A.
PENDAHULUAN
Sifat buruk dapat dihapuskan melalui perbuatan baik,
keburukan dapat dihilangkan dengan kebaikan; semua yang kotor dapat dibersihkan
dengan sesuatu yang murni. Gagasan jiwa sebagai cermin, mencerminkan gambaran
Tuhan dibandingkan dengan kecermelangannya sendiri yang dipakai oleh para sufi
Muslim. Gagasan cermin yang berkarat dan kebutuhan menyemirnya itu sangat
digandrungi oleh para sufi generasi selanjutnya. Penegasan bahwa hati dan
pikiran yang perlu dibersihkan, dan kenyataan bahwa ibadah ritual yang
dilakukan dan amal shalih saja dirasakan oleh para sufi belum memadai. Hal
inilah yang mendorong mereka para sufi periode awal untuk melakukan meditasi
dan perenungan. Kepuasan rohaniah yang yang sejati seperti inilah yang
mendorong terbentuknya pemisah yang tegas antara hakikat yang sementara dan
abadi, serta pembatasan yang jelas antara kehidupan duniawi dibandingkan dengan
kehidupan yang kekal bersama Tuhan.[1]
Untuk itu marilah kita kupas pembahasan mengenai mistisisme atau tasawuf secara
lebih mendalam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya
rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen),
gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister
gehuld).[2]
Mistisisme dalam Islam diberi nama
tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam
istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak
dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Mistisisme atau
tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.[3]
Berbicara
tentang mistisisme Islam bisa kita dapat hanya jika kita memahami makna orisinil istilah
itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi. Kita harus ingat bahwa diam
atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar
kata mysterion dan mistisisme.[4] Menurut Lorens Bagus mistisisme[5]
adalah suatu
pendekatan spiritual, dan nondiskurtif kepada persekutuan jiwa dengan Allah, atau apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam.[6]
Tasawuf adalah sebuah jalan kebenaran dan petunjuk.
Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, menghambakan diri
semata kepada Allah.[7]
2.
Tokoh-tokoh Utama
Ada beberapa tokoh tasawuf, yang tidak boleh dilewatkan dalam kajian
tasawuf. Mereka adalah (1) Dzû al-Nûn al-Mishrî, (2) Abû Manshûr al-Hallâj,
(3) Ibn ‘Arabî, dan (4) Jalâl al-Dîn Rûmî.
a.
Dzû al-Nûn al-Mishrî (165-245 H/ 781-859 M)
Ia adalah Imam sepajang masa, sufi fenomenal sepanjang sejarah, dan juga
pemuka komunitas Sufi. Ia adalah sufi pertama yang mengungkapkan isyarat (simbol)
dengan ibarat (verbal), dan pembuka jalan perbincangan mengenai jalan hidup
sufistik.
b.
Abû Manshûr al-Hallâj (w. 310 H/922 M)
Dalam sejarah sufi, Ia dikenal sebagai orang yang mengatakan “aku adalah
Tuhan,” (anâ al-Haqq). Selama perjalanan pertama hajinya ia tidak
beranjak selama satu tahun penuh dari ruang masjid. Para pengunjung yang
menyaksikannya ketika ia duduk di terik matahari di atas sebuah batu dengan
peluh mengucur di seluruh tubuhnya, lebih terpesona oleh kekerasan tekadnya
ketimbang kesalehannya. Ketika ia kembali ke Baghdad ia menjalin sekali lagi
persahabatannya dengan al-Junayd, tapi al-Junayd menyalahkan al-Hallâj
karena klaimnya sebagai Tuhan. Keretakan dengan al-Junayd sekaligus dengan
pemisahan diri al-Hallâj dari tarekat-tarekat sufi yang mapan.
Beliau juga mengembangkan teori al-Hulûl (inkarnasi), di mana
persatuan mistik dicapai dengan turunnya Tuhan kepada manusia.
c.
Ibn ‘Arabî (w. 637 H/ 1240 M)
Ibn ‘Arabî adalah pemikir dan penulis yang produktif. Hampir tidak ada sufi
besar yang tidak mengenal beliau. Ajarannya yang terkenal adalah wahdat
al-wujûd yang telah menjadi buah bibir dan bahan perdebatan yang tak pernah
berhenti sampai sekarang. Beliau mengatakan bahwa wujud yang sejati hanya satu
yaitu Allah, sedangkan wujud selainnya yang disebut alam adalah manifestasi (tajallî)
Allah.
d.
Jalâl al-Dîn Rûmî
Rûmî adalah seorang tokoh agama terkemuka yang menguasai berbagai disiplin
ilmu, dari syari’ah (hukum), teologi sampai ke filsafat dan tasawuf formal. Tetapi
ketenaran dan puncak karir intelektual ini bagi Rûmî Sendiri malah sangat tidak
memuaskan. Ia tidak menemukan dalam disiplin-disiplin ilmu yang ia kuasai saat
itu, sebuah ilmu yang dapat mentransformasikan dirinya ke arah manusia
paripurna (insân kâmil).
Menurutnya, baik fiqih maupun teologi tidka berhasil untuk mengubah dirinya
karena kecenderungan mereka kepada formalisme. Untunglah muncul sesosok figur
misterius yang kemudian dikenal sebagai Syams al-Dîn Tabrîzî. Kemudian ia
menjadi tokoh yang telah mengubah Rûmî dari seorang teolog menjadi sufi, dan
dari seorang intelektual menjadi “penyair”.[8]
3.
Tema-tema Utama Tasawuf
a.
Hakikat (Haqîqah)
Para sufi terobsesi terhadap kebenaran yang hakiki. Obsesi terhadap hakikat
(realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “lâ
ilâha illa Allâh” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang sejati
kecuali Allah”. Pernyataan “lâ ilâha illa Allâh” ditafsirkan para sufi
sebagai penafikan terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi
dirinya, sebagai realitas.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul
ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki atau
nisbi, dalam arti tergantung keberadaannya pada kemurahan Tuhan.
b.
Ma’rifat (Ma’rifah)
Ma’rifat adalah sejenis pengetahuan yang mana para sufi menangkap hakikat
atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis
pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak
melalui representasi, citra atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.
Seperti indera menagkap objeknya secara langsung, demikian juga hati atau
intuisi menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis
objeknya. Kalau objek indera adalah benda-benda inderawi, sedangkan objek-objek
intuisi adalah entitas-entitas spiritual.
Ma’rifat, seperti yang telah diketahui, berdasarkan pada pengalaman;
artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Ma’rifat tidak dapat diraih melalui
jalan inderawi, karena menurut Rûmî, itu seperti mencari mutiara yang berada di
dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut dari darat.
c.
Tarekat (Tharîqah)
Seperti syari’at, tarekat (Tharîqah) berarti jalan, hanya saja kalau
yang pertama jalan raya (road), maka yang terakhir adalah jalan kecil (path).
Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang sufi.
Selanjutnya, walaupun jalan spiritual itu sendiri objektif, dalam arti
betul-betul dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman
masing-masing sufi dalam menempuh perjalanan tersebut bersifat subjektif. Oleh
karena itu wajar, kalau para penulis sufi berbeda, misalnya, dalam menamakan maqam-maqam
ataupun urutan-urutannya.
4.
Tasawuf dan Tantangan Zaman
a.
Disorientasi manusia modern
Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan sengaja atau
tidak, telah menyebarkan pandangan sekuler tersebut yang sampai masuk ke dalam
jantung dan hati manusia modern. Pandangan dunia sekuler yang hanya
mementingkan urusan duniawi secara tidak langsung telah menggeser manusia
modern dari aspek spiritualitas. Mereka menolak segala dunia non-fisik, seperti
dunia imaji atau spiritual, sehingga terputus hubungan dengan segala
realitas-realitas yang lebih tinggi. Akibatnya banyak manusia modern yang
mengalami krisis spiritual.
Krisis spiritual ini pada gilirannya telah menimbulkan apa yang disebut sebagai
“disorientasi” pada manusia modern. Ketika ada kata “orientasi”, ini tentu
mengandung makna “memberi arah”, dan dengan demikian orientasi tidak bisa tidak
kecuali mengandaikan adanya arah dan tujuan. Kata “disorientasi” yang merupakan
negasi dari orientasi, karena itu, akan terjadi ketika kita tidak tahu lagi
arah, mau ke mana kita pergi, bahkan juga dari mana kita berasal. Hal inilah
yang menjadikan manusia modern mengalami keterputusan spiritual dengan Tuhan,
sumber dari segala yang ada.
Bagi para sufi, Tuhan adalah alpha dan omega, asal dan tempat
kembali, bagi banyak orang modern, Tuhan hanyalah dipandang sebagai penghalang
bagi penyelenggaraan diri mereka, dan kebebasan yang menyertainya. Nietzsche,
misalnya, memandang Tuhan sebagai perintang utama bagi terciptanya manusia
super (Ubermensch), karena itu lebih baik dibunuh saja. Maka ia
berteriak Tuhan telah mati.
Akibat
keterputusan ini, maka manusia tidak lagi mengarahkan jiwanya kepada Tuhan yang
maha esa, tetapi tertumpu kepada beraneka benda-benda fisik yang tidak pernah
memberi mereka kepuasan dan ketenangan. Bagi para sufi, ketenangan dapat
dicapai hanya apabila kita telah berada dekat dengan Tuhan. Keterputusan dengan
sumber adalah penyebab timbulnya perasaan terasing, gelisah dan sebagainya, sebagaimana
yang banyak diderita manusia yang hidup di dunia modern ini.
b.
Menuju ke kehadirat Ilahi
Sejak awal tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi
pada saat ini kita masih berada jauh dari asal dan tempat kembali kita yang
sejati. Kenyataan bahwa manusia selalu merasa gelisah, menunjukkan betapa kita
masih jauh dari tujuan, ke mana kita harus pergi.
Tasawuf bukan hanya menyadarkan kita akan keterpisahan dari sumber dan
tempat kembali kita yang sejati, tetapi juga sekaligus menjelaskan kepada kita
dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Dengan demikian, dalam
arti tertentu, tasawuf telah memberi kita arah (orientasi) dalam hidup kita.
Lantas dapatkah tasawuf memberi petunjuk arah bagi manusia modern yang
telah mengalami disorientasi? Jawabnya, mungkin saja. Ketika manusia modern
telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian
yang lebih komprehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dari ajaran
para sufi, jelas betapa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga
makhluk spiritual, yang memiliki asal-usul spiritualnya pada Tuhan. Dengan
begitu, maka lebih mungkin kita akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam
memeperlakukan diri kita. Selain itu dengan mengetahui asal-usul kita – baik
fisik maupun spiritual – maka kita bisa mengarahkan diri kita secara
proporsional baik untuk kesejahteraan hidup di dunia maupun untuk akhirat
nanti. Dengan demikian diharapkan tasawuf akan memberikan sedikitnya petunjuk
tentang siapa manusia itu sesungguhnya, dan dengan demikian memberi solusi
terhadap krisis identitas yang diderita banyak oleh manusia modern.[9]
C. KESIMPULAN
Karena sifatnya yang universal, baik dalam arti ruang maupun waktu, sebuah
sistem spiritual, seperti tasawuf, mungkin saja menerima pengaruh dari sistem
lain yang ada sebelumnya. Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai sebuah prinsip
yang menyeluruh dan paripurna. Dari sudut pandang waktu, Dia adalah yang awal
dan yang akhir, maksudnya Dialah asal dan tempat kembali segala sesuatu yang
ada. Dari sudut pandang ruang, Dia adalah yang lahir dan yang batin, yakni yang
imanen dan transenden.
Esensi dari sebuah sistem mistisisme adalah perasaan dekat dengan Tuhan.
Perasaan dekat ini dinyatakan dalam perasaan sufi akan kehadiran Tuhan di
manapun ia berada. Kehadiran Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun di alam
yang mengelilinginya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005
Jaiz, M.H Amien. Masalah
Mistik Tasawuf & Kebatinan. Bandung: PT Al-ma'arif. 1980
Kartanegara, Mulyadhi. Pengantar Studi Islam.
Jakarta: Ushul Press. 2011
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman. Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2008
Smith, Margareth. Mistisisme Islam &
Kristen: Sejarah Awal dan Perkembangannya. Terj. Amroeni
Dradjat. Tangerang: Gaya Media Pratama. 2007
[1] Margareth Smith, Mistisisme
Islam & Kristen: Sejarah Awal dan
Perkembangannya,
Terj. Amroeni Dradjat, M.A., (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), cet. I,
hlm. 185-186
[3] Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), cet. 12, hlm.
43
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, (Bandung :
Mizan, 2003), cet. I, hlm. 459
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 2005), cet. IV, hlm. 653
[7] Abu al-Waf’a’
al-Taftanzani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), cet.
II, hlm. 14-15