Menjadikan pembaca semakin cerdas dan bermutu.

Jumat, 04 Januari 2013

Mistisisme Dalam Islam



A.           PENDAHULUAN
Sifat buruk dapat dihapuskan melalui perbuatan baik, keburukan dapat dihilangkan dengan kebaikan; semua yang kotor dapat dibersihkan dengan sesuatu yang murni. Gagasan jiwa sebagai cermin, mencerminkan gambaran Tuhan dibandingkan dengan kecermelangannya sendiri yang dipakai oleh para sufi Muslim. Gagasan cermin yang berkarat dan kebutuhan menyemirnya itu sangat digandrungi oleh para sufi generasi selanjutnya. Penegasan bahwa hati dan pikiran yang perlu dibersihkan, dan kenyataan bahwa ibadah ritual yang dilakukan dan amal shalih saja dirasakan oleh para sufi belum memadai. Hal inilah yang mendorong mereka para sufi periode awal untuk melakukan meditasi dan perenungan. Kepuasan rohaniah yang yang sejati seperti inilah yang mendorong terbentuknya pemisah yang tegas antara hakikat yang sementara dan abadi, serta pembatasan yang jelas antara kehidupan duniawi dibandingkan dengan kehidupan yang kekal bersama Tuhan.[1] Untuk itu marilah kita kupas pembahasan mengenai mistisisme atau tasawuf secara lebih mendalam.

B.            PEMBAHASAN
1.             Pengertian
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).[2]
Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Mistisisme atau tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.[3]
Berbicara tentang mistisisme Islam bisa kita dapat hanya jika kita memahami makna orisinil istilah itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi. Kita harus ingat bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar kata mysterion dan mistisisme.[4] Menurut Lorens Bagus mistisisme[5] adalah suatu pendekatan spiritual, dan nondiskurtif kepada persekutuan jiwa dengan Allah, atau apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam.[6]
Tasawuf adalah sebuah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, menghambakan diri semata kepada Allah.[7]

2.             Tokoh-tokoh Utama
Ada beberapa tokoh tasawuf, yang tidak boleh dilewatkan dalam kajian tasawuf. Mereka adalah (1) Dzû al-Nûn al-Mishrî, (2) Abû Manshûr al-Hallâj, (3) Ibn ‘Arabî, dan (4) Jalâl al-Dîn Rûmî.
a.              Dzû al-Nûn al-Mishrî (165-245 H/ 781-859 M)
Ia adalah Imam sepajang masa, sufi fenomenal sepanjang sejarah, dan juga pemuka komunitas Sufi. Ia adalah sufi pertama yang mengungkapkan isyarat (simbol) dengan ibarat (verbal), dan pembuka jalan perbincangan mengenai jalan hidup sufistik.
b.             Abû Manshûr al-Hallâj (w. 310 H/922 M)
Dalam sejarah sufi, Ia dikenal sebagai orang yang mengatakan “aku adalah Tuhan,” (anâ al-Haqq). Selama perjalanan pertama hajinya ia tidak beranjak selama satu tahun penuh dari ruang masjid. Para pengunjung yang menyaksikannya ketika ia duduk di terik matahari di atas sebuah batu dengan peluh mengucur di seluruh tubuhnya, lebih terpesona oleh kekerasan tekadnya ketimbang kesalehannya. Ketika ia kembali ke Baghdad ia menjalin sekali lagi persahabatannya dengan al-Junayd, tapi al-Junayd menyalahkan al-Hallâj karena klaimnya sebagai Tuhan. Keretakan dengan al-Junayd sekaligus dengan pemisahan diri al-Hallâj dari tarekat-tarekat sufi yang mapan.
Beliau juga mengembangkan teori al-Hulûl (inkarnasi), di mana persatuan mistik dicapai dengan turunnya Tuhan kepada manusia.
c.              Ibn ‘Arabî (w. 637 H/ 1240 M)
Ibn ‘Arabî adalah pemikir dan penulis yang produktif. Hampir tidak ada sufi besar yang tidak mengenal beliau. Ajarannya yang terkenal adalah wahdat al-wujûd yang telah menjadi buah bibir dan bahan perdebatan yang tak pernah berhenti sampai sekarang. Beliau mengatakan bahwa wujud yang sejati hanya satu yaitu Allah, sedangkan wujud selainnya yang disebut alam adalah manifestasi (tajallî) Allah.
d.             Jalâl al-Dîn Rûmî
Rûmî adalah seorang tokoh agama terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu, dari syari’ah (hukum), teologi sampai ke filsafat dan tasawuf formal. Tetapi ketenaran dan puncak karir intelektual ini bagi Rûmî Sendiri malah sangat tidak memuaskan. Ia tidak menemukan dalam disiplin-disiplin ilmu yang ia kuasai saat itu, sebuah ilmu yang dapat mentransformasikan dirinya ke arah manusia paripurna (insân kâmil).
Menurutnya, baik fiqih maupun teologi tidka berhasil untuk mengubah dirinya karena kecenderungan mereka kepada formalisme. Untunglah muncul sesosok figur misterius yang kemudian dikenal sebagai Syams al-Dîn Tabrîzî. Kemudian ia menjadi tokoh yang telah mengubah Rûmî dari seorang teolog menjadi sufi, dan dari seorang intelektual menjadi “penyair”.[8]

3.             Tema-tema Utama Tasawuf
a.       Hakikat (Haqîqah)
Para sufi terobsesi terhadap kebenaran yang hakiki. Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “lâ ilâha illa Allâh” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah”. Pernyataan “lâ ilâha illa Allâh” ditafsirkan para sufi sebagai penafikan terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya, sebagai realitas.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki atau nisbi, dalam arti tergantung keberadaannya pada kemurahan Tuhan.
b.      Ma’rifat (Ma’rifah)
Ma’rifat adalah sejenis pengetahuan yang mana para sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, citra atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.
Seperti indera menagkap objeknya secara langsung, demikian juga hati atau intuisi menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indera adalah benda-benda inderawi, sedangkan objek-objek intuisi adalah entitas-entitas spiritual.
Ma’rifat, seperti yang telah diketahui, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Ma’rifat tidak dapat diraih melalui jalan inderawi, karena menurut Rûmî, itu seperti mencari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut dari darat.
c.       Tarekat (Tharîqah)
Seperti syari’at, tarekat (Tharîqah) berarti jalan, hanya saja kalau yang pertama jalan raya (road), maka yang terakhir adalah jalan kecil (path). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang sufi.
Selanjutnya, walaupun jalan spiritual itu sendiri objektif, dalam arti betul-betul dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing sufi dalam menempuh perjalanan tersebut bersifat subjektif. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis sufi berbeda, misalnya, dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya.

4.             Tasawuf dan Tantangan Zaman
a.              Disorientasi manusia modern
Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekuler tersebut yang sampai masuk ke dalam jantung dan hati manusia modern. Pandangan dunia sekuler yang hanya mementingkan urusan duniawi secara tidak langsung telah menggeser manusia modern dari aspek spiritualitas. Mereka menolak segala dunia non-fisik, seperti dunia imaji atau spiritual, sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi. Akibatnya banyak manusia modern yang mengalami krisis spiritual.
Krisis spiritual ini pada gilirannya telah menimbulkan apa yang disebut sebagai “disorientasi” pada manusia modern. Ketika ada kata “orientasi”, ini tentu mengandung makna “memberi arah”, dan dengan demikian orientasi tidak bisa tidak kecuali mengandaikan adanya arah dan tujuan. Kata “disorientasi” yang merupakan negasi dari orientasi, karena itu, akan terjadi ketika kita tidak tahu lagi arah, mau ke mana kita pergi, bahkan juga dari mana kita berasal. Hal inilah yang menjadikan manusia modern mengalami keterputusan spiritual dengan Tuhan, sumber dari segala yang ada.
Bagi para sufi, Tuhan adalah alpha dan omega, asal dan tempat kembali, bagi banyak orang modern, Tuhan hanyalah dipandang sebagai penghalang bagi penyelenggaraan diri mereka, dan kebebasan yang menyertainya. Nietzsche, misalnya, memandang Tuhan sebagai perintang utama bagi terciptanya manusia super (Ubermensch), karena itu lebih baik dibunuh saja. Maka ia berteriak Tuhan telah mati.
Akibat keterputusan ini, maka manusia tidak lagi mengarahkan jiwanya kepada Tuhan yang maha esa, tetapi tertumpu kepada beraneka benda-benda fisik yang tidak pernah memberi mereka kepuasan dan ketenangan. Bagi para sufi, ketenangan dapat dicapai hanya apabila kita telah berada dekat dengan Tuhan. Keterputusan dengan sumber adalah penyebab timbulnya perasaan terasing, gelisah dan sebagainya, sebagaimana yang banyak diderita manusia yang hidup di dunia modern ini.

b.             Menuju ke kehadirat Ilahi
Sejak awal tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi pada saat ini kita masih berada jauh dari asal dan tempat kembali kita yang sejati. Kenyataan bahwa manusia selalu merasa gelisah, menunjukkan betapa kita masih jauh dari tujuan, ke mana kita harus pergi.
Tasawuf bukan hanya menyadarkan kita akan keterpisahan dari sumber dan tempat kembali kita yang sejati, tetapi juga sekaligus menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Dengan demikian, dalam arti tertentu, tasawuf telah memberi kita arah (orientasi) dalam hidup kita.
Lantas dapatkah tasawuf memberi petunjuk arah bagi manusia modern yang telah mengalami disorientasi? Jawabnya, mungkin saja. Ketika manusia modern telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian yang lebih komprehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dari ajaran para sufi, jelas betapa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual, yang memiliki asal-usul spiritualnya pada Tuhan. Dengan begitu, maka lebih mungkin kita akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam memeperlakukan diri kita. Selain itu dengan mengetahui asal-usul kita – baik fisik maupun spiritual – maka kita bisa mengarahkan diri kita secara proporsional baik untuk kesejahteraan hidup di dunia maupun untuk akhirat nanti. Dengan demikian diharapkan tasawuf akan memberikan sedikitnya petunjuk tentang siapa manusia itu sesungguhnya, dan dengan demikian memberi solusi terhadap krisis identitas yang diderita banyak oleh manusia modern.[9]

C.    KESIMPULAN
Karena sifatnya yang universal, baik dalam arti ruang maupun waktu, sebuah sistem spiritual, seperti tasawuf, mungkin saja menerima pengaruh dari sistem lain yang ada sebelumnya. Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai sebuah prinsip yang menyeluruh dan paripurna. Dari sudut pandang waktu, Dia adalah yang awal dan yang akhir, maksudnya Dialah asal dan tempat kembali segala sesuatu yang ada. Dari sudut pandang ruang, Dia adalah yang lahir dan yang batin, yakni yang imanen dan transenden.
Esensi dari sebuah sistem mistisisme adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Perasaan dekat ini dinyatakan dalam perasaan sufi akan kehadiran Tuhan di manapun ia berada. Kehadiran Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya.





DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005
Jaiz, M.H Amien. Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan. Bandung: PT Al-ma'arif. 1980
Kartanegara, Mulyadhi. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Ushul Press. 2011
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2008
Smith, Margareth. Mistisisme Islam & Kristen: Sejarah Awal dan Perkembangannya. Terj. Amroeni Dradjat. Tangerang: Gaya Media Pratama. 2007




[1] Margareth Smith, Mistisisme Islam & Kristen: Sejarah Awal dan Perkembangannya, Terj. Amroeni Dradjat, M.A., (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), cet. I, hlm. 185-186
[2] MH Amien Jaiz, Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, (Bandung: PT Alma'arif, 1980)
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), cet. 12, hlm. 43
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I, hlm. 459
[5] Selanjutnya memakai kata tasawuf
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), cet. IV, hlm. 653
[7] Abu al-Waf’a’ al-Taftanzani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. II, hlm. 14-15
[8] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2011), hlm. 242-248
[9] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Studi Islam, hlm. 249-253
Read More

Epistemologi



I.              Seputar Epistemologi
a.              Pengertian dan Ruang Lingkup Epistemologi
Seperti pembahasan-pembahasan filsafat pada umumnya, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.[1] Istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Feriere dengan maksud untuk membedakan dua cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Jika dalam ontologi pertanyaan pokok itu menyangkut yang ada dan adanya (being), maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang saya ketahui.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata, pikiran, ilmu atau teori. Karena itu secara etimologis, epistemologi berarti ilmu atau teori tentang pengetahuan yang benar.[2]
Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Menurut Dagobert D. Runes, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.[3] Sementara itu Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.[4]
Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berakaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memeroleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang sesuatu objek. Dengan kata lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal.[5]
Sekarang beranjak pada pembahasan ruang lingkup epistemologi. M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achamd merinci menjadi enam aspek, yaitu, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saefuddin mnyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[6]

b.             Objek dan Tujuan Epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memeroleh pengetahuan.”[7] Proses untuk memeroleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Lantas, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang pertama untuk menjawab pertanyaan, adakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memeroleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yang ingin memiliki potensi untuk memeroleh pengetahuan.[8]

c.              Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau tergantung landasannya.
“Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya.” Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.[9] Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.

d.             Hakikat  Pengetahuan
Pengetahuan adalah persatuan antara subjek dan objek; denga mengetahui subjek manunggal dengan objek dan objek menjadi manunggal dengan subjek.[10] Jika pengetahuan dianalisa lebih lanjut, tampak bahwa dalam pengetahuan itu terdapat aktifitas dari pihak subjek maupun dari pihak objek dan sebaliknya, hal ini menimbulkan teori-teori tentang hakikat pengetahuan itu sendiri. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan,[11] yaitu:
1.             Realisme
Pengetahuan menurut pandangan realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[12]
2.             Idealisme
Pengetahuan menurut pandangan idealisme adalah proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Oleh karena itu, pengetahuan menurut idealisme tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.

e.              Sumber Pengetahuan
Ada tiga teori tentang jalan memeroleh pengetahuan atau sumber pengetahuan:[13]
1.             Empirisme
Menurut pandangan empirisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara panca indera. Panca indera mendapatkan kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan tersusun dari pengaturan kesan-kesan yang semacam itu. Jadi, seorang empirisme berpendirian bahwa kita dapat memeroleh pengetahuan melalui pengalaman.
2.             Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Panca indera yang memeroleh data dari alam nyata, tetapi akal yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terbentuklah pengetahuan.
3.             Iluminasionisme/Intuisionisme
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Dalam filsafat barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten. Sedangkan dalam Islam ma’rifah diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.

II.           Epistemologi Islam
Epistemologi Islam perlu dijadikan alternatif terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali epistemologi Barat. Epistemologi Islam ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini bisa membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan secara umum peradaban, mengingat bahwa epistemologi tersebut merupakan media atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan.
Epistemologi Islam ini diharapkan menjadi suatu pendekatan ilmuwan yang memiliki besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan teknologi yang berkepedulian terhadap lingkungan baik lingkungan geografis, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Dengan kata lain, epistemologi Islam menjadi media mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang “beradab”.[14]
Lantas apakah yang  dinamakan dengan epistemologi Islam itu sendiri? Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikir.[15]
Ziauddin Sardar menyebutkan bahwa ada beberapa ciri dasar epistemologi Islam yaitu:
1.    Yang didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak
2.    Dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif
3.    Dia memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
4.    Sebagian besar bersifat deduktif
5.    Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam
6.    Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif
7.    Dia berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Muslim memeroleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka[16]
Para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya, yaitu: (1) metode observasi, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif, yang masing-masing bersumber pada indera, akal, dan hati.[17]
1.             Indera
Berbeda dengan ahli neulogi modern, menurut para filosof Muslim, indera merupakan kecakapan (daya) jiwa, yang dimiliki oleh setiap hewan (termasuk manusia), dan bukan hanya sekedar merupakan kecakapan fisik seperti yang banyak dibayangkan oleh ilmuwan modern. Jadi, bersama dengan gerak (harakah), indera (sensasi) merupakan kecakapan jiwa manusia. Sebagai kecakapan jiwa, indera-indera manusia ini bekerja dengan sangat menakjubkan. Mata, misalnya, dengan sel-sel saraf yang berhubungan dengan cahaya, dapat mencerap bukan hanya bentuk benda-benda fisik yang diamatinya tapi juga warna mereka. Gelombang mata yang masuk ke retina ternyata mampu diterjemahkan oleh mata sebagai warna dan bentuk benda-benda. Dengan demikian, objek-objek fisik yang dapat ditangkapnya dengan bantuan cahaya juga bisa menimbulkan keindahan yang luar biasa bagi siapa saja yang menikmatinya.[18]
Singkat kata, panca indera ini telah memungkinkan manusia untuk bisa mencerap berbagai dimensi dari sebuah benda yang diamatinya, sehingga mereka akan menjadi alat pengamat benda-benda fisik yang sangat canggih dan berguna sebagai sumber informasi. Namun selain memiliki unsur kognitif, indera juga memiliki fungsi lain yang barangkali sesungguhnya lebih vital, yaitu sebagai instrumen kelangsungan hidup manusia.[19]
2.             Akal
Akal sebagai sumber ilmu yang kedua, memainkan peranan yang sangat esensial dalam melengkapi kekurangan indera. Menurut Nashr al-Din Thusi akal merupakan kesempurnaan manusia, yang di atasnya tergantung harkat dan esensi manusia. Kekuatan khas yang dimiliki akal adalah kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.
Akal menyelidiki benda fisik yang dicerap indera dengan mengajukan berberapa pertanyaan seperti apa, di mana, mengapa, siapa, dan lain-lain. Dengan penyelidikan akal yang seperti ini maka akal sangat potensial untuk menjadi sumber pengetahuan yang kaya dan luas jika digunakan dengan baik dan sistematis.
Selain mampu menangkap objek-objek inderawi, akal juga menangkap konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan seperti mampu memahami perasaan, mengomunikasikan pikiran, metafisik, dan sebagainya.


3.             Hati (Intuisi)
Pegenalan intuitif disebut dengan hudhuri, karena objek penelitiannya hadir dalam jiwa penelitinya, sehingga ia menjadi satu dan identik dengannya. Di sini hubungan antara subjek dan objek terjembatani sehingga tidak menimbulkan jurang yang dalam antara subjek dan objek yang mewarnai modus pengetahuan rasional. Adanya intuisi dipercaya bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang manusia miliki.

III.        Kesimpulan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan hakekat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,pengetahuan pertanggungjawaban dan skop pengetahuan. Seluruh manusia dewasa ini sesungguhnya dibentuk oleh image manusia Barat, sehingga terjadilah “imperialisme epistemologi”. Tidak terkecuali kalangan Muslim, mereka telah “dijajah” Barat melalui epistemologinya. Hal inilah yang membahayakan umat Islam.
Untuk menyelamatkan umat Islam berikut peradabannya akibat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh epistemologi Barat tersebut, pemikir Muslim, seperti Ziauddin Sardar, Ismail Raji al-Faruqi, Syed Mohammad Naquib al-Attas dan lain-lain, sepakat untuk membangun epistemologi Islam. Epistemologi Islam menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang mapan dan stabil. Maka epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban Muslim. Selanjutnya, mengingat salah satu aspek yang dibahas dalam epistemologi adalah metode, maka epistemologi Islam akan melahirkan metodologi Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Amien, Miska Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 2006.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2005.
.............., Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2011.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Pranarka, A.M.W. Epistemologi Dasar. Jakarta: CSIS, 1987.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga 2005.
Runes, Dagobert D., Dictionary of Philosophy. New Jersey: Little Field Adams & CO. 1963.
Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1993.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990.
.............. (ed.), Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gamedia, 1989.



[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 1
[2] Konrad kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 57
[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field Adams & CO, 1963), h. 49
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 144
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 37
[6] Mujamil Qomar, h. 4
[7] Jujun S. Suriasumantri, “tentang hakikat ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gamedia, 1989), h. 9
[8] Mujamil Qomar, h. 8
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sosial Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 105
[10] A.M.W Pranarka, Epistemologi Dasar (Jakarta: CSIS, 1987), h. 36
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 37
[12] Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 8
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 41
[14] Mujamil Qomar, h. 169
[15] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 12
[16] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993), h. 44-45
[17] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), h. 61
[18] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 79
[19] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 81
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

© Blogger Kejora, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena