Oleh Daqoiqul Misbah
JEAN PAUL SARTRE
A.
Riwayat
Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang
hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni
1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia
termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan
belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi
perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Melalui metode fenomenologi Husserl itulah dia
betul-betul memantapkan kedudukannya sebagai seorang filosof yang mempunyai
corak dan kekhasan tersendiri, serta mengembangkan filsafat tentang eksistensi
manusia. Selesai belajar dari Husserl, dia pulang ke negerinya dan mengajar di
La Havre dan kemudian di Lycee Pasteur.
B.
Pemikiran
J.P.Sartre
Permasalahan Ontologi
Dasar-dasar ontologi Sartre akan sulit dipahami
tanpa mengaitkannya dengan Heidegger sebagai gurunya. Dan diapun tidak dapat
dilepaskan dengan Husserl dan Hegel. Ia tidak dapat disamakan dengan Descartes,
hal tersebut sangat penting artinya karena fenomenologi khususnya Husserl
secara praktis membatasi diri pada penelaahan kesadaran, dengan menyatakan
bahwa kesadaran itu intensional serta menunjukkan kritik terhadap Descartes
yang engatakan “Cogito Ergo Sum”.
Heidegger yang dipengaruhi Husserl, dapat dilihat
dengan pendekatan fenomenologis yang memperhatikan gejala-gejala beradanya
manusia. Dia dengan gamblang menguraikan langkah-langkah bagaimana manusia
tampil dalam cara beradanya. Fenomena cara beradanya manusia diselaminya ke
saripatinya dan dikupas tanpa prasangka. Manusia mau dilepas dan dilihat dengan
pemunculannya yang apa adanya (khas) dalam dunia ini. Dan inilah pertanyaan
Heidegger itu: “mengapa ada sesuatu dan ada ketiadaan”. Ternyata manusia adalah
makhluk yang menanyakan makna tentang “ada”. Maka Heidegger malakukan analisa
terhadap “Dasein”.
Karya
Sartre yang terkenal mengenai buah pemikirannya akan kami mulai dengan:
1.
“La
Nausee”
Menurut arti kata “ Nausee” dapat diterjemahkan
dengan “rasa jemu; rasa hendak muntah, rasa mual atau muak, akan tetapi
ingatlah bahwa pikiran seorang filosof tidak pernah dapat disalin dengan satu
kata. Dalam sebuah roman yang berjudul “La Nausee” Sartre melukiskan bagaimana
seseorang dengan sekonyong-konyong menghadapi hidupnya dan keadaaan di
sekitarnya sebagai sesuatu, yang menimbulkan Nausee atau rasa mual itu. Sartre
mengatakan, bahwa jika orang memandang betul-betul maka seluruh realitas dan
manusia sendiri itu adalah amorph,
artinya tanpa aturan,tanpa ketentuan,tanpa warna, dan tanpa rupa, itulah yang
disebut Nausee, karena manusia jika menghadapi keadaan yang sebenarnya itu, merasa
tidak tahan, merasa putus asa dan tidak ada harapan, itulah hidup manusia
menurut Sartre.
2.
“L’etre
– en – soi”
“Etre” berarti ada atau berada, atau juga sesuatu
yang ada. Kata “en-soi” memiliki makna hampir mirip dengan kata “an-sich"
dari Jerman, tetapi kata “en-soi” dari Sartre tidak bisa disamakan begitu saja
dengan kata “an-sich”.
Yang menjadi pangkal tolak dari semua filsafat ialah
tangkapan kita. Apakah yang kita tangkap? Kita menangkap realitas : yang
dimaksud dengan realitas ialah barang-barang yang ada. Kita mengerti bumi yang
kita injak, kita mengerti hewan-hewan, kita mengerti sesama manusia, kita
mengerti bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ada. Semua itu disebut realitas yang
berasal dari kata latin “res”, berarti barang, atau sesuatu yang ada.
Seperti kita lihat, kesadaran adalah kesadaran akan
sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (dalam
arti: tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Di satu pihak terdapat kesadaran,
di lain pihak terdapat Ada-nya fenomena-fenomena atau Ada begitu saja. Untuk
menunjukkan Ada, Sartre menciptakan istilah etre-en-soi
(being-in-itself; Ada pada dirinya). Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam,
masa depan; tidak mempunyai kemungkinan atau pun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja,
tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang
lain.[1]
3.
“L’etre
– pour – soi”
Etre – en – soi seperti yang dimaksud sebelumnya
adalah pengada yang tidak sadar, atau barang-barang yang tidak sadar. Jadi,
etre – pour – soi adalah pengada yang sadar yang mana menurut Sartre adalah
manusia. Perlu ditelisik lebih jauh apa makna sadar itu sendiri menurut Sartre,
bahwa sadar berarti sadar tentang sesuatu. Apakah sesuatu itu? Sesuatu itu
adalah hal yang di luar kesadaran itu sendiri. Sadar tentang sesuatu yang di
luar, itu berarti berhubungan dengan sesuatu yang diluar dan sesuatu yang lain.
Tetapi ada pendapat Sartre yang agak mengejutkan bahwa sadar tentang sesuatu
berarti : meniadakan sesuatu. Jadi sadar tentang diri sendiri berarti
meniadakan diri sendiri. Untuk merumuskan pendapatnya itu, dia mencetak istilah
baru yaitu neantiser. Neant berarti tidak atau tidak ada atau ketiadaan.
4.
“La
Liberte”
Dalam filsafat Sartre “kebebasan” merupakan suatu
kata kunci. Kebebasan tidak merupakan
salah satu cirri yang menandai manusia, di samping sekian banyak cara lainnya.
Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Manusia dapat didefinisikan sebagai
kebebasan. Suatu cara lain untuk “mendefinisikan” manusia pada dasarnya menunjuk
kepada hal yang sama, yaitu manusia adalah satu-satunya makhluk di mana
eksistensi mendahului esensi.
Manusia sebagai “for-itself” adalah makhluk yang
paling mampu menatap sesuatu dengan hasrat tertentu, maka dia mengantisipasikan
citra idealnya sendiri untuk menambah medan sesuatu yang ditatapnya. Dengan
demikian terserahlah mana yang hendak diisikan kepada obyek yang ditatapnya.
Dan dengan sadar yang demikian, serta-mertalah kebebasan itu ada pertama kali.
Meja, kursi, batu, bahkan istrinya, ada di seberang sana. Dengan prinsip
tersebut, Sartre mengidentifikasikan kesadaran dengan kebebasan.
Dengan kata lain Sartre hendak menerangkan bahwa
kesadaran ini sekaligus merupakan penghayatan pertama kali dari kebebasan
individu. Kebebasan adalah kesadaran ketika dia mampu dan mengerti serta
mengisi makna sesuatu dan pada eksistensi pribadi. [2]
5.
“L’autrui”
Telah dipaparkan sebelumnya mengenai pemikiran
Sartre mulai dari “nausee”, tentang pengada yan tak sadar dan pengada yang
sadar dan tentang kemerdekaan manusia. Sekarang mengenai sesama manusia atau
lebih tepatnya tentang ada bersama.
Dalam hidup sehari-hari kita ada bersama dengan
sesama manusia; kita bergaul, bersenda-gurau, makan bersama, bertindak bersama;
kita cinta, kita bersama merasa sedih atau bahagia. Dalam semua itu kita
mengalami, atau menghayati, bahwa kita berada bersama dengan sesama manusia.
Sartre mengajarkan, bahwa hubungan dengan sesama
manusia itu merupakan unsur yang mutlak dalam hidup kita. Ada bersama itu bukanlah
sesuatu yang hanya insidentil, hanya kebetulan, bisa terjadi dan bisa tidak
terjadi.[3]
KARL JASPERS
1.
Riwayat Hidup
Karl Theodor Jaspers lahir di Oldenburg, Jerman Utara, 23 Februari 1883.
Ayahnya seorang ahli hukum dan direktur bank. Jaspers bersekolah di Gymnasium Oldenburg bersama
Rudolf Bultmann. Di universitas Heidelberg ia belajar hukum, tetapi kemudian ia
belajar kedokteran di Munchen. Sebagai spesialisasi ia memilih psikiatri. Studi
Jaspers mengenai psikiatri Allgemeine Psychopatologhie, menjadi pegangan
klasik yang masih tetap dipakai.
Mula-mula Jaspers bekerja sebagai psikiater di universitas Heidelberg,
tetapi di universitas yang sama sejak tahun 1916 ia menjadi dosen untuk
psikologi, dan sejak tahun 1922 menjadi guru besar untuk filsafat. Tahun 1933
Jaspers dipecat oleh kaum Nazi karena secara terbuka ia menyerang mereka.
Persahabatannya dengan Heidegger, yang pro-Hitler berakhir dalam periode ini.[4]
2.
Pikiran-pikiran pokok
a.
Filsafat eksistensi
Menurut Japers tugas filsafat itu: mencari jawaban atas pertanyaan mengenai
makna hidup, serta mencari kejelasan mengenai cara hidup yang harus dipilih.
Dalam bagian pertama tulisan philosophie, yang berjudul "orientasi
mengenaidunia", dijelaskan bahwa kita tidak akan memperoleh keterangan
mengenai makna hidup melalui "jalan pengetahuan", kendatipun jalan
ini sudah disempurnakan dalam ilmu-ilmu. Jawaban harus dicari dalam sesuatu
yang oleh Jaspers disebut Existenzerhellung, "penerangan
eksistensi".
Apa itu "eksistensi"? Jaspers berkata bahwa apa yang dalam bahasa
mistis disebut "jiwa" dan "Allah", dalam filsafat disebut
"eksistensi" dan "transendensi''. Manusia ada di dunia, tetapi
"adanya"(Dasein) ini belum merupakan "eksistensi".
"Adanya" manusia termasuk
bidang empiris, tertangkap dalam waktu. Sebagai Dasein kita akan meninggal.
Tetapi "eksistensi" kita bersifat "kemungkinan". Eksistensi
itu suatu panggilan untuk mengisi
karunia kebebasan kita. Dalam waktu manusia harus memutuskan bagaimana ia mau
menjadi secara abadi. (Di sini kelihatan pengaruh Kierkegaard, yang
mengatakan:"Saya menjadi seperti saya percaya").
Ada banyak hal yang tidak kita ketahui. Ketidaktahuan ini memaksa kita
untuk mengambil keputusan-keputusan. Dalam keputusan-keputusan ini saya menjadi
seorang pribadi, dan saya menentukan bentuk abadi saya. Melalui
keputusan-keputusannya manusiamenciptakan eksistensinya, itu terjadi bersama
orang lain. Tema komunikasi memainkan peranan amat penting bagi Jaspers,
keinginan untuk berkomunikasi dengan sesama menjadi menjadi alasan mengapa ia
mulai berfilsafat.
b.
Situasi-situasi perbatasan
Adanya manusia selalu ditentukan oleh situasi-situasi
kongkrit. Demikian juga eksistensi manusia selalu "nampak" dalam
situasi-situasi tertentu, situasi-situasi di mana manusia menemukan diri
sebagai "eksistensi", disebut Japers "situasi-situasi
perbatasan" (Grenzsituationen, ultimate situations). Dalam
konfrontasi dengan kematian, penderitaan, perjuangan serta dalam kesalahan kita
merasa betapa fana hidup kita. Situasi-situasi perbatasan memperlihatkan bahwa
hidup kita dan dunia kita tidak merupakan kenyataan terakhir bahwa ada sesuatu
yang lebih besar, sesuatu yamg "memuat" kita dan "membawa"
kita. Semakin kita sadar akan batas-batas hidup, dunia, dan pengetahuan kita,
semakin jelas juga bahwa ada sesuatu di seberang batas-batas ini. Yang di
seberang semua batas oleh Jaspers diebut "transendensi"
atau"keilahian". Keilahian selalu berbicara melalui simbol-simbol
tertentu. Jaspers memakai untuk simbol-simbol ini dengan istilah chiffer,
dari kata Arab sifr, yang merupakan terjemahan kata sansekerta sunya,
"kekosongan".
c.
Bahasa chiffer-chiffer
Bahasa chiffer-chiffer menjadi penengah antara
eksistensi dan transendensi. Keilahian itu tetap tersembunyi, tetapi manusia
dapat membaca bahasa yang ditulis oleh keilahian, sejauh ia menjadi eksistensi.
Artinya, sejauh ia mengisi kebebasannya. Manusia bebas karena Allah tertentu
dalam sejarah. Menurut dia segala sesuatu dapat merupakan wahyu. Segala sesuatu
dapat menjadi chiffer, artinya, menjadi "bayang","gema",
atau "jejak" dari transendensi. Itu berlaku untuk alam, sejarah,
kesusasteran,seni, kitab suci, filsafat, mistik, dan teologi. Namun chiffer-chiffer berbicara paling kuat dalam situasi-situasi
perbatasan.[5]
d.
Allah dan agama
Jaspers yang banyak menderita dari kekacauan ideologis
dan poltik, dari prasangka-prasangka berasarkan perbedaan-perbedaan agama,
suku, dan kebudayaan, mengharap bahwa kita berhasil menciptakan suatu dasar
yang kuat bagi kedamaian yang mantap. Untuk itu dibutuhkan komunikasi
universal. Allah tetap berbeda dari segala sesuatu yang dikatakan manusia
mengenai dia. Kalau kita mengetahui akan hal itu, kalau disadari bahwa semua
dogmatik harus dikembalikan kepada chiffer atau kepada bahasa simbolis, maka
dapat dimulai suatu dialog yang subur dan sangat dibutuhkan.
e.
Di seberang semua chiffer
Menurut jaspers dua kali dalam sejarah bangsa manusia
diperlihatkan apa yang terjadi kalau manusia mencoba untuk mencapai kenyataan
ilahi di seberang semua chiffer. Contoh pertama ialah candi Borobudur,
sedangkan yang kedua pemikiran mistikus Eckhart (1260-1327). Baik Borobudur
maupun mistik eckhart memperlihatkan bagaimana sesudah semua gambaran, simbol,
perkataan dan pikiran ditinggalkan akhirnya hanya tinggal kesunyian. Jiwa
manusia menjadi kosong. Semua taraf kesadaran dilewati dan ditinggalkan, dan justru
itu merupakan persiapan optimal untuk bertemu dengan keilahian.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, K.
2002. Filsafat Barat Kontemporer;
Inggris-Jerman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bertens, K.
2006. Filsafat Barat KOntemporer (jilid
II); Prancis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Drijarkara, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: PT
Pembangunan Jakarta
Hamersma, Harry.
1992. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Muzairi, H. 2002.
Eksistensialisme Jean Paul Sartre; Sumur
Tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] K. Bertens, Filsafat Barat KOntemporer (jilid II); Prancis, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. IV, hlm. 101-102
[2] H. Muzairi, MA, Eksistensialisme Jean Paul Sartre; Sumur
Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. I,
hlm. 132
[3] N. Drijarkara S.J, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT
Pembangunan Jakarta, 1978), cet. III, hlm. 87-88
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002), cet. IV, hlm. 140
[5] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet. V, hlm. 119-122
0 komentar:
Posting Komentar