Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Sabtu, 14 April 2012

Eksistensialisme


Oleh Daqoiqul Misbah

JEAN PAUL SARTRE

A.      Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.

Melalui metode fenomenologi Husserl itulah dia betul-betul memantapkan kedudukannya sebagai seorang filosof yang mempunyai corak dan kekhasan tersendiri, serta mengembangkan filsafat tentang eksistensi manusia. Selesai belajar dari Husserl, dia pulang ke negerinya dan mengajar di La Havre dan kemudian di Lycee Pasteur.

B.       Pemikiran J.P.Sartre
Permasalahan Ontologi
Dasar-dasar ontologi Sartre akan sulit dipahami tanpa mengaitkannya dengan Heidegger sebagai gurunya. Dan diapun tidak dapat dilepaskan dengan Husserl dan Hegel. Ia tidak dapat disamakan dengan Descartes, hal tersebut sangat penting artinya karena fenomenologi khususnya Husserl secara praktis membatasi diri pada penelaahan kesadaran, dengan menyatakan bahwa kesadaran itu intensional serta menunjukkan kritik terhadap Descartes yang engatakan “Cogito Ergo Sum”.
Heidegger yang dipengaruhi Husserl, dapat dilihat dengan pendekatan fenomenologis yang memperhatikan gejala-gejala beradanya manusia. Dia dengan gamblang menguraikan langkah-langkah bagaimana manusia tampil dalam cara beradanya. Fenomena cara beradanya manusia diselaminya ke saripatinya dan dikupas tanpa prasangka. Manusia mau dilepas dan dilihat dengan pemunculannya yang apa adanya (khas) dalam dunia ini. Dan inilah pertanyaan Heidegger itu: “mengapa ada sesuatu dan ada ketiadaan”. Ternyata manusia adalah makhluk yang menanyakan makna tentang “ada”. Maka Heidegger malakukan analisa terhadap “Dasein”.
  
Karya Sartre yang terkenal mengenai buah pemikirannya akan kami mulai dengan:
1.        “La Nausee”
Menurut arti kata “ Nausee” dapat diterjemahkan dengan “rasa jemu; rasa hendak muntah, rasa mual atau muak, akan tetapi ingatlah bahwa pikiran seorang filosof tidak pernah dapat disalin dengan satu kata. Dalam sebuah roman yang berjudul “La Nausee” Sartre melukiskan bagaimana seseorang dengan sekonyong-konyong menghadapi hidupnya dan keadaaan di sekitarnya sebagai sesuatu, yang menimbulkan Nausee atau rasa mual itu. Sartre mengatakan, bahwa jika orang memandang betul-betul maka seluruh realitas dan manusia sendiri itu adalah  amorph, artinya tanpa aturan,tanpa ketentuan,tanpa warna, dan tanpa rupa, itulah yang disebut Nausee, karena manusia jika menghadapi keadaan yang sebenarnya itu, merasa tidak tahan, merasa putus asa dan tidak ada harapan, itulah hidup manusia menurut Sartre.
2.        “L’etre – en – soi”
“Etre” berarti ada atau berada, atau juga sesuatu yang ada. Kata “en-soi” memiliki makna hampir mirip dengan kata “an-sich" dari Jerman, tetapi kata “en-soi” dari Sartre tidak bisa disamakan begitu saja dengan kata “an-sich”.
Yang menjadi pangkal tolak dari semua filsafat ialah tangkapan kita. Apakah yang kita tangkap? Kita menangkap realitas : yang dimaksud dengan realitas ialah barang-barang yang ada. Kita mengerti bumi yang kita injak, kita mengerti hewan-hewan, kita mengerti sesama manusia, kita mengerti bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ada. Semua itu disebut realitas yang berasal dari kata latin “res”, berarti barang, atau sesuatu yang ada.
Seperti kita lihat, kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (dalam arti: tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Di satu pihak terdapat kesadaran, di lain pihak terdapat Ada-nya fenomena-fenomena atau Ada begitu saja. Untuk menunjukkan Ada, Sartre menciptakan istilah etre-en-soi (being-in-itself; Ada pada dirinya). Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan atau pun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain.[1]


3.        “L’etre – pour – soi”
Etre – en – soi seperti yang dimaksud sebelumnya adalah pengada yang tidak sadar, atau barang-barang yang tidak sadar. Jadi, etre – pour – soi adalah pengada yang sadar yang mana menurut Sartre adalah manusia. Perlu ditelisik lebih jauh apa makna sadar itu sendiri menurut Sartre, bahwa sadar berarti sadar tentang sesuatu. Apakah sesuatu itu? Sesuatu itu adalah hal yang di luar kesadaran itu sendiri. Sadar tentang sesuatu yang di luar, itu berarti berhubungan dengan sesuatu yang diluar dan sesuatu yang lain. Tetapi ada pendapat Sartre yang agak mengejutkan bahwa sadar tentang sesuatu berarti : meniadakan sesuatu. Jadi sadar tentang diri sendiri berarti meniadakan diri sendiri. Untuk merumuskan pendapatnya itu, dia mencetak istilah baru yaitu neantiser. Neant berarti tidak atau tidak ada atau ketiadaan.
4.        “La Liberte”
Dalam filsafat Sartre “kebebasan” merupakan suatu kata kunci.  Kebebasan tidak merupakan salah satu cirri yang menandai manusia, di samping sekian banyak cara lainnya. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Suatu cara lain untuk “mendefinisikan” manusia pada dasarnya menunjuk kepada hal yang sama, yaitu manusia adalah satu-satunya makhluk di mana eksistensi mendahului esensi.
Manusia sebagai “for-itself” adalah makhluk yang paling mampu menatap sesuatu dengan hasrat tertentu, maka dia mengantisipasikan citra idealnya sendiri untuk menambah medan sesuatu yang ditatapnya. Dengan demikian terserahlah mana yang hendak diisikan kepada obyek yang ditatapnya. Dan dengan sadar yang demikian, serta-mertalah kebebasan itu ada pertama kali. Meja, kursi, batu, bahkan istrinya, ada di seberang sana. Dengan prinsip tersebut, Sartre mengidentifikasikan kesadaran dengan kebebasan.
Dengan kata lain Sartre hendak menerangkan bahwa kesadaran ini sekaligus merupakan penghayatan pertama kali dari kebebasan individu. Kebebasan adalah kesadaran ketika dia mampu dan mengerti serta mengisi makna sesuatu dan pada eksistensi pribadi. [2]
5.        “L’autrui”
Telah dipaparkan sebelumnya mengenai pemikiran Sartre mulai dari “nausee”, tentang pengada yan tak sadar dan pengada yang sadar dan tentang kemerdekaan manusia. Sekarang mengenai sesama manusia atau lebih tepatnya tentang ada bersama.
Dalam hidup sehari-hari kita ada bersama dengan sesama manusia; kita bergaul, bersenda-gurau, makan bersama, bertindak bersama; kita cinta, kita bersama merasa sedih atau bahagia. Dalam semua itu kita mengalami, atau menghayati, bahwa kita berada bersama dengan sesama manusia.
Sartre mengajarkan, bahwa hubungan dengan sesama manusia itu merupakan unsur yang mutlak dalam hidup kita. Ada bersama itu bukanlah sesuatu yang hanya insidentil, hanya kebetulan, bisa terjadi dan bisa tidak terjadi.[3]


KARL JASPERS

1.        Riwayat  Hidup
Karl Theodor Jaspers lahir di Oldenburg, Jerman Utara, 23 Februari 1883. Ayahnya seorang ahli hukum dan direktur bank. Jaspers  bersekolah di Gymnasium Oldenburg bersama Rudolf Bultmann. Di universitas Heidelberg ia belajar hukum, tetapi kemudian ia belajar kedokteran di Munchen. Sebagai spesialisasi ia memilih psikiatri. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allgemeine Psychopatologhie, menjadi pegangan klasik yang masih tetap dipakai.
Mula-mula Jaspers bekerja sebagai psikiater di universitas Heidelberg, tetapi di universitas yang sama sejak tahun 1916 ia menjadi dosen untuk psikologi, dan sejak tahun 1922 menjadi guru besar untuk filsafat. Tahun 1933 Jaspers dipecat oleh kaum Nazi karena secara terbuka ia menyerang mereka. Persahabatannya dengan Heidegger, yang pro-Hitler berakhir dalam periode ini.[4]

2.         Pikiran-pikiran pokok
a.         Filsafat eksistensi
Menurut Japers tugas filsafat itu: mencari jawaban atas pertanyaan mengenai makna hidup, serta mencari kejelasan mengenai cara hidup yang harus dipilih. Dalam bagian pertama tulisan philosophie, yang berjudul "orientasi mengenaidunia", dijelaskan bahwa kita tidak akan memperoleh keterangan mengenai makna hidup melalui "jalan pengetahuan", kendatipun jalan ini sudah disempurnakan dalam ilmu-ilmu. Jawaban harus dicari dalam sesuatu yang oleh Jaspers disebut Existenzerhellung, "penerangan eksistensi".
Apa itu "eksistensi"? Jaspers berkata bahwa apa yang dalam bahasa mistis disebut "jiwa" dan "Allah", dalam filsafat disebut "eksistensi" dan "transendensi''. Manusia ada di dunia, tetapi "adanya"(Dasein) ini belum merupakan "eksistensi". "Adanya"  manusia termasuk bidang empiris, tertangkap dalam waktu. Sebagai Dasein kita akan meninggal. Tetapi "eksistensi" kita bersifat "kemungkinan". Eksistensi itu  suatu panggilan untuk mengisi karunia kebebasan kita. Dalam waktu manusia harus memutuskan bagaimana ia mau menjadi secara abadi. (Di sini kelihatan pengaruh Kierkegaard, yang mengatakan:"Saya menjadi seperti saya percaya").
Ada banyak hal yang tidak kita ketahui. Ketidaktahuan ini memaksa kita untuk mengambil keputusan-keputusan. Dalam keputusan-keputusan ini saya menjadi seorang pribadi, dan saya menentukan bentuk abadi saya. Melalui keputusan-keputusannya manusiamenciptakan eksistensinya, itu terjadi bersama orang lain. Tema komunikasi memainkan peranan amat penting bagi Jaspers, keinginan untuk berkomunikasi dengan sesama menjadi menjadi alasan mengapa ia mulai berfilsafat.
b.        Situasi-situasi perbatasan
Adanya manusia selalu ditentukan oleh situasi-situasi kongkrit. Demikian juga eksistensi manusia selalu "nampak" dalam situasi-situasi tertentu, situasi-situasi di mana manusia menemukan diri sebagai "eksistensi", disebut Japers "situasi-situasi perbatasan" (Grenzsituationen, ultimate situations). Dalam konfrontasi dengan kematian, penderitaan, perjuangan serta dalam kesalahan kita merasa betapa fana hidup kita. Situasi-situasi perbatasan memperlihatkan bahwa hidup kita dan dunia kita tidak merupakan kenyataan terakhir bahwa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yamg "memuat" kita dan "membawa" kita. Semakin kita sadar akan batas-batas hidup, dunia, dan pengetahuan kita, semakin jelas juga bahwa ada sesuatu di seberang batas-batas ini. Yang di seberang semua batas oleh Jaspers diebut "transendensi" atau"keilahian". Keilahian selalu berbicara melalui simbol-simbol tertentu. Jaspers memakai untuk simbol-simbol ini dengan istilah chiffer, dari kata Arab sifr, yang merupakan terjemahan kata sansekerta sunya, "kekosongan".
c.         Bahasa chiffer-chiffer
Bahasa chiffer-chiffer menjadi penengah antara eksistensi dan transendensi. Keilahian itu tetap tersembunyi, tetapi manusia dapat membaca bahasa yang ditulis oleh keilahian, sejauh ia menjadi eksistensi. Artinya, sejauh ia mengisi kebebasannya. Manusia bebas karena Allah tertentu dalam sejarah. Menurut dia segala sesuatu dapat merupakan wahyu. Segala sesuatu dapat menjadi chiffer, artinya, menjadi "bayang","gema", atau "jejak" dari transendensi. Itu berlaku untuk alam, sejarah, kesusasteran,seni, kitab suci, filsafat, mistik, dan teologi. Namun chiffer-chiffer  berbicara paling kuat dalam situasi-situasi perbatasan.[5]

d.        Allah dan agama
Jaspers yang banyak menderita dari kekacauan ideologis dan poltik, dari prasangka-prasangka berasarkan perbedaan-perbedaan agama, suku, dan kebudayaan, mengharap bahwa kita berhasil menciptakan suatu dasar yang kuat bagi kedamaian yang mantap. Untuk itu dibutuhkan komunikasi universal. Allah tetap berbeda dari segala sesuatu yang dikatakan manusia mengenai dia. Kalau kita mengetahui akan hal itu, kalau disadari bahwa semua dogmatik harus dikembalikan kepada chiffer atau kepada bahasa simbolis, maka dapat dimulai suatu dialog yang subur dan sangat dibutuhkan.
e.         Di seberang semua chiffer
Menurut jaspers dua kali dalam sejarah bangsa manusia diperlihatkan apa yang terjadi kalau manusia mencoba untuk mencapai kenyataan ilahi di seberang semua chiffer. Contoh pertama ialah candi Borobudur, sedangkan yang kedua pemikiran mistikus Eckhart (1260-1327). Baik Borobudur maupun mistik eckhart memperlihatkan bagaimana sesudah semua gambaran, simbol, perkataan dan pikiran ditinggalkan akhirnya hanya tinggal kesunyian. Jiwa manusia menjadi kosong. Semua taraf kesadaran dilewati dan ditinggalkan, dan justru itu merupakan persiapan optimal untuk bertemu dengan keilahian.



DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat KOntemporer (jilid II); Prancis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Drijarkara, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan Jakarta
Hamersma, Harry. 1992. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Muzairi, H. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre; Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1] K. Bertens, Filsafat Barat KOntemporer (jilid II); Prancis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. IV, hlm. 101-102
[2] H. Muzairi, MA, Eksistensialisme Jean Paul Sartre; Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, hlm. 132
[3] N. Drijarkara S.J, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan Jakarta, 1978), cet. III, hlm. 87-88
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. IV, hlm. 140
[5] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet. V, hlm. 119-122

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena