertindak bagi seorang pemimpin untuk menggerakan
para bawahannya agar mau dengan senang hati mengikuti kehendaknya dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
- Kewibawaan,
yaitu berbagai keunggulan yang dimiliki oleh seorang pemimpin sehingga
membedakan dengan yang dipimpinnya dengan keunggulan tersebut membuat
orang lain patuh dan bersedia melakukan kegiatan-kegiatan yang
dikehendakinya.
- Kemampuan,
yaitu keseluruhan daya baik berupa keterampilan sosial maupun keterampilan
teknis yang melebihi orang lain.
Berbicara lebih jauh mengenai kelebihan yang
perlu dimiliki seorang pemipin Stogdill (dalam Wahjosumidjo, 1974:47)
menyebutkan bahwa kelebihan-kelebihan tersebut adalah :
- Kapasitas;
kecerdasan, kemampuan berbicara, kemampuan menganalisis, dan kewaspadaan
yang menyeluruh.
- Prestasi
(achievement); memiliki gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, berprestasi
dalam bidang olah raga/seni dan lain-lain.
- Tanggung
jawab ; berinisiatif, mandiri, percaya diri dan bermotivasi untuk maju.
- Partisipasi;
bersosiabilitas yang tinggi, mampu berkomunikasi/bergaul, suka bekerjasama
dan mudah menyesuaikan diri serta humoris.
- Status;
meliputi kedudukan sosial ekonomi yang baik dan dikenal masyarakat luas.
- Situasi;
meliputi mental, status, keterampilan, kebutuhan, interest, objektif dan
sebagainya.
Empu Prapanca (dalam Wahjosumedjo, 1985:51-53)
mengemukakan sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang berhasil
adalah :
- Wijnana –
bersikap bijaksana,
- Mantri
Wira – sebagai pembela negara sejati,
- Wicaksanang
Naya – bijaksana, kemampuan menganalisis dan mengambil keputusan,
- Matanggwan
– mendapat kepercayaan bawahan,
- Satya
Bakti Haprabhu – loyal pada atasan,
- Wakjnana –
pandai berpidato dan diplomatis,
- Sajjawopasama
– tidak sombong, rendah diri, manusiawi,
- Dhirottsaha
– bersifat ajin dan kreatif,
- Tan Lanana
– bersifat gembira, periang,
- Disyacitta
– jujur dan terbuka,
- Tan
Satrisna – tidak egois,
- Masihi
Samastha Bhuwana – bersifat, cinta alam,
- Ginong
Pratidina – tekun menegakan kebenaran,
- Sumantrti
– sebagai abdi negara yang baik,
- Anayakan
Musuh – mampu membinasakan lawan.
Untuk memisahkan secara tegas mana pemimpin
dengan sebutan formal dan non formal sangatlah sulit. Meskipun demikian untuk
sedikit mengatasi kekaburan terminologi ini, sebutan pemimpin formal hanya
diperlukan bagi pemimpin yang secara langsung diangkat dan dipilih oleh
pemimpin yang lebih tinggi posisinya. Sedangkan sebutan pemimpin non formal
diperuntukan bagi pemimpin yang tidak diangkat dan dipilih langsung oleh
seseorang yang memegang posisi lebih tinggi, tetapi yang bersangkutan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap para pengikutnya dan warga masyarakat.
B. Perkembangan Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai ilmu
sosial terapan (applied social sciences). Hal ini didasarkan kepada
pemikiran bahwa kepemimpinan dengan prinsip-prinsipnya mempunyai manfaat
langsung dan tidak langsung terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan umat
manusia.
Kepemimpinan seperti halnya ilmu-ilmu yang
lain, mempunyai berbagai fungsi antara lain; menyajikan berbagai hal yang
berkaitan dengan permasalahan dalam kepemimpinan dan memberikan pengaruh dalam
menggunakan berbagai pendekatan dalam hubungannya dengan pemecahan aneka macam
persoalan yang mungkin timbul dalam ekologi kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai salah satu cabang ilmu
pengetahuan, mempunyai peran yang penting dalam rangka proses administrasi. Hal
ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang pemimpin merupakan
implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan
merupakan salah satu di antara peran administrator dalam rangka mempengaruhi
orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berbagai pendekatan/teori kepemimpinan pada
dasarnya berusaha mejelaskan sifat-sifat dasar kepemimpinan dan aspek proses
terjadinya pemimpin, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Teori X dan Teori Y
Teori ini dikembangkan oleh Douglas McGregor
(1906-1964) yang menjelaskan bahwa ada dua gaya kepemimpinan utama yang disebut
dengan teori X dan teori Y. Pendekatan teori X terlihat lebih otoriter
dan teori ini didasarkan kepada asumsi bahwa para bawahan perlu diawasi dan
diarahkan secara tegas. Secara rinci teori Douglas McGregor (dalam Sutarto,
1991 : 99 – 1001) ini dapat diuraikan sebagai berikut :
Teori X mengasumsikan :
- Pekerjaan
pada hakekatnya tidak disenangi oleh kebanyakan orang.
- Kebanyakan
orang tidaklah ambisius, mempunyai sedikit keinginan untuk bertanggung
jawab dan menyetujui untuk diarahkan.
- Kebanyakan
orang sedikit sekali mempunyai kreativitas dalam memecahkan masalah
organisasi.
- Motivasi
itu terjadi hanya pada tingkat fisiologis dan keamanan.
- Kebanyakan
orang harus diawasi secara ketat dan sering harus dipaksa untuk mencapai
tujuan organisasi
Sedangkan teori Y mengasumsikan :
- Pekerjaan
pada umumnya sama seperti bermain, jika tersedia kondisi yang
menyenangkan.
- Pengendalian
diri sendiri sering harus ada untuk mencapai tujuan organisasi.
- Kapasitas
berkreatif dalam memecahkan persoalan organisasi dapat diinstruksikan secara
luas pada populasi.
- Motivasi
terjadi baik pada tingkat afiliasi sosial, penghargaan dan perwujudan diri
maupun pada tingkat fisiologis keamanan.
- Orang
dapat mengatur diri sendiri dan kreatif bekerja jika diberikan motivasi.
2. Teori Z
Menurut Wiliam Quchi (1973:12), teori Z
berintikan bahwa produktivitas akan meningkat apabila melibatkan para pekerja.
Lebih jauh ditegaskan bahwa ciri-ciri organisasi tipe Z antara lain ; pola umum
masa jabatan yang panjang, berulang kali dan tegas melakukan pemerikasaan,
bekesinambungan antara pemakaian sistem informasi manajemen, perencanaan
formal, manajemen berdasarkan sasaran, serta teknik kuantitatif dan penilaian
pokok persoalan didasarkan pengalaman serta pembuatan keputusan dilakukan
dengan pertimbangan organisasi sebagai keseluruhan memakai data yang relevan.
Dengan demikian teori Z dalam pelaksanaannya
dapat membantu terjadinya pertukaran persahabatan antara lingkungan kerja
dengan kehidupan sosial serta menyatakan secara tidak langsung kepercayaan yang
sangat tinggi di antara para anggota. Teori ini menekankan materi pelajaran
lain yang penting tentang kepemimpinan, yaitu pengertian dan keluwesan.
C. Fungsi dan Ciri-ciri Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan seseorang tidaklah statis
artinya memiliki keluwesan sesuai dengan keadaan lingkungan yang
mempengaruhinya. Perilaku seorang pemimpin dalam keadaan darurat, umpamanya
banyak berbeda sekali dengan perilaku pada waktu yang normal.
Selanjutnya para pemimpin kadang menggunakan
teknik-teknik kepemimpinan positif dan pada saat-saat lain mungkin
menggunakan teknik-teknik kepemimpinan yang negatif. Para pemimpin yang efektif
mungkin berpendapat bahwa dalam beberapa situasi suatu bentuk kepemimpinan yang
efektif adalah otokratis dan dalam keadaan yang lain mungkin yang efektif
adalah gaya partisipatif. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik. Dalam
beberapa hal anggota didorong untuk turut serta dalam membuat keputusan yang
mempengaruhi terwujudnya cita-cita organisasi.dalam hal lain pendekatan yang menentukan
dan langsung lebih disukai karena tekanan-tekanan waktu atau sifat kelompok
kerja. Dengan demikian gaya kepemimpinan terbaik bagi situasi tertentu
dipengaruhi atau tergantung kepada faktor-faktor ; situasi, tipe para pengikut
dan tipe pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, maka harus
menyesuaikan gaya yang dianut dengan variabel-variabel tersebut. Gaya
kepemimpinan ini lazim dikenal dengan istilah “manajemen kemungkinan” atau
“situasional”.
Konsep kepemimpinan yang berlaku umum adalah
kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain dalam suatu arah tertentu.
Batasan ini memberi kesan manipulatif, meskipun demikian keadaan kita sendiri
dalam berperilaku dengan rekan-rekan atau orang tua sendiri menunjukkan
berlakunya konsep tersebut. Untuk mewujudkan cita-cita, kita mencoba
mempengaruhi perilaku orang-orang sekitar kita dalam suatu arah tertentu. Pada
dasarnya, usaha untuk mempengaruhi perilaku merupakan unsur pokok kepemimpinan.
Untuk mewujudkan tujuan pokok tersebut sebenarnya tidaklah harus mengandung
manipulasi atau tipu muslihat apabila teknik-teknik kepemimpinan digunakan.
Istilah kepemimpinan sering dipergunakan secara
silih berganti dengan istilah manajemen. Meskipun demikian kedua istilah ini
sebenarnya dapat dibedakan dalam berbagai segi. Kepemimpinan merupakan satu
aspek manajemen. Manajemen merupakan konsep yang lebih luas mencakup kegiatan
kepemimpinan, dan juga meliputi fungsi-fungsi non perilaku yang tidak langsung
atau langsung mempengaruhi orang lain. Manajemen merupakan suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pimpinan dan pengawasan
aktivitas orang-orang lain.
D. Fungsi Pemimpin Dalam Pengambilan Keputusan
Salah satu fungsi pemimpin dalam manajemen
adalah mengambil keputusan secara efektif. Keberadaan sumber-sumber, biaya,
bahan, keahlian, tenaga, pengetahuan, waktu dan ruang sangat terbatas, oleh
karena itu timbulah pengambilan keputusan. Dengan kata lain pengambilan
keputusan timbul karena kelangkaan berbagai sumber tersebut. Selain itu pilihan
timbul karena adanya momentum menguntungkan yang sifatnya terbatas dan saat
pertumbuhan yang berkepanjangan. Pengetahuan tentang pengambilan keputusan
secara efektif itu jarang sekali, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Untuk
menggantikan kesenjangan ini, dalam ilmu manajemen mulai dikenal demokrasi/
peranserta dan pengambilan keputusan. Tapi inipun tidak selalu baik untuk
segala situasi, oleh karena itu selalu dibubuhi kata-kata penghalus misalnya ,
seyogyanya diputuskan demikian.
Langkah pengambilan keputusan bervariasi,
meskipun demikian secara umum meliputi :
- Merumuskan
masalah
- Merumuskan
hasil yang diharapkan
- Mengembangkan
pilihan penyelesaian
- Mengetahui
apa yang harus dilaksnakan setelah keputusan diambil.
Dalam langkah merumuskan masalah, berarti
mengkaji tingkat kedalaman persoalan, tidak semata-mata dilihat dari kulitnya
yang nampak. Permasalahan yang dirumuskan secara sempurna berarti permasalahan
tersebut separohnya telah terselesaikan.
Dalam hal perumusan masalah, beberapa
pertanyaan akan timbul seperti; Jenis permasalahan apa yang sebenarnya
dihadapi? Masalah keuangan, kebendaan atau masalah kemanusiaan? Apakah
faktor-faktor yang dianggap kritis? Kapan harus diambil keputusan? Pernahkah
hal itu dahulunya diputuskan? Kapan harus diputuskan? Berapa biaya penyelesaian
keputusan tersebut? Yang menyelesaikan masalah itu dimasa lalu siapa?
Sumber-sumber tambahan apakah yang perlu digali? Fasilitas apa yang harus
dimiliki agar dapat membantu penyelesaian tersebut?
Masalah perlu dianalisis, bukan sekedar
harus diatasi untuk diselamatkan saja. Misalnya sebuah perusahaan, memutuskan
untuk mengadakan penghematan biaya secara ketat, padalah bila dianalisis dan
dirumuskan secara tepat, masalahnya adalah meningkatkan pendapatan dengan cara
meningkatkan penjualan dan harga yang pantas dan menguntungkan, bukan
peningkatan penjualan dengan banting harga yang akan merugikan sektor-sektor
lainnya.
Dari langkah-langkah tersebut di atas, perlu
diperhatikan pula berbagai kemungkinan kegagalan dalam mengambil keputusan di
antaranya adalah :
- Menemukan
jawaban yang tepat/benar bagi permasalahan yang salah. Usaha ini berarti
sia-sia dan buang waktu saja.
- Membuat
keputusan pada waktu yang tidak tepat. Mengambil keputusan terlalu dini
adalah tidak baik, atau mengambil keputusan terlambat juga dapat
menimbulkan kerugian.
- Membuat
keputusan yang tidak dapat dilaksanakan. Kesalahan pengambilan keputusan
ini, mungkin disebabkan pengambilan keputusan tanpa perencanaan yang
matang. Ada pengambilan keputusan secara intuitif emosional yang
sebenarnya harus diambil secara rasional berdasarkan fakta. Tetapi
sebaiknya ada pula keputusan yang dipertimbangkan secara jlimet
(terlalu teliti), rasional berdasarkan fakta, padahal seharusnya cukup
dipertimbangkan secara global dengan intuitif.
E. Kesimpulan
Seorang pemimpin atau manajer mempunyai
keahlian dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengembangan diri. Pengembangan
diri menghasilkan keterampilan-keterampilan seperti: keterampilan teknis,
keterampilan manajemen sumber daya manusia, dan keterampilan konseptual.
Keterampilan kepemimpinan dapat dikembangkan
dengan praktek biasa dan dengan mencoba-coba pada kerja. Walaupun banyak
manajer yang berketerampilan tinggi mencapai kedudukannya dan mengembangkan
kebolehannya dengan cara acak, dewasa ini digunakan pendekatan-pendekatan yang
lain yang lebih bersifat sistematis. Ada beberapa cara yang lebih cepat dapat
mengembangkan keterampilan manajer, yang jauh terhindar dari kebetulan yaitu :
pendidikan formal, pengalaman langsung di tempat kerja dan bacaan tambahan.
Apapun teknik yang digunakan untuk mengembangkan keterampilan manajemen
termasuk kepemimpinan, manajer yang potensial berkembang paling baik dalam
suasana pertumbuhan yang memungkinkan kebebasan untuk membuat kesalahan.
Pendidikan dapat menjadikan pekerjaan dan
pengalaman pribadi lebih mempunyai arti dan percobaan lebih sedikit membuat
kesalahan. Kursus-kursus dalam hubungan manusiawi, prilaku organisasi,
manajemen, manajemen kepegawaian, bisnis, dan pengetahuan budaya sering
memungkinkan orang maju lebih cepat dalam organisasi.
Pengalaman langsung di tempat kerja, yaitu
memperhatikan tentang manajemen dan mengamati manajer pasti diberi
wawasan-wawasan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang efektif. Organisasi
yang terorganisir dengan baik biasanya mempunyai program-program pengembangan
kepemimpinan dan manajemen berbentuk formal yang dibuat untuk membantu dan
mempercepat pengembangan kepemimpinan seorang karyawan.
Walau demikian kebanyakan organisasi menemukan
kesulitan berat serta kegagalan dalam menentukan manejer atau pemimpin untuk
mengisi kedudukan manajemen yang lowong tak terduga. Organisasi serta
perusahaan lain yang berpandangan jauh telah memprakarsai program-program
pelatihan serta pendidikan formal untuk menghasilkan manajer, menghasilkan
calon pemimpin dan kepemimpinan yang baik.
Daftar Pustaka
Abdulrachman, Arifin, H., 1979, Kerangka
Pokok-Pokok Management Umum, PT. Ihtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta
Bennis, Warren dan Nanus, Burt., 1985, Kepemimpinan, Strategi dalam Mengemban Tanggung Jawab, Alih bahasa Victor Purba, Erlangga, Jakarta
Hersey, Paul, Kenneth, Blanchard., 1981, Management of Organization Behavior, Terjemahan Nurtai, STKS, Bandung
Kartono, Kartini., 1986, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal itu, CV Rajawali, Jakarta
Mar’at, 1985, Pemimpin dan Kepemimpinan, Ghalia Indonesia, Jakarta
Ouchi, Wiliam., 1985, Teori Z; Bagaimana Amerika menghadapi Jepang, Dalam Dunia Bisnis, Aksara Persada, Jakarta
Pamudji, S., 1986, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta
Reddin, J. William., 1970, Managerial Effectiveness, Mc. Graw-Hill Book Company, New York
Siagian, S.P., 1988, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Bina Aksara, Jakarta
Stogdill, R.M., 1974, Handbook of Leadership, The Free Press, New York
Stoner, A.F., dan Wankel, Charles., 1986, Management, 3rd Edition, Englewood Cliffs, New Jersey
Sutarno., 1991, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sudriamunawar, Haryono., 2002, Pengantar Administrasi Pembangunan, CV Ramadhan, Bandung
Syamsi, Ibnu., 1989, Pengambilan Keputusan, Bina Aksara, Jakarta
Thoha, Miftah., 1986, Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku, CV Rajawali, Jakarta
Bennis, Warren dan Nanus, Burt., 1985, Kepemimpinan, Strategi dalam Mengemban Tanggung Jawab, Alih bahasa Victor Purba, Erlangga, Jakarta
Hersey, Paul, Kenneth, Blanchard., 1981, Management of Organization Behavior, Terjemahan Nurtai, STKS, Bandung
Kartono, Kartini., 1986, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal itu, CV Rajawali, Jakarta
Mar’at, 1985, Pemimpin dan Kepemimpinan, Ghalia Indonesia, Jakarta
Ouchi, Wiliam., 1985, Teori Z; Bagaimana Amerika menghadapi Jepang, Dalam Dunia Bisnis, Aksara Persada, Jakarta
Pamudji, S., 1986, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta
Reddin, J. William., 1970, Managerial Effectiveness, Mc. Graw-Hill Book Company, New York
Siagian, S.P., 1988, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Bina Aksara, Jakarta
Stogdill, R.M., 1974, Handbook of Leadership, The Free Press, New York
Stoner, A.F., dan Wankel, Charles., 1986, Management, 3rd Edition, Englewood Cliffs, New Jersey
Sutarno., 1991, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sudriamunawar, Haryono., 2002, Pengantar Administrasi Pembangunan, CV Ramadhan, Bandung
Syamsi, Ibnu., 1989, Pengambilan Keputusan, Bina Aksara, Jakarta
Thoha, Miftah., 1986, Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku, CV Rajawali, Jakarta
Stogdill (1974)
menyimpulkan
bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak
sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut.
Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur
yang sama.
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
- Reward
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai
kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang
mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
- Coercive
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai
kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti
arahan-arahan pemimpinnya
- Legitimate
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak
untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
- Referent
power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap
sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena
karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
- Expert
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah
seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin
dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
Terimakasih artikelnya,
BalasHapuslengkap sekali dg referensi, sangat bermanfa'at ^^
sama-sama. semoga bermanfaat
BalasHapus